Bab 60

2483 Kata
“Hai Aira ...” Seorang gadis yang sedang menguyah buah apel di mulutnya itu pun berhenti sejenak. Lantas, menatap pada seseorang yang baru saja datang memasuki kamarnya sembari menyapanya. “Kak Bintang ...” “Iya, Sayang. Duh ... rindu banget tau Kakak sama kamu, Princess.” Kalimat Bintang begitu mendapat sambutan hangat dari sosok cantik di ujung kepala tempat tidur pasien itu. Dengan langkah lebarnya ia berjalan menuju Aira, piring berisi buah-buahan yang sudah dipotong-potong itu pun ia letakkan pada nakas dekat ranjang. Kemudian menyeka tangannya dengan tisu dekat vas bunga mawar putih kecil di sana. “Aira juga, Aira rindu banget tau sama Kak Bintang,” katanya seolah mengadu. Lelaki yang hari ini terlihat lebih segar dengan tatanan rambutnya yang rapi, juga wajah cerah tak semengerikan terakhir kali Alpha melihatnya waktu itu. Kantong mata hitam yang mengganggu pun sudah berganti abu kemerah-merahan. Oh, tidak sebaik itu juga ternyata. Tapi, masih lebih baik dari pada yang sebelumya. Setelannya juga rapi, tampak bersih dan wangi. Grep! Sebuah pelukkan rindu Aira lakukan saat tubuh atletis Bintang yang tidak sebesar tubuh kakaknya itu mendekati ranjangya. Dengan jarak sedekat ini dan hampir tak ada jarak juga sih, sebab Aira menyembunyikan wajahnya di dadaa bidang Bintang, gadis itu bisa mencium wangi harum memenuhi mukosanya. Ia bahkan mengusruk-ngusrukkan kepalanya ke kanan dan ke kiri. Uh ... Seperti anak kucing yang baru bertemu induknya. Duh ... gemasnya. Bintang pun kecup lama puncak kepala gadis kecil kesayangannya itu.. “Ngomong-ngomong, kamu sendirian Princess?” Masih dalam pelukkan Bintang karena gadis itu enggan melepaskan dekapnya, Aira menggeleng. “Tadi ada Kak Julio yang menemani kok, Kak.” “Lalu, sekarang ke mana dia?” “Sedang melihat pasiennya di ruangan sebelah. Baru saja.” Bintang mengangguk saja, toh dia tidak ada urusan dengan Julio kok. Dia kan sedang merindukan Princess kecilnya dan ingin melihat anak ini. “Sayang ... bagaimana keadaan kamu akhir-akhir ini?” “Great! Hehe ...” “Good news. Kata Dokter Tae Young juga banyak perkembangan dari yang sebelumnya. Kamu bisa sembuh total Princess.” Bintang berucap semangat. Aira memberi jarak, lantas mendongak demi bisa menatap wajah Bintang. “Benarkah?” “Tentu saja, kamu bisa menjadi Aira yang sehat dan peri kecil Kakak yang mengagumkan.” Kalimat yang membuat kedua mata Aira berkaca-kaca, untuk menghindari itu ia kembali merangsek masuk ke dalam dekapan hangat Bintang. Tidak mau menunjukkan air matanya yang bisa saja jatuh sewaktu-waktu. “Terima kasih sudah bertahan sampai sejauh ini, Princess,” ucap Bintang tulus. Melalui kungkungan erat pada gadis dalam dekapannya ini ia ingin memberitahukan seberapa besar rasa sayangnya terhadap Aira. Meski bukan saudara kandung sebagaimana Alpha padanya namun, Aira bagi Bintang adalah rasa yang begitu besar. Sudah seperti adik yang mempunyai hubungan darah sungguhan. Dengan segala kekurangan yang Aira miliki, dan hati yang lembut juga perangainya yang bukan main supel kepada orang-orang membuat siapa saja mudah menyayangi gadis ini. Termasuk Bintang. Bahkan ia juga mengetahui bagaimana cerita hidup Aira semenjak bayi. Ayah Adnan pun sering kali menceritakan perihal hubungan sepasang kakak beradik itu diam-diam. Tanpa sepengetahuan Alpha tentu saja. Singkat cerita, karena terlalu banyak hal yang sudah Bintang dengarkan mengennai Aira dan Alpha, terlebih Aira dengan segala keistimewaannya, ia jadi bersimpati. Bukan karena kasihan melainkan karena takjub pada sosonya yang pure. “Sehat-sehatlah dan terus tumbuh dewasa sampai kapan pun ya, Princess.” “Uhum! Kakak juga.” Bintang mengangguk. Pasti! Akan ia usahakan untuk terus mengiringi jalan cerita Alpha dan Aira meski dirinya bukanlah pemeran utama. Sungguh taidk apa – apa. Lagi, tujuannya bersama sepasang kakak beradik ini adalah keinginannya yang kuat untuk terus melindungi Aira, sebab Aira bukan lagi orang asing atau sekedar asik dari temannya. Kedudukkan gadis kecil ini sangat utama. “Ekhem! Duh ... sepertinya ada yang sedang bermanja-manja ria ya. Apakah aku mengganggu?” Suara lain menginterupsi keduanya yang masih berpelukkan seperti Teletubis. Aira adalah orang pertama yang melepaskan pelukkan mereka. Dan mengintip dari celah lengan Bintang yang terduduk di pinggiran ranjanganya. “Kak Chan!” Chandra, orang ini juga ... Memiliki beban hidup yang sama seperti sepasang kak beradik Alpha-Aira. “Hei litlle bear.” Karena dirinya yang selalu dicap menggemaskan seperti beruang. Oleh sebab itu Chandra suka memanggilnya litlle bear. Ya, beruang kecil. Lelaki bertelinga caplang itu mendekat, duduk pada satu kursi kosong di sana. Dekat nakas, tidak jauh dari Bintang dan Aira di atas brankar pasien. “Beberapa hari terakhir ini Kakak jarang sekali kemari, apa terjadi sesuatu?” tanya Aira. Dia tahu mengenai Kak Winny, melalui cerita kakaknya beberapa hari lalu. Tapi, kali ini Aira akan berpura-pura tidak tahu saja. Ia ingin mendengar langsung dari Kak Chandra. Itu pun kalau Kak Chandra bersedia menceritakannya dengannya. “Mungkin Kak Chandra sibuk bekerja, Princess. Biasalah, seniman memang begitu. Nampaknya saja seperti pengangguran padahal uangnya banyak.” Bintang yang menyahuti. Mengikuti jokes Bintang, Aira terkekeh sejenak. Begitu pula dengan Chandra. “Maaf ya, Aira. Tapi kerabat Kakak ada yang sedang sakit dan Kakak harus menjaganya untuk beberapa hari.” Jadi benar, kabar itu ya. “Kakak bisa berbagi dengan Aira kalau merasa sulit sendirian. Segalanya akan semakin berat jika Kakak gak mau membaginya jadi, Aira bersedia untuk menjadi pendengar yang baik.” Kalimat tulus Aira ia ucapkan dengan lancar. Seolah ia memanglah bersedia mendengar semuanya. Namun, saat itu Chandra tak langsung menjawab. Lelaki bertelinga lebar itu melarikan pandangannya pada sosok Bintang di sana. Yang tepat saat itu Bintang juuga tengah menatapnya dalam. Jenis tatapan yang sdah jelas apa arti dan maknanya. “Kak Winny yang sakit?” Lagi-lagi dua orang pemuda di sana hanya bisa memandang satu sama lain. “Alpha yang memberitahu kamu, Princess?” Dengan polosnya, Aira mengangguk. Memang seperti itu kan? Lagi pula tidak akan ada masalahnyya juga kalau kakaknya memberitahukan hal ini padanya. Aira justru senang, bukan senang karena mendengar kabar Kak Winny sakit, TIDAK! Tapi, karena merasa sekali waktu bisa menghibur Kak Chandra kalau terlihat murung. Dan dapat memahami perasaannya juga. Selama beberapa tahun ini tinnggal bersama Kak Apha yang sudah berubah drastis dari sosok Kak Alpha yang dulu. Agaknya, Aira bisa memahami bagaimana perasaan Kak Chandra sekarang. Sebab, apa yang didengarnya selama ini dari cara Kak Alpha berbicara dulu, dan vokal yang menyiratkan suatu makna tertentu, ia bisa tahu bahwasannya kakaknya sedang tidak baik-baik saja. Kak Alpha terlihat sedih dan menyedihkan. Meski saat itu, Aira belum bisa melihat namun, nalurinya lebih besar. Bahkan secara cepat bisa mengetahui perasaan bagaimana yang sedang terjadi pada orang-orang di sekelilingnyna. Pernah mendengar istilah kalau, salah satu indera pada diri kita tidak dapat berfungi dengan benar maka, salah satu inderanya akan jauh lebih baik dari kebanyakkan manusia lain? Seperti orang yang tidak bisa berbicara namun penglihatan mereka sangat bagus. Atau seseorang yang tuna rungu tetapi ketangkasan dan jiwa mereka sanglah besar, berprestasi dan bahkan unggul dari yang lain. Lalu, para tuna netra yang mata batinya lebih baik dalam menebak sesuatu dan tidak sedikit pula yang tepat sasaran. Seperti Aira saat dulu, ya dia memanglah istimewa bukan? “Tidak apa-apa, Kak Winny hanya sakit biasa. Mungkin sebentar lagi akan pulang. Jadi, kamu juga harus sembuh dan pulang ya?” Aira mengangguk saja. Tapi, mengapa ia merasa ragu? Ragu pada jawaban yang Kak Chandra berikan padanya. Sepertinya memang benar ada yang sedang Kak Chandra dan Kak Bintang sembunyikan darinya. Begitu pula Kak Alpha yang berekspresi sama saat ia bertanya mengenai keadaan Kak Winny. “Oh ... kalau begitu Aira kirim salam pada Kak Winny ya Kak Chan. Sudah lama sekali kami tidak bertemu.” “Tentu Princess, nanti akan Kakak sampaikan.” Diam-diam Bintang dan Chandra memberi kode pada satu sama lain menggunakan cara yang mereka ketahui. Gerak bola mata dan mulut sepelan mungkin tanpa suara tentu saja, hanya bibir yang bergerak. Kanker stadium akhir dengan tingkat kesembuhan yang sangat minim. Bagaimana mungki mereka bisa menjelaskannya pada Aira, sementara gadis kecil ini juga menderita penyakit yang sama. Hanya saja, untuk tingkatan stadium Winny memang jauh lebih mengerikan. Diagnosis sampai kapan umurnya bertahan pun sudah tercetuskan. Oleh sebab itu, Bintang dan Chandra enggan memberitahu Aira. Bagaimana pun Aira masihlah seorang pasien yang memerlukan ketenangan pikiran. Dan ketenangan batin tanpa harus menerka-nerka mengenai kesembuhannya. Biar waktu yang menjawab dan tentunya diiringi doa juga kerja keras para dokter. Menumbuhkan semangat sembuh dan rasa optimis pada seorang pasien penyakit keras bukanlah hal yang mudah. Sebaik mungkin menjaga pikiran mereka adalah hal yang wajib. Karena pikiran juga dapat mempengaruhi proses pengobatan pasien. Di balik jiwa yang tenang ada raga yang bugar. Dan itu fakta bukan hanya sekedar ungkapan saja. Sementara di ruangan lain, masih di tempat yang sama. Seorang wanita berbalut pakaian rumah sakit berbaring tak berdaya di sana. Kepala yang terdapat topi rajut hangat pun membungkus rapat rambutnya agar tak kelihatan. Seorang lelaki yang sejak beberapa saat lalu hanya bisa diam menatapnya sosok lemah itu tertidur dengan bantuan alat pernapasan. Tabung oksigen di sisi kanan, dan monitor pemantau organ vital dalam di sisi kiri. Juga selang ifus yang mengalirkan cairan secara perlahan pun turut tertancap di punggung tangan sebelah kananya. Pada punggung lainnya yang bebas, Chandra usap perlahan. Ya, orang itu Chandra yang terlihat sangat menyedihkan menatap kekasih hatinya tengah berbaring dalam keadaan demikian. Tidak seceria saat berada di ruangan Aira tadi yang masih dapat menampilkan senyum hangatnya. Di ruangan ini hanya ada Chandra yang terpekur dengan pandangan kosong. Ia lihat itu dengan seksama. Kelopak mata yang merah dan hitam berpadu menjadi satu. Tubuh pun semakin hari semakin kurus dimakan waktu. Ini adalah jam kedua Winny dapat terlelap nyeyak setelah memuntahan semua isi dalam perutnya sampai jatuh pingsan. Ketika sadar mengeluh sakit pada seluruh badannya dan muntah lagi. Bintang dan Kaindra yang datang dengan berlari tergesa dan dengan cept menyuntikkan suatu cairan yang tidak Chandra ketahui apa itu. Bintang pun memasang beberapa peralatan medis lain dibantu oleh para perawat. Barulah setelah itu, Winny dapat menutup mata dengan tenang dan tidur dalam jangka waktu yang cukup lama. Karena biasanya, ia selalu terjaga sampai beberapa hari dan terus muntah-muntah juga kesakitan. Paling lama waktu lelapnya pun tidak lebih dari 1 jam. Hal yang sangat menyakiti Chandra. Betapa sakit dan sedih hatinya melihat itu semua terjadi pada kekasihnya secara langsung. Menangis sejadi-jadinya pun tidak akan bisa membuat Winny kembali sembuh dan sehat seperti awal. Meski kenyataannya mental Chandra ikut down bersama dengan keresahan hatinya. Berdoa tiada henti ia panjatkan pada Yang Maha Kuasa. Meminta dan terus meminta. Demi kesembuhan. Selain itu, kerja kerasanya selama sebagai seniman juga ia tunjukkan hasilnya berupa biaya pengobatan sang kekasih. Mendatangkan dan meminta dokter terbaik untuk menangani Winny. Sejauh ini, Chandra berhasil menggunakan akal sehatnya untuk terus bertingkah sebagaimana mestinya. Alih-alih tersedu sedn meratapi nasib, ia terus berusaha mengendalikan diri dengan bekerja, bekerja, dan berdoa. Merawat dan memantau kekasihnya. Sepiring makanan dengan air mineral botol tergeletak di atas nakas. “Sudah jam setengah lima sore, Chan. Makan dulu. Kau belum makan sejak tadi pagi kan?” Itu Bintang yang datang dengan kegiatannya seperti biasa. Mengingatkan Chandra untuk mengisi perut. “Aku tidak lapar,” jawab Chandra pelan. Atau mungkin terdengar sangat lirih di telinga Bintang. Lelaki yang lebih pendek dari Chandra itu pun menghela napas panjang. Melihat sikap sahabatnya yang biasanya pecicilan tidak bisa diam tapi kini seperti ayam terkena flu burung, Bintang mengempas kesal. Kesal pada ujian hidup yag terjadi pada orang-orang terdekatnya. “Setidaknya isi lambungmu dengan sepotong roti, Chan. Kalau kau sakit siapa yang akan mendampingi Winny selama perawatan?” Karena setiap membuka mata, gadis itu akan menyebut nama Chandra sebagai orang pertama yang ingin ia lihat. Bahkan tak jarang pula, dalam tidurnya pun Winny sering mengigaukan namanya. Memanggil-manggil nama Chandra dengan nada lemah. “Chan-” “Iya, Bi nanti aku akan makan kalau lapar.” Masalahnya kapan rasa lapar itu datang? Yang ada Chandra akan puasa sampai satu harian penuh tanpa menyentuk makanan sedikit pun. “Kau hanya minum saja dari pagi, bahkan kau sempat memesan kopi di kafetaria. Sekarang kau tidak mau makan? Lambungmu bisa bermasalah, Chandra. Jangan sepelekan hal yang seperti itu.” “Makan! Apa perlu kusuapi?” Seketika arah pandangan Chandra berpaling pada Bintang. Satu minggu kemudian, Di ruangan yang terpantau serba putih dan terdapat seorang gadis tengah berbaring di sana, Alpha berdiri di depan nakas. Seperti kegiatan rutinnya yang mengganti sepucuk bunga mawar putih yang sudah layu dengan mawar putih baru yang segar ke dalam vas kaca tersebut. Perkembangan sel kanker Aira semakin hari semakin mengesankan, dan beberapa hal menunjukkan pada hasil pemerikasaan yang signifikan. Seperti yang Prof. Fanny katakan dua hari lalu, “Sel kanker pada tubuh Aira mulai menyusut dan muncul tanda-tanda penyusutan yang besar. Pada sel inang pun mulai bisa dilawan dengan obat-obatan herbal yang Dr. Tae Young sarankan.” Berita bagus bukan? Tingkat kesembuhan adiknya pun diprediksi semakin besar. Beberapa terapi dan pengobatan lainnya masih terus berjalan. Namun, untuk mengonsumsi obat-obatan medis masih dibatasi. Ginjal Aira tidak cukup baik untuk dikatakanbaik-baik saja. Ada pula pemeriksaan lain yang menunjukkan bahwa ginjal yang bermsalah itu harus diangkat. Dan beresiko tidak bisa menjalani operasi transplantasi ginjal kembali. Kalau begitu, Aira akan hidup dengan satu ginjal saja? Tetapi Alpha tidak sanggup dengan kenyataan itu. Bagaimana mungkin ia bisa melihat Airanya demikian. Urusan bunga sudah selesai. Sekarang Alpha tengah duduk di kursi dekat brankar adiknya. Memandangi pahatan sempurna itu dalam takjub yang diam, mendoakan sebanyak yang ia bisa, dan terus berusaha sampai batas maksimal. Walau sebenarnya, dalam kamus Alpha, jika itu menyangkut Aira tidak akan pernah ada batas maksimal baginya. Bagaimana pun caranya akan ia usahakan. Apa pun resikonya akan ia terima lapang dadaa. “Kak Alpha ...” Menoleh, malaikatnya baru saja membuka mata. Alpha juga masih bisa melihat adiknya itu menggeliat seperti merak yang mengeluarkan bulu-bulunya yang indah. Rambut acak-acakannya pun tidak terlihat seperti singa, justru manis dan menggemaskan. Seperti saat ini, ya ampun inginnya Alpha mencubit pipi gembil tersebut. Kemudian memeluk Aira seerat yang ia inginkan. “Tidur nyenyak, Sayangnya Kakak?” “Uhum.” Dengan suara serak khas bangun tidur Aira menjawab. Alpha terkekeh di tempatnya. Kemudian menyiapkan segelas air putih untuk adiknya yang baru saja bangun. Adik ya? Hmm ... iya adik. Baiklah, Alpha santuy saja. Ia lirik adiknya sekali lagi, masih mengucek-ngucek mata dan menguap kecil beberapa kali. Hahaha ... mungkin sedang menyatukan semua arwahnya yang masih bertebaran ke sana kemari. “Minum dulu.” “Terima kasih, Kak.” Yang Alpha jawab dengan kecupan singkat di dahinya. “Kak.” “Iya?” “Hari ini kita ke Juno ya?” “Tiba-tiba? Kamu rindu Juno ya? Mau main seperti waktu itu lagi?” tanya Alpha. Namun Aira menggeleng. Ia justru menjawab dengan, “Perasaan aku nggak enak, Kak. Aku takut terjadi sesuatu sama Juno.” Oh, apa ini?! Maka dengan cepat Alpha angguki keinginan adiknya itu. “Oke, tapi sebelum itu kamu makan dulu ya? Kakak siapkan sebentar saja." Lagi-lagi gelengan yang Aira berikan. “Sekarang, Kak.” Aira bersikeras. Mutlak, pagi itu juga Alpha membawa Aira ke ruangan Juno karena keinginan menggebu adiknya yang tidak bisa dibantah.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN