“Kamu buat Kakak cemas Aira!”
“Maaf, Kak Alpha.” Ia mencicit dalam pelukanku.
“Kenapa kamu keluar sendirian, hmm?”
“Aira bosan di dalam kamar, yang bisa aku kerjakan hanya tidur terus,” jawabnya memelas.
“Kenapa tidak panggil Kakak atau Kak Bintang? Kamu bisa tekan tombol dekat nakas, kami akan datang.”
“Kalian pasti sibuk.” Sembari menggeleng. “Terutama Kakak, ini hari pertama Kakak kembali menjadi dokter setelah sekian lama. Pasti banyak hal yang harus Kakak urus.”
Sepenting apa pun urusan itu kalau dibandingkan dengan dirimu, mereka akan menjadi persoalan kedua Aira. Gadis ini, terkadang aku bingung dengan pemikirannya yang selalu saja rumit dan mudah menyangka – nyangka sendiri. Ia kerap kali melihat segala sesuatunya melalui sudut pandangnya sendiri. Sensitif dan mengambil keputusan sepihak. Meski demikian, adikku adalah salah satu dari manusia tegar yang tak pernah menunjukkan sisi lemahnya. Walau aku tahu, itu hannya sebagian dari caranya bertahan.
“Kak Alpha, maaf.” Suara sendunya menusuk runguku. Aku tidak suka mendengar nada kesedihan itu lagi.
“Aira hanya ingin jalan – jalan, Kak. Bosan di ruangan sendirian. Tapi, untungnya ada Kakak ini yang menemani, jadi Aira tidak kesepian.” Aku mendongak, melihat seseorang itu dan harus berterima kasih bukan?
Namun, saat kedua lensaku menatap orang itu,
“Kamu?”
“Hai Alpha, ketemu lagi,” sahutnya dengan nada riang. Orang asing yang wajahnya tak lagi asing. Dia ...
“Sheila?!”
Yang saat ini berdiri di belakang kursi roda Aira dengan kedua tangannya yang memegangi gagang kursi beroda tersebut. Ada senyum simpul di sudut bibirnya. Aku pun membalas dengan hal serupa sebagai bentuk menghargai senyuman itu. Sheila telah berbaik hati menjaga Aira disaat aku tidak ada.
“Kebetulan yang bagus,” ucapku padanya.
Di tempatnya, Sheila terkekeh ringan.
“Kalian saling mengenal ya?” Itu Aira yang bertanya dengan pandanagan lurus ke depan.
“Kamu istirahat, Aira. Tengah malam nanti operasinya akan kita mulai.” Aku menimpali tak berniat menjawab pertanyaannya. Karena bagiku, memastikan kondisinya tetap baik – baik saja adalah hal utama.
Ngomong – ngomong, Aira sudah tahu dengan rencana matanya yang akan dioperasi dini hari nanti. Prof. Fany yang menginfokannya. Tebak, bagaimana ekspresinya saat mengetahui hal itu?
Dia bersyukur dengan caranya yang sederhana, tersenyum menawan alih – alih berkata terima kasih pada yang lain, ia mencariku dan memnghadiahi sebuah pelukan yang panjang. Dan berbisik tepat di telingaku, sesuatu yang membangkitkan rasa bersalahku semakin besarnya.
“Itu berarti Aira akan segera melihat kembali kan, Kak? Iya kan?”
Aku mengangguk dalam posisi merangkum tubuh kecilnya. Di telingaku, pertanyaannya justru mengingatkan dosa apa yang telah kuperbuat padanya.
Seperti,
“Lihat, setelah bertahun – tahun kemudian, kau baru bisa menebus mata untukku sekarang?! Aku akan melihat kembali karena ulahmu dahulu!”
Bukannya marah tapi dirinya malah memberiku sebuah pelukan yang sarat akan kasih sayang. Mengapa tidak marah saja? Itu lebih baik bagiku.
Sejujurnya, memahami seorang Aira yang benar – benar tertutup seperti sebuah buku baru seribu halaman. Pemikirannya terlalu sederhana, segala sesuatu yang ia lakukan adalah bentuk tidakan spontanitas terarah. Banyak hal – hal random yang menjadi ciri khasnya membuatku gemas dan bimbang di waktu bersamaan. Sejujurnya, aku kesulitan mengartkan setiap pergerakannya. Karena sampai detik ini pun, aku masih berusaha menyelesaikan bacaanku pada buku sekelas Aira.
Dan, melalui kesederhanaannya itulah aku mencintainya. Termasuk mencintai segala kerunyaman pikirannya yang masih terus ku coba k*****a sampai tuntas.
“Terima kasih, dan maaf kalau itu menyulitkan-mu.”
Seseorang di sebelahku menggeleng sejenak, itu Sheila yang terduduk di bangku deoan ruang rawat inap Aira. Adikku telah kupastikan beristirahat di ranjangnya kemudian baru memutuskan berbicara dengan Sheila yang tadi datang bersama Aira dan dapat cepat akrab dengan adikku.
“Tidak kok, Al. Itu tidak menyulitkanku sama sekali. Aku justru senang bisa kenal dan mengobrol dengan adikmu. Dia gadis yang cantik dan menyenangkan,” jawab Sheila.
Iya kan? Aku juga merasa Aira sosok seperti itu. Terlepas dari seberapa misteriusnya ia di beberapa waktu.
“Bagaimana kalian bisa bertemu, Sheil?” Kini, posisiku menatapnya. Gadis itu tersenyum lembut. Jujur, aku merasa nyaman berada di dekatnya. Sheila tidak seperti beberapa perempuan pada umumnya yang pernah kuajak mengobrol sebelumnnya. Aku nyaman sebagai seorang teman.
“Ahh ... itu. Aku tidak sengaja melihatnya melintas dengan sebuah tongkat di lorong menuju lift. Aku bisa dengan mudah mengetahui kalau dia seorang pasin dengan melihat pakaian yang ia kenakan.”
“Kataya ia hanya ingin berjalan – jalan jadi, aku membatunya dengan cara mendorongnya di kursi roda. Seorang pasien tidak boleh lelah kan? Maka, menggunakan kursi roda adalah alternatif terbaik yang kupilih. Hehe ...”
Aku terkekeh sekaligus terkesan dengan jawaban dan pemikiran Sheila. Tidak salah kan kalau aku memilih menjadi temannya? Dia gadis yang baik dan berpikiran idealis. Caranya berbicara tidak menunjukkan ketertarikan kepadaku seperti lawan jenis yang lain. Dia juga tidak tersipu malu saat ku tatap intens, tidak mudah merasa kikuk hingga menimbulkan suasana canggung. Sheila pandai mengatur kondisi agar tetap kondusif.
Dan sifatnya yang seperti itulah yang membedakannya dengan kebanyakan perempuan yang telah kukenal sebelumnya. Setidaknya, Sheila tidak akan jatuh cinta padaku.
Ya, aku yakin itu. Sheila tidak akan pernah menyukaiku. Karena jika hal itu terjadi, ku pastikan, aku tidak akan pernah bisa membalas perasaannya. Aku enggan menolak wanita kesekian kalinya karena nama Aira sudah dengan kuat di dalam sana.
Aku juga kurang paham kenapa tapi, kata Bintang dan Chandra seperti ini,
“Karena mereka mendekatimu berharap kamu akan membalas perasaan mereka, Al. Mereka menyukaimu.”
Mereka, yang merujuk pada para jajaran perempuan – perempuan yang ku kenal sebelumnya. Sebab tak bisa membalas perasaan mereka dan takut menyakiti, oleh karena itu aku membangun jarak pada setiap gadis – gadis yang menghampiriku terlebih dahulu. Setidaknya, mereka tidak menilaiku memberikan harapan.
Namun, dengan Sheila aku bisa merasa bahwa pertemuan kami murni karena sebuah kebetulan semata. Dan sikap ramahnya yang tidak menggebu.
“Kamu menjenguk Kakakmu?”
Karena seingatku, kakaknya mengalami kecelakaan kan. Ia mengangguk singkat sebagai respon.
“Tapi, Kak Gio malah bermesraan dengan , Kak Riska. Aku kan jadi merasa seperti obat nyamuk. Makanya pergi deh, dan tidak sengaja bertemu dengan Aira di sana.”
“Makanya juga aku berterima kasih denganmu, Sheila.” Aku menanggapi dengan kekehan kecil.
“Hehe ... Tidak masalah, Al. Ngomong – ngomong ... kamu dokter?” Tatapannya terlihat agak bingung. Aku mengangguk sejenak.
Sheila mengenalku sebagai pianis di cafe waktu itu dan sekarang kami bertemu kembali, aku menjadi dokter. Sudah pasti dia akan bingung bukan.
“Sedang cuti dan baru mulai aktif lagi sejak hari ini,” jawabku.
“Oh ya? Wow, jadi pekerjaan kamu di cafe itu?”
“Tentu saja berhenti, aku sudah kembali.”
Demi Aira.
Sheila mengangguk tanpa banyak bertanya lagi.
“Ngomong – ngomong, Al. Maaf, aku mendengar pembicaraan kalian tadi. Aira akan dioperasi?”
“Hum, operasi transplantasi mata. Kamu tahu bagaimana keadaan adikku.” Sheila lagii – lagi mengangguk.