Bab 2

1270 Kata
Sudah hampir berganti hari. Raja siang semakin meredup. Mengingat jam sudah menunjukkan pukul 6 sore. Dan hampir satu harian pula kuhabiskan waktu dengan para beagles yang sudah pamit pulang dari dua jam lalu. Dua jam lalu, mendapati diriku tergeletak di atas sofa, mungkin aku tertidur. Ayah akan segera pulang dan Aira--adik perempuanku satu-satunya-- aku melupakannya. Seperti kucing tersiram air bahkan kecepatan berlariku semakin membaik tiap harinya. Aira pergi ke kamarnya sejak jam 10 pagi tadi, setelahnya aku sibuk dengan Chan dan Bintang. Seingatku terakhir Bintang memberinya s**u, bahkan seujung kuku pun kudapan yang mereka bawa tak disentuhnya. Dan yang membuatku semakin resah, adikku tidak boleh berada di dapur. Jika kemarin rencanaku dan ayah berhasil, berpura-pura membantunya memasak, padahal aku dan ayahlah yang menyelesaikan acara masak tersebut untuk ulang tahunku. Maka, tidak dengan hari ini. Di ujung sana Aira berjinjit berusaha menggapai mangkok yang coba diraihnya. Sebelah tangannya menggenggam gagang lemari lainnya yang tidak terbuka. Saat aku hampir kehabisan nafas melihat tindakkan cerobohnya, gadis itu sudah tersenyum puas dengan mangkok kaca di tangan kanannya. Astaga aku cemas sekali, tidak tahu harus bagaimana. Aku marah sangat marah, dengan diriku sendiri. Ingin berteriak, pandanganku seketika mengabur, kepalaku berdenyut perih, tidakkah diriku ini seperti boomerang? Jika bisa ingin sekali rasanya memarahi bahkan meneriaki gadis ini, jika bisa. "Aira," panggilku, ia menoleh kosong berjalan menghampiri. Masih dalam mode senyumnya ia mengangkat sebelah alis, berusaha bertanya melalui ekpresi. Sedang aku bergetar di tempat, ya Tuhan gadis ini. Kemudian, fokusku jatuh pada kain yang menempel di tubuhnya sebatas paha. Ia mengenakan apron, apalagi ini. "Kakak dari mana? Kak Chandra dan Kak Bintang sudah pulang?" "Sudah! Apa yang kamu lakukan di dapur sekarang?" "Kenapa tidak membangunkanku?" "Hanya karena mereka akan pulang? Mereka bukan tamu Aira, kapan saja mereka bisa kemari." "Oh iya kak, aku ingin menunjukkan sesuatu pada Kakak." Lengkungan pada pinggir bibirnya semakin lebar. "Jangan lakukan itu lagi Aira, tahukah kamu bagaimana khawatirnya aku, jika kamu jatuh bagaimana. Jangan ulangi tindakkan bodoh seperti itu lagi Aira!!" Dan semua hanya mampu kutorehkan dalam diam, memakinya dalam hati. Aku tidak ingin menjadi Alpha yang dulu. Alih-alih memarahi aku lebih suka memberi kenyamanan dan kehangatan melalui sebuah pelukan kasih seorang kakak pada adiknya. Dalam dirinya turut mengalir darah yang sama dengaku, maka hidupnya adalah hidupku. Kita satu sampai kapan pun. "Kak, kenapa?" Tidak menjawab aku hanya ingin memelukknya erat, mengutuk rasa bersalahku yang teramat besar padanya, aku menyesal. Tanpa terasa setetes air menggenang di pipiku, semakin lama semakin deras. Aku pria bodoh yang cengeng dan seorang kakak yang tidak berguna. Sempurna, manusia beruntung yang masih bisa melihat dirinya sehat seperti saat ini. "Mau ke suatu tempat?" *** Tiga puluh menit lalu Ayah mengabariku karena tidak bisa pulang lebih awal, beliau seorang buruh lepas. Pekerjaannya tidak menentu, jika banyak permintaan dari pelanggan maka lembur tak dapat dihindari. Lima belas menit setelahnya aku mendapat telepon dari Bintang, maka di sinilah aku sekarang. Mengamati tiap gerak-gerik dua orang di depan sana. Chandra dan Aira tampak senang dengan obrolan mereka sembari menaiki sebuah wahana permainan cora-cora. Bahagia, itu yang kurasakan. Betapa beruntungnya aku bisa melihat Aira tertawa selepas itu, seakan tidak ada beban barang setitik pun di pundaknya. Ini yang selalu menjadi doaku setiap saat, bahwa adik tunggalku tetap sehat dan bahagia. Mataku tak lepas sedetik saja untuk mengalihkan perhatian, duniaku ada padanya. Meski ia tidak sempurna dan memang tidak pernah ada manusia yang sempurna. Tapi aku senang, setidaknya ia tidak menanggung beban seperti dulu, sudah cukup. Sekarang waktuku untuk menebus semua dosa di masa lalu. walau aku sendiri tak yakin perbuatanku di masa itu dapat dimaafkan. Namun, seakan tuli. Aira selalu berusaha menutup telinga mengenai semua cerita tentang kami kala itu. Tidak tahu atas tujuan apa ia bersikap demikian, dan sekarang aku sadar. Bahwa sikapnya yang demikian membuatku beribu kali lipat menyadari betapa bodohnya aku yang dulu. Jika ada kata yang lebih kasar dari kata yang paling kasar sekalipun, kurasa aku pantas menyandang predikat tersebut. "Kirana meninggal karena kesalahanku, bahkan disaat aku belum sempat menyadari perbuatanku padanya." Bintang di sebelah dengan kedua tangan bersembunyi di balik saku celana "-kamu hebat Al, pola pikirmu lebih berfungsi dari pada aku, kamu pria sejati. Hatimu sepadan dengan wajah tampanmu kawan." Kuusap kasar bulir bening yang beberapa saat lalu jatuh dengan sendirinya. Aku terlalu cengeng untuk ukuran laki-laki dewasa seusiaku. "Teruskan Al, Aira juga sangat menyayangimu. Kamu dan paman Adnan harta baginya, jangan mengulang tingkah di masa lalu, jadikan semuanya sebagai pembelajaran," ungkap Bintang sekali lagi sebelum pergi meninggalkanku, menghampiri Aira dan Chan yang baru saja turun dari wahana permainan. Benar, kini saatnya aku untuk mengembalikan semua kisah-kisah indah keluargaku di masa lalu. walau tanpa kehadiran sosok ibu. Wanita yang sangat kucinta di dunia ini selain Aira sudah tenang dengan kehidupan abadinya di atas sana. Aku harus kuat, tugasku sekarang adalah menjaga dan membahagiakan suami sekaligus putri bungsu mendiang Aleta Sukma Wijaya. "Benarkan Chan sudah kubilang pria ini sedang loading, lihat dari tadi dia terus melamun," ucap Bintang yang bersetelan kemeja putih lengkap dengan jas dokternya. "Kak Alpha melamun?" "Bahkan menang-" "Ya, Kakak menang permainan lempar gelang. Kakak dapat boneka yang sangat besar, kamu mau?" potongku cepat sebelum Bintang menyelesaikan perkataannya, aku tidak mau Aira mendengarku menangis. "Tentu saja." Jawaban singkat Aira cukup jelas membuatku berlari secepat mungkin menuju stand penjual boneka. Setelah mendapat yang kumau, kemudian berlari kembali di mana Aira dan kedua beagles itu berada. Kutarik lengan Aira agar dapat memeluk beruang besar yang baru saja kubeli. Ia tersenyum, mengelus random boneka yang besarnya hampir setengah dari tubuhnya. "Warnanya neon, kamu suka warna itu kan?" Aira tersenyum sembari mengangguk senang. Tubuh kecilnya maju menghampiriku dan hampir saja menabrak dadaku jika tak segera kutarik lengannya. Aira terpaku seolah menatapku, kembali tersenyum teramat cantik. Namun, yang menjadi salah fokusku ia mencoba menggapai tanganku. Segera kurangkap semua jemarinya. "Aku ada sesuatu istimewa untuk Kakak tapi, jangan dibuka di sini," ucapnya berbisik. Kulihat tungkainya terangkat maka dengan sengaja kurendahkan posisiku. "Baiklah." Aira membuat jarak dan kembali ke tempatnya semula. Melanjutkan acara ngobrolnya dengan Chandra dan Bintang. "Hah, senangnya malam ini. Bermain comedy putar, cora-cora, dan adikku yang paling cantik mendapat hadiah beruang yang sangat lucu." Chan dengan segala sikap positifnya yang selalu bisa memahamiku, ia pria yang cukup peka. "Baiklah mari kita kembali ke rumah, sudah hampir larut. Princess Ai harus istirahat, mengerti tuan putri?" sambung Bintang sembari menggapai lengan Aira dan menuntunnya meninggalkan pasar malam. "Hei Bi, kegiatan amal seperti ini harusnya lebih sering diakan. Dengan begitu para pasien akan merasa lebih senang dan dapat segera pulih. Kenapa bazar seperti ini adanya cuma enam bulan sekali sih?" "Sudah ketentuannya seperti itu Chan, ini rumah sakit bukan pasar malam sungguhan. Kalau kamu mau bangun rumah sakit sendiri," semprot Bintang tajam. Chandra mendengus setelahnya. Airaku pun turut tertawa lepas. Air mukanya cantik sekali. Senda gurau ketiganya tak hilang sedikit pun sepanjang perjalanan. Aira yang hanya tertawa sesekali memukul lengan kedua pria di kedua sisinya, membuatku semakin merasa bersalah. Mengamatinya dari belakang seperti ini membuatku sadar, betapa indah senyum dan tawa adikku yang selama ini tak pernah kuhiraukan. "Aira aku juga sangat menyayangimu, betapa inginnya aku untuk dapat kembali ke masa lalu dan memperbaiki semuanya. Aku tidak pernah membencimu, aku menyayangimu, sangat. Terima kasih sebab masih sudi menerimaku sebagai keluargamu. Aku yang sangat beruntung diberi peri kecil berhati malaikat sepertimu. Apa pun yang terjadi baik dahulu dan sekarang, kumohon jangan membenciku, jangan pergi dari sisiku dan Ayah, tetap bersamaku sampai suatu saat nanti sudah waktunya kamu hidup dengan pria pilihanmu. Bagaimanapun tetaplah menjadi adikku yang seperti ini. Sedewasa apa pun kamu nanti, bagiku dirimu tetaplah adikku yang cantik, dan tulus, aku yakin kau malaikat yang menjelma menjadi manusia. Sehatlah terus Airaku."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN