Bab 1

1875 Kata
Sentuhan terakhir instrumental piano ini dengan berat kulepaskan. Terasa sejuk di tengah kehangatan malam pertengahan bulan Juli tahun ini, bagi sebagian penonton yang kulihat meneteskan air mata. Tak dapat kusangkal rasa senang dalam diri ketika mereka bertepuk tangan sembari tersenyum simpul. Nada ini begitu mellow terasa sangat menyayat hati, banyak dari barisan penonton yang ikut mengusap pipi basah mereka. Enggan melepaskan pandang pada diriku, yang hampir tak tampak lagi karena kibaran tirai hitam yang meluncur teratur di atas panggung. Bahagia dan haru kental kurasa, mengingat kemeja yang kukenakan kini menjadi saksi betapa hebatnya aku dalam mengendalikan tuts monokrom tersebut. Menjadi pianis bukanlah keinginanku, namun dari situlah pundi-pundi Rupiah dapat kukumpulkan. Ini merupakan salah satu dari beberapa profesi yang kugeluti. Jujur aku lelah, tapi mengingat ke mana aku pergi sekarang membuat perasaanku jauh lebih baik. Derap kakiku kian melambat begitu sampai di daun pintu, memutar knop perlahan lalu mengendap-endap agar tidak menimbulkan kegaduhan. Aku berbalik setelah mengunci pintu sepelan mungkin. Namun... "Hmm?" Seseorang telah berdiri sedikit lebih jauh di hadapanku, ia dengan cepat tertatih mendekat dan kini hanya berjarak beberapa meter dariku. Dari pakaian yang ia kenakan sepertinya ia hampir tertidur kalau saja tidak menyadari kepulanganku. "Kenapa belum tidur?" aku mencoba bertanya untuk menghalau rasa ketidaknyamanan baginya. Namun, ia hanya menggeleng dan tersenyum kecil. Lalu menggapai lenganku, dan selanjutnya aku sang pemimpin jalan. Di atas meja kayu berbentuk bundar di sana dapat kulihat berbagai macam jenis masakan yang tak biasa tersaji di rumah. Masakanku dan ayah yang beberapa saat lalu kami selesaikan tanpa sepengetahuannya. "Hmm," gumamnya lembut bersama secup kue cokelat kecil yang ia sodorkan tepat di wajahku. Ketika aku akan menyuarakan pendapat, ia terbirit kecil menuju laci di meja dapur. Sebuah lilin kecil berwarna putih ia tancapkan di atas kue cokelat tersebut, kemudian kembali diberikan padaku. Lagi-lagi dirinya bergumam sembari membentuk alisnya menyatu bersama kernyitan tipis di dahi. Karena aku tak kunjung menerima dan meniup lilin yang disodorkannya padaku. Lilinnya tidak berapi. Aku merasa seperti kembali pada masa remaja, kupikir ini tidak terlalu penting. Bahkan aku tidak mengingat hari jadiku jatuh pada hari ini. Amin, lalu kuhembuskan nafas panjang sebelum berlaku layaknya meniup lilin yang masih setia ia pegang. Ketika usai meniup udara di atas kue, kulihat senyumnya mengembang sangat lebar, sampai dua buah lesung pipi di pinggir bibirnya terpampang jelas. Cantik. "Apa yang kuminta dalam doaku?" Seakan mengerti maksudku ia mengangguk, selalu seperti ini. Kapan pun saatnya aku berulang tahun dia harus mengetahui apa yang kuharapkan. Berdalih agar harapanku terkabul karena telah terucap. "Hanya sebuah kehidupan yang lebih baik lagi ke depannya." Maka tersenyum adalah satu-satunya hal yang ia torehkan. Dalam lingkup hidupku yang hanya seputar ayah dan dirinya, aku sadar seberapa besar pengaruh mereka bagiku. *** Pagi ini terasa lebih sejuk dari biasanya, embun yang hampir menetes turun bersamaan dengan air hujan. Segelintir rasa berat menyanggahi kedua kakiku, malas sekali rasanya untuk sekedar beranjak dari tempat tidur. Menarik selimut tinggi kemudian pergi tidur lagi dan bagun kapan saja aku mau. Tapi bisakah aku seperti itu? Menatap langit-langit kamar dengan pemikiran melayang entah ke mana. Kemudian, suara ketukan pintu di luar membuatku bangun dalam sekali bunyi. "Selamat pagi, ayo sarapan," ajakku namun, dengan cepat ia cekal. Wajahnya merengut tidak suka sembari menutup hidung. Aku belum membasuh wajah lebih dulu. "Lima menit, Kakak akan selesai dalam waktu tersebut." Ia hanya tertegun dengan pandangan kosong, kemudia keluar dari kamarku. Debaman pintu tak membuatku tuli dengan gumaman kecilnya yang mencibir "dasar" "Jangan terlalu memaksakan tubuhmu Alpha, tidak baik," ucap ayah yang setiap kali mengingatkanku akan hal itu. Lelaki tua dengan balutan kaos kuning lusuh dan celana bahannya duduk sekarang menyantap sarapannya tidak fokus. Sesekali aku menangkap atensinya jatuh padaku. Namun, tak jarang pula tertuju pada sosok gadis bersurai panjang di sebelahku. Aira. Dia tak menoleh, sendok dalam genggamannya ia letakkan kemudian meminum segelas air. Hal tersebut tentu saja mengalihkan perhatian kami padanya. Sampai ia berdiri dan memelukku dari samping, refleks aku ikut berdiri. Wajahnya ia jatuhkan pada sisi pundakku. "Kenapa, hmm?" Kuusap pelan tangannya yang melingkar di daerah lenganku yang kosong, membiarkannya dalam kenyamanan. "Anak ayah menginginkan sesuatu?" di seberang sana ayah melihat kami dengan senyum keriput khasnya. Ia menggeleng sembari memberi jarak padaku, tanpa banyak bicara melanjutkan sarapannya seperti biasa. Seolah tidak terjadi apa-apa barusan, meraup kembali sendok beserta temannya dengan suapan-suapan kecil sampai habis. "Bosku liburan hari ini sampai akhir pekan." "Jadi kamu libur?" ayah menanggapi dengan seperangkat alat makan yang sudah ia tumpuk dan dibawa ke tempat pencucian piring. "Ya kapan lagi Alpha libur panjang seperti ini Yah," sahutku tenang membantu beliau menyusun sisa lauk-pauk. Sementar Aira sudah sibuk dengan sabun dan sabut di tepian washtafel. Ia tak menoleh barang sekejap. Tak menghiraukanku yang sudah berada tepat di sampingnya berdiri, tidak melihat keberadaanku. Rautnya menggambarkan ketenangan yang amat dalam, sedang tangannya sibuk. Sengaja kubuat jarak kami semakin kecil, hingga ia menyadarinya dan menghentikan pekerjaannya. Dia tetap diam bahkan saat aku sengaja mengambil alih sabut dan piring dari tangannya. Kudesak terus dirinya agar menghentikan kegiatannya, namun seolah tidak tahu aku diabaikan. Ketika kurasa lagi-lagi aku yang harus menyerah, maka pertanyaan itu lolos dari bibirku. Benar, ia diam dengan segala tingkah tenangnya. Dirinya handal menyembunyikan perasaan. "Ayah pergi Alpha, Aira," suara ayah mengakhiri keberadaannya di rumah sebelum berangkat kerja. Setelah kututup dengan ucapan "hati-hati" dan sejumlah doa dalam diam, sosok tinggi tegap yang menjadi panutanku itu enyah dari tempatnya. Kini hanya kami berdua, secepat kilat ia berpaling dari hadapanku setelahnya. Aku hanya mengikuti ke mana kakinya melangkah, hingga sampai di depan pintu kamarnya. Ia berbalik masih tanpa menatapku. "Kakak tidak bohong, benar bosku memang sedang liburan," jelasku. Ia berdecih menanggapi. "Tapi kakak sedang tidak libur!" kalimatnya terasa seperti pernyataan bukan pertanyaan. "Kakak libur, sungguh." Hening setelah ia memilih untuk masuk ke kamarnya, aku masih diam memandang pintu kayu bergambar dua orang kartun perempuan berambut panjang yang saling berpelukkan. *** Barisan kata hingga membentuk kalimat yang berjajar rapi di depanku, bukanlah hal yang menarik sama sekali. Mereka berkumpul dalam sebuah bingkai cokelat muda dengan desain indah, ukiran apik berarti "Jiwa" dalam bahasa Inggris itu menjadi judul buku tebal di tanganku. Namun, obsidianku bekerja tidak sejalan dengan hati dan pikiran. Bagaimana sosok di depan sana meringkuk di atas sofa dengan televisi menyala di hadapannya. Aku mendekat mencoba melihat apa yang tengah dilihatnya. Pada jam-jam segini kuyakini dia suka mendengar acara kesehatan atau panggung musik. Saat sudah hampir sampai menghadapnya, suara bass seseorang sampai di runguku. Seperti buaya dan ular mereka melilit sosok di atas sofa itu dalam dekapan erat. Gadis di atas beruang besar merah muda itu memekik kecil, lalu menghujami keduanya dengan pukulan bertubi-tubi menggunakan topeless keripik kentang karena merasa terkejut. "Hei, hei Aira ... hentikan okee. Aduhh ampun-ampun," pekikkan nyaring itu berasal dari pria kurus yang sibuk menutup wajahnya. Sedang satunya aman dengan tubuh tinggi dan lengan panjangnya, sehingga ia dengan mudah menghindar. Namun, gadis itu terlalu pintar untuk ditipu. Ia menggigit jari manis pria tinggi itu saat empunya lengah. Dan selanjutnya ... "Aaghh ..." Nyanyian seperti ini adalah makananku setiap hari, melihat bagaimana mereka berinteraksi membuatku bahagia sekali. Ya, bahagiaku sangat sederhana. "Alpha! Apa kamu akan terus berdiri di sana melihat tubuh kami remuk di sini?" "Ya," jawabku sembari melangkah tanpa melerai ketiganya. Ketiga makhluk tersayangku sibuk dengan pelototan-pelototan ambisius mereka, dua orang tamu tidak sopan itu merintih serta menggerutu, dan satu orang gadis mendaratkan bogem mentah tepat dikedua pundak kedua pria tersebut. Sekuat apa pun dua lelaki itu jika sudah berurusan dengannya pasti kalah pada akhirnya. "Kami tidak jadi memberimu hadiah." Aira mengerjap, memalingkan wajah seolah mencariku dan Chandra bergantian. Pria tinggi semampai itu tenang dengan usapan kecil pada jari tangannya, ia tersenyum melirik Aira dalam keadaan diam. Sedetik kemudian memeluk gadis itu, bahkan membawanya dalam angkatan tinggi untuk selanjutnya diputar di udara. "Jangan cemberut begitu, Kakak hanya bercanda," ucap Chandra kemudian meletakkan Aira pada sofa dan kembali merangkulnya. Di sampingku pria kurus yang lebih pendek dariku dan Chandra itu mencebik merajuk. Tatapannya beralih pada Aira yang berada dalam dekapan Chan--sapaan akrab Chandra--. Ia menyembunyikan kantongan putih di balik tubuhnya lalu meninggalkan kami begitu saja menuju dapur. "Katanya mau memberiku hadiah?" Wajah itu terlalu cantik untuk dikatakan melas. Chan menoleh, meletakkan lengan panjangnya pada bahu dan kepala Aira. Surai legam wangi aroma buah langsung menguar ketika pria jakung itu membelainya random. "Tidak sabar sekali ternyata eh, tapi kayaknya itu ada padanya," Chan mengangkat tangan Aira dan menujuk tepat ke arah datangnya Bintang. Kemudian aku mengkode Bintang untuk memberi tanda kehadirannya. Pria yang terpaut usia tiga tahun lebih tua dariku itu datang dengan senampan minuman dan beberapa camilan dalam topeless. Dia terkekeh kecil, lalu menghampiri Aira di sana. Ia memberikan segelas minuman berwarna putih padanya yang kuyakini s**u. "Hadiahku mana?" Binarnya seakan membius Bintang yang tadinya dalam mode merajuk seketika mencubit pipinya gemas. Lantas meletakkan sebuah papper bag bermotif batik pada pangkuan Aira. Aku bersumpah tidak akan ada kata maaf untuk orang-orang yang telah menyakitinya. Sudah cukup kebodohanku kala itu saja, jangan ada Alpha yang lain. Demi mendiang ibu yang berjuang nyawa untuknya maka aku juga akan bertaruh nyawa walau semenyedihkan apa. Ayah dan Aira adalah harta terbesar bagiku, terlebih Aira dia adalah anugerah terbesar dari-Nya. *** Kini hanya kami bertiga yang masih tersisa di ruang tamu rumahku. Selepas mendapat hadiah kanvas beserta jajarannya, Aira dengan wajah sumringahnya melesat ke kamar. Melakukan kegemarannya sejak kecil dengan beragam cat air untuk membentuk sesuatu yang indah. Dia dengan semangat mudanya, selalu berfikir positif. Jika saja ibu masih ada, beliau begitu bangga melihat bagaimana dirimu tumbuh setiap harinya. Aira adalah kesalahan dan kebahagiaan di keluarga ini. Bagaimana dulu kerasnya aku mencoba membeci Aira bayi. Tapi, sekarang aku tidak akan bisa hidup tanpanya dan ayah. "Bernoslagia Bung?" Suara bass Chandra meraup kembali kesadaranku. Kedua beagles itu duduk bersampingan sembari menatap penuh padaku. "Aku pernah dengar cerita, seorang pemuda yang mengikat diri di atas jembatan gantung begitu mengetahui kekasihnya meninggal karena penyakit. Tak lama terdengar kabar bahwa lelaki itu hidup bahagia dengan istrinya yang tidak jadi meninggal," ungkap Bintang mulai bercerita. "Aahh cerita itu, ya sepertinya aku tahu." "Kamu lebih baik diam, dengarkan aku dulu Chan." Bintang tidak suka jika pembicaraannya dipotong oleh seseorang. Dengan raut merengutnya Chan kembali hening. Mendengarkan cerita yang Bintang jabarkan panjang lebar. Ternyata itu hanyalah sebuah alur fiksi yang ia baca dari sebuah n****+. Chan berdecak keras dengan potongan keripik kentang yang ia layangkan pada wajah Bintang, ia merasa tertipu. Mana mungkin ada seseorang yang sudah meninggal dan jasadnya dilenyapkan dengan cara dikremasi dapat hidup kembali, jika bukan hantu dan cerita khayalan. "Makanya jangan sok tahu, kamu sedikit-sedikit aku tahu-aku tahu. Padahal membuka buku saja kamu gak pernah." Bintang dengan selera humornya terkadang dapat menghiburku dikala lintasan masa lalu itu hadir menjadi lubang hitam. Kedua orang ini bukan lagi sahabatku, pertemuan kita yang terjadi beberapa tahun silam meredam banyak konflik. Namun, aku senang dengan begitu aku bisa mengenal mereka. Chandra, pria tampan yang mengaku sebagai kakak angkatku itu sebentar lagi akan melangsungkan acara pertunangannya. Bintang, makhluk mungil yang terkadang cantik dan tampan dalam waktu bersamaan itu adalah seorang dokter. Bintang pria tulen. Mereka bukan dari kalangan kelas atas ataupun sebaliknya, kehidupan kita tak jauh berbeda. Hanya beberapa hal yang sulit dijelaskan menjadi perbedaan di antara kami. Maka jangan berpikir mereka atau aku yang lebih beruntung dari siapa pun. Kami sama, berbeda cerita, kisah, dan tema.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN