Alpha POV
Kamu yang semakin jauh digapai, semakin sulit dimiliki. Kamu yang hanya dirimu sendiri bisa menguasai.
Ketika mulai memejam dan terlelap, di alam mimpi pun semua hanya tergambar bagaimana sosokmu yang menari-nari di hadapanku. Kamu yang selalu saja menjadi landasa diri ini untuk selalu bertahan. Pulang, sebab kaulah rumahku.
Dari sekian banyak manusia di muka bumi ini, dan beragam yang namanya wanita namun, tambatan hati yang ingin kutetapkan sebagai pendamping di masa depan hanya satu.
Dirimu dan semua yang ada pada dirimu.
Gadis kecil yang dulu selaluu sendirian, kesepian, kau yang taak pernah seberuntung saudara kembarmu. Gadis kecil ringkih nan lemah menanggung beban yang sangat besar. Tetapi tak pernah mengeluh.
Seperti sosokmu yang kuat dan mandiri, kamu adalah harapan dan keinginan yang selama ini selalu kusebut namamu dalam doa.
Adik kecil yang tak pernah banyak meminta, berharap, dan menuntut. Sebaliknya, kau adalah gadis kecil yang selalu memberi, menerima, bersyukur atas segala kekurangan yang kau miliki.
Aira, gadis kecil itu adalah dirinya yang tumbuh dewasa menjadi gadis yang sangat luar biasa. Sikap dan sopan santun yang sangat mengangumkan. Airaku yang selalu bersih hatinya, Airaku yang selalu menjadi panutan banyak orang. Kesayangan semua orang-orang di sekelilingku.
Itu mengapa, dulu Aira selalu menyimpan segala perasaannya sendirian sebab ia yang ingin memberatkan siapa pun. Sejak dini sekali, pemikirannya sudah dewasa.
Beban yang dimilikinya adalah tanggungannya sendiri, tanpa boleh harus membebani siapa pun.
Aira yang sejak kecil sudah telah menjadi pribadi teladan. Betapa berat dan sakit luka yang dialaminya. Namun, lagi-lagi kesakitan tersebut tak pernah ditunjukkannya kepada seorang pun. Termasuk pada Ayah dan diriku sekali pun.
Kata orang, “Jangan menjadikan seseorang sandaran jika kau sendiri terlalu enggan menjadi sandaran bagi orang lain.”
Sebagaiman kata pepatah tersebut, begitu pula diriku yang terlalu egois atas segala rasa dan keinginan.
Ingin memiliki semuanya, seutuhnya. Sementara aku saja, enggan dimiliki siapa pun kecuali pada Aira.
Cinta, pada dasarnya adalah rasa suka dan sayang terhadap lawan jenis. Meski makna cinta yang sesunggunya itu sangatlah luas.
Namun,bagi kebanyakkan khalayak, cinta adalah jika perasan kedua sejjoli tumbuh pada pusat yang sma.
Cinta kepada keluarga, kepada saudara, kepada hal-hal yang diinginkan, dan definisi cinta itu sendiri bisa digunakan untuk menggambarkan perasaan terhadap apa pun yang kita sayangi. Termasuk pada benda mati sekali pun.
Bicara cinta, adalah topik yang umum. Klasik.
Dan jujur, sejak dulu perasaan cinta tidak terlalu berarti bagiku yang hanya penuh amarah dan kebencian. Cinta itu hanya omong kosong belaka.
Tak berarti apa pun, tidak menguntungkan, tidak pula tummbuh sebesar sekarang.
Ya, itu dulu. Sebelum Aira mengacaukan serebrumku. Menyadarkanku akan kesalahan fatal yang pernah kuperbuat padanya. Aira lah yang menggembleng rasa kemanusiaanku.
Dia, Airaku yang sampai saat ini kukasihi setengah mati.
Ingin mendengar kisah masa lalu kami?
Tentang bagaimana Aira yang selalu dan acap kali menjadi korban terakhir. Menjadi alasan selalu kubenci dan alasan kuat aku yang tak pernah ingin memiliki hubungan kekerabatan apa pun padanya.
Dulu itu, di mataku Aira seperti layaknya kesialan. Aib dan kesalahan yang hadir tanpa diinginkan. Lebih tepatnya, hanya aku yang tak menginginkannya.
Ayah bahkan adalah jalan bagaimana mata hatiku bisa terbuka dan menyadari bahwa Aira patut disayangi.
Adikku itu, kisah hidupnya terlalu memilukan untuk dicerikan kembali. Jadi, aku sungguh sangat tak sanggup.
“Kakak cantik!”
“Eh, iya? Ada apa Juno?”
“Eiy ... Kakak cantik melamun ya?”
“Ha? Tidak kok. Nih, Kakak baca ini.”
“Wah ... apa itu Kakak cantik?”
“Ini namanya buku huruf braile Juno.”
“Apa yang bisa dibaca, Kak? Isinya saja tidak ada. Kosong, hanya putih dan ada titik-titiknya di sana.”
Seperti itu percakapan yang sedang terjadi antara Aira dan Juno sekarang. Bocah lelaki kecil yang juga tak sesempurna adikku namun, keduanya tetap mencoba tersenyum dan tak pernah menunjukkan kesakitan mereka.
Juno si bocah cengeng yang waktu itu tidak sengaja melempar bola ke tangan Aira. Tanpa disangka-sangka, sekarang kami justru dipertemukan kembali dengan cara seperti ini.
Sesuai permintaan Aira beberapa saat lalu, yang mengatakan ingin bermain dengan Juno seharian, aku menurutinya dengan senang hati.
Lagi pula tidak ada alasan yang bisa menghalangi keduanya bermain untuk sementara. Aku pun bisa mengawasi keduanya dengan tenang.
Ya, sebelum menemui Juno aku sudah menanyakan keadaan bocah itu secara detail pada dokter yang menanganinya. Dan keberuntungan sedng berpihak pada kami, anak laki-laki kecil itu free hari ini.
Jadwal terapinya akan datang di hari yang sama seperti Aira, lusa. Hanya saja Juno siang sampai sore sementara adikku pagi sampai menjelang siang.
Jadi, berakhirlah kami di sini. Di ruangan Juno dengan segala mainan-mainan yang memenuhi ruangan. Mulai dari robot-robotan, mobil-mobilan, sampai pada ke boneka, bola, dan lain sebagainya tersedia di sana.
Dan dua orang bocah itu sedang asik dengan kegiatan mereka di sana. Aira yang membaca buku brailenya. Sepertinya ia sedang merindukan masa-masa dulu saat ia masih membaca dengan buku tersebut.
Dan Juno di sebellahnya yang terlihat kebingungan dengan apa yaang Aira lakukan.
Aku sendiri duduk tidak jauh dari mereka. Sofa berwarna lilac yang sedang kududuki sekarang berjarak tidak sampai 4 meter dari keduanya.
“Iya, justru itu. Tititk-titik ini adalah media untuk membacanya.” Aira menanggapi dengan sabar. Senyum tipisnya pun tersaji di sana, lembut sekali.
“Bagiamana cara mebaca, Kak? Buku yang biasa Juno baca tidak seperti itu kok. Ada hurufnya yang terlihat, ini kan ... tidak ada.”
Aira mengangguk, “Tidak semua orang bisa membaca ini Juno, hanya orang-orang tertentu saja.”
“Orang-orang tertentu?”
“Iya, mereka yang istimewa tidak bisa melihat.”
Di sampingnya, bocah lelaki itu tampak mengernyit kebingungan. Sesekali mengerjap serupa Aira yang biasanya kalau bingung.
Aku terkikik ringan.
“Memang ya, kelakuan anak-anak itu sama semua. Lucu dan menggemaskan.”
Dan salah satu dari anak-anak di depan sana adalah gadis yang kuharap dapat kumiliki seutuhnya itu.
“Coba kemarikan tangan Juno.”
Sebuah telapak yang besarnya tidak terlalu jauh ukuran tangan Aira pun mendekati buku yang dipegang adikku.
“Sini, coba Juno sentuh ini secara perlahan.”
Dengan hati-hati bocah lelaki yang mengenakan kupluk di atas kepalanya itu menempelkan jemari kecilnya pada buku. Bergerak pelan seklai, seirama dan tertatur seolah mengikuti bintik-bintik tersebut.
“Oh! Ini huruf H ya Kakak cantik?”
Aira tersenyum kemudian menganggukkan kepalanya.
“Benar sekali. Kamu cepat memahami ya Juno.”
“Tentu saja, Kak. Ini-” menunjuk pada salah satu huruf yang tadi dirabanya. “Bentuknya seperti huruf H kan?”
Eh?
“Jadi kamu mengetahui itu huruf H karena melihatnya?”
“Iya,” jawab Juno polos.
“Bukan karena meraba dan merasakannya?”
Bocah itu menggeleng. “Memang keapa harus diraba, Kak? Dilihat lebih mudah.”
Hahaha ...
Lagi-lagi aku terkikik dengan tingkah kedua bocah di sana.
“Kan Kakak sudah bilang, buku ini untuk mereka yang tidak bisa melihat. Makanya cara membacanya dengan media peraba. Setiap titik – titik yang dapat kita rasakan bentuknya secara perlahan. Dengan begitu akan ketahuan itu huruf apa.”
Juno mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Bagi yang tidak bisa melihat, karena indera penglihatan mereka tida bisa digunakan lagi, oleh sebab itu dengan huruf braile dapat merangsang indera peraba dan kejelian pada mata batinnya. Rasa kepekaan karena menebak pada buku jenis braile.”
Tidak banyak ekspresi yang dilakukan oleh Juno selain hanya membuka mulutnya serupa huruf O tanpa suara. Sepasang mata bulatnya yang kecil pun melebar seolah takjub pada penjelasan Aira.
“Kalau Juno ingin belajar ini bagaimana, Kakak cantik? Boleh tidak?”
“Boleh, tapi kan kamu bisa membaca buku yang normal seperti buku-buku biasanya.”
“Tapi Juno ingin melatih kepekaan dan indera peraba Juno, Kak.”
“Oh, kenapa begitu?”
“Tidak ada, hanya ingin saja. Hehe ...”
“Oke, bisa dong tentu saja.”
“Tapi Kakak yang mengajarinya ya?”
“Iya, dengan senang hatti pangeran kecil,” jawab Aira mengangsurkan senyum menawannya.
Aku beranjak dari tempat duduk. Menghampiri keduanya sejenak untuk memberi segelas air mineral pada Juno.
“Minum dulu, Juno. Bibir kamu tampak kering,” kataku.
“Baik Dokter Alpha.” Gelas berisi air putih hampir penuh itu pun, ia ambil dan menenggaknya dengan cepat.
Sebenarnya, dari pada kering bibir Juno lebih terlihat pucat. Ini dikarenakan dampak dari terapi yang ia jalan beberapa waktu ini. Kemo terapi yang mengambil butir-butir rambutnya dan mengakibatkan kelainan pada darahnya sehingga pada saat-saat tertentu, Juno akan terlihat sangat pucat.
“Kamu mau minum juga, Ra?”
“Bisa tolong ambilkan, Kak? Hehe ...”
Kuusap puncak kepalanya sesaat.
“Jadi kamu juga haus? Kenapa tidak bilang dari tadi, Aira?”
“Maaf, Kak.”
“Kamu tidak boleh menahan haus, lapar, atau apa pun itu, ingat! Katakan pada Kakak apa saja yang kamu mau.”
“Iya, Kak Alpha maaf.”
“Jangan mengulangi hal seperti ini lagi ya?”
“Iya, Kak.”
“Oke sebentar Kakak ambil dulu minumnya.”
Berhubung di atas nakas tidak ada gelas lain selain milik Juno, jadi aku akan ke pantry sejenak. Mengambil air putih untuk Aira dan beberapa camilah berupa buah-buahan untuk teman bermain mereka.
“Jangan seperti itu lagi, oke?”
“Iya, Kak Alpha. Aira mintaa maaf ya?”
Namun aku menggeleng, “Jangan berkata begitu Aira. Jangan minta maaf pada kesalahan yang tidak kamu lakukan.”
Adikku hanya mengangguk.
Menyematkan sebuah kecupan kecil di dahinya yang putih lalu kemudia keluar dari ruangan Juno.
“Hei jagoan, titip Kak Airanya sebentar ya? Kamu juga jangan melakukan kegiatan membahayakan apa pun, dengar itu?”
“Siap Dokter Alpha,” jawabnya semangat sembari membentuk tangan seperti hormat.
“Oke, tunggu sebentar ya Tuan Putri dan Pangeran kecil.”
“Baik, Ksatria!”
Aku terkikik dibuat kalimat Juno.
Ksatria? Oh apa itu?
“Kakak cantik – Kakak cantik?”
“Ya?”
“Dokter Alpha terlihat sangat menyayangi Kakak ya? Dia terlihat seperti lelaki yag akan memberikan segalanya pada wanita pilihannya.”
“Hei kamu ini, ada-ada saja.”
Perbincangan kecil mereka yang masih bisa kudengar dari balik pintu. Lagi-lagi aku tertawa karena tingkah menggemaskan Juno.
“Oh, Alpha?”
“Hai, Bi. Sudah lama ya tidak bertemu.”
Bintang datang dari arah yang berlawanan denganku. Di koridor yang cukup lenganng ini, pria yang lebih tua dariku itu tersenyum simpul.
Kantung matanya terlihat jelas menghitam di sana. Juga warna bola matanya yang agak memerah, pun sneli yang digantung di lengannya, sementara kemeja putih ia biarkan menutupi tubuhnya.
“Iya, padahal hanya dua hari ya. Tapi rasanya sudah seperti dua setengah tahun saja,” ucapnya diiringi kekehan kecil.
Aku pun menanggapi dengan kekehan yang sama.
“Bagaimana keadaan Princessku, Al? Aira baik-baik saja kan?”
Aku mengangguk cepat, “Seperti yang kamu harapkan, dia baik. Tapi-” menjed sejenak, aku sengaja menatap sekali lagi tampilannya dari atas sampai bawah.
“Sepertinya kamu yang tidak baik, Bi?”
“Kelihatannya begitu?”
“Hum. Ada apa? Matamu sudah seperti panda. Kau juga tampak semakin kurus dalam dua hari ini.”
Bintang terlihat menghela nafas sesaat. “Banyak hal yang harus kukerjakan akhir-akhir ini, Al.”
“Iya tapi kau juga jangan melupakan kesehatanmu, Bintang. Jangan sakit disaat kita juga sedang merawat orang sakit.”
“Iya dokter Alpha Riandra, iya. Paham kok.”
“Kalau boleh tau, ada apa, Bi? Tidak biasanya kau seperti ini?”
Alih-alih menjawab, Bintang malah mengusap wajahnya frsutasi. Kelihatan sekkali dirinya memang sedang gunda gulana.
“Kalau melihat dari warna hitam di bawah matamu itu, sepertinya kau jarang tidur. Jadwal operasimu sebanyak itu, Bi?”
Bintang menggeleng.
“Justru aku dialihkan tugas hanya berfokus pada satu pasien saja.”
Lalu, kenapa sampai seperti ini kacaunya tampilan Bintang kalau hanya satu pasien yang dia tangani.
“Pasienmu mengalami sakit yang cukup parah?”
“Lebih dari itu, dia bahkan ssulit diajak kerja samaa, Al. Tidak ada semagatnya untuk sembuh. Aku sudah hampir gilaa menghadapi keadaan emosinya yang tidak stabil.”
“Separah itu?”
Bintang mengangguk.
“Winny, pasienku adalah Winny.”
Untuk sesaat aku terperangah, tiba-tiba tidak bisa bereaksi apa pun.
“Winny? Kekasihnya Chandra”
Dan anggukan Bintang menjawab segalanya.
“Iya, Winny.”
Keheningan beberapa saat melanda kami. Atmosfer yang tercipta pun sangat berbed dari yang sebelumnya.
“Sepertinya banyak yang harus kita bicarakan lain kali, Al. Kau terlihat agak sibuk hari ini. Aku juga masih harus melihat Winny lagi.”
Aku mengangguk setuju. Di antara kami saling menyimpan banyak cerita yang harus dibahas satu sama lain.
“Aku berniat menuju ke pantry untuk mengambil camilan dan minum untuk Aira dan Juno. Mereka sedang bermain di ruang rawat Juno.”
Bintang mengangguk beberapa kali.
“Katakan pada Aira aku sangat merindukannya, Al. Nanti malam kalau ada waktu aku ingin menemuinya. Tapi, kalau tidak bisa mungkin aku hanya akan melakukan panggilan video.”
“Oke, tidak masalah.”
“Sampaikan juga salamku pada Winny, Bi. Aku siap membantumu kapan saja kau butuhkan.”
“Oke, Brother.”
Begitulah pertemuan singkatku pada Bintang hari itu. Dan sepertinya memag banyak kisah yang tidak kami ketahui masing-masing.
Aku pun cukup terkejut mendengar keadaan Winy dari Bintang langsung.
Sampai saat itu tiba, aku ingin semuanya kembali normal dan hanya akan ada akhir yang bahagia pada kami semua.
Alpha POV end
Back to Author POV
Dear Diary,
Tuhan, jika boleh meminta, aku ingin menjadi alasan setiap orang untuk bertahan. Menyebarkan hal-hal positif dan dapat menginspirasi banyak jiwa.
Karena pada jiwa yang sehat terhadap kebaikkan yang agung untuk dipertahankan. Seperti saat matahari dan bulan yang bergerak pada porosnya masing-masing, pada keunggulan dan dan fungsi yang bermanfaat bagi banyak individu.
Aku hanya ingin demikian, bermanfaat untuk semua makhluk hidup.
Pada orang-orang terdekatku, orang-orang yang kusayangi. Ayah, Kak Alpha, Kak Bintang, Kak Chandra, tolong berikan mereka kebahagiaan yang tiada tara sampai suatu hari nanti aku bisa melihat senyum mereka berkembang sempurna.
Keluarga, sejak kecil aku sudah kehilangan makna keluarga tersebut jadi, di masa sekarang bisakah aku sedikit berambisi untuk memiliki sebuah keluarga yang dapat meninggalka kesan baik begitu mendalam sebagai memory indah nantinya?
Aku hanya ingin Ayah dan Kak Alpha hidup bahagia tanpa merasa terbebani dengan kondisiku.
Bukankah aku sudah terlalu merepotkan sejak dulu?
Maka, aku hanya ingin mereka semua bahagia pada jalan masing-masing. Meskipun jika harus tanpa aku di dalamnya.
Tak mengapa, sungguh. Maka biarkan pula aku beristirahat dengan tenang. Namun, jika masih ada kesempatan yang Engkau berikan untuk kehidupanku, ambillah semua rasa sakit ini.
Rasa sakit yang begitu hebat menggerogoti tubuhku. Dan biarkan aku hidup bersama orang-orang yang kusayangi.
Tuhan, jika nanti aku bisa memilih untuk pergi atau bertahan, aku ingin bertahan. Tetap di samping Kak Alpha sampai selamanya.
Aku juga ingin tetap tinggal bersama Ayah yang begitu hebat dan pahlawan yang sangat kucintai dalam hidupku.
Tuhan, tolong berikanlah kesehatan dan keselamatan selalu pada mereka yang kusayangi. Tolong berikanlah kemudahan pada apa saja urusan mereka suatu saat nanti, apa pun itu. Sayangilah mereka seperti aku yang menyayangi mereka.
Cintai pula mereka sebagaimana aku mencintai keluargaku. Ayah, Kak Alpha ...
Mereka berhak bahagia.
Dan aku, akan menjadi orang yang pertama kali tersenyum pada kebahagiaan mereka. Setidaknya sampai mata ini mampu terbuka dan melihat dengan sehat.
Love sign
Aira,