“Aduh ... yang sedang main serial drakor, mau ikutan juga ...” Bintang masuk menginterupsi dengan suaranya yang mendayu – dayu.
Makhluk beagles yang satu ini memang lebih suka menggoda dari pada Chandra.
Pelukan ku dan Aira pun berspasi. Tidak hanya Bintang tapi juga turut Lia dan Julio di sana. Ketiganya menatap dengan senyum kecil yang membuatku menampilkan cengiran saja. Toh, Aira ini kan adikku jadi tidak perlu merasa canggung. Meski namanya memang spesial di hatiku.
“Kak Bintang?”
“Iya, Sayang. Kamu terlihat pucat, ada apa hmm?”
Di hadapanku, Aira menggeleng sejenak.
“Aira sedang bahagia tau, kalau pucat kan memang dasarnya kulitku saja yang selalu begitu,” jawabnya dengan senyum yang terpatri indah di kedua sudut bibirnya.
“Oh ya, kira – kira hal apa yang membuat kesayangan Kakak ini bahagia ya?” Bintang mendekat, berdiri tepat di sisi kanan Aira.
“Aira senang karena Kak Alpha akan kembali bekerja di rumah sakit. Menjadi dokter seperti dulu sebelum Aira kehilangan penglihatan,” kicaunya. Ia bertutur riang berlainan dengan ku dan beberapa orang lainnya di dalam ruangan ini yang menampilkan raut sedih. Terutama aku, ada luka yang tak kasat mata namun pedihnya luar biasa.
“Wow! Kabar baik yang menyenangkan.” Julio menimpali.
“Apa kamu ingin sesuatu dariku, Aira?” Lia menawarkan sesuatu.
“Dokter Lia?”
“Iya, kamu terlihat sangat menggemaskan. Jadi, Dokter akan mengabulkan satu permintaan kamu,” ucap Lia.
Ia sempat melirikku sejenak seakan meminta izin. Aku pun mengangguk singkat sebagai persetujuan. Lagi pula Lia adalah orang yang baik. Dulu, saat aku masih bekerja di rumah sakit, ia sering menemani Aira jika aku sibuk. Begitu pun dengan Bintang.
“Kamu mau apa? Ayo katakan.”
Aira tampak sedang menimang – nimang, mungkin memikirkan sesuatu yang ingin ia pinta.
“Aira mau Dokter Lia menjadi akrab dengan Kak Alpha.” Itu jawabannya. Aira berkata dengan tenang seolah apa yang ia katakan adalah sebuah hal mudah.
Lia melirikku, lagi. Namun, kali ini lebih cepat dari sebelumnya. Ia langsung mengalihkan pandangannya saat lensa kami bertemu, sebab dapat kulihat gerak – geriknya seperti sedang malu?
Suasana berubah canggung. Julio bahkan berdeham singkat sementara Bintang duduk di sofa sembari membuka beberapa dokumen yang ia bawa. Membacanya dengan teliti, atau sedang berpura – pura membaca tepatnya.
“Ekhem, kenapa Aira mintanya itu? Tiba – tiba banget lho.”
Di atas ranjang pasien, Aira tampilkan senyum yang selalu membuatku jatuh cinta. Paham dan mengerti apa maksudnya. Ini pasti mengenai ungkapannya beberpa saat lalu yang menyuruhku untuk berkencan. Dengan alasan agar aku tidak terlalu lelah menjaganya selama dua puluh empat jam. Padahal, itu tidak menjadi alasana sama sekali bagiku.
“Kak Alpha masih jomblo, Dok. Aira rasa Dokter Lia akan sangat cocok jika bersama dengan Kak Alpha. Dokter ramah, baik, terus kata Kak Bintang Dokter itu cantik. Kak Bintang saja suka.” Ucapan Aira sontak saja membuat Bintang yang sedang anteng dengan lembar kertas A4 itu pun mendelik.
“Pfff ...”
Julio terkikik geli di sampingnya. Aku pun menahan tawa dengan senyuman ringan.
“Kayaknya Kak Alpha belum pernah pacaran deh. Bagaimana kalau dengan dokter saja?” ucap Aira lagi.
Apa kamu sedang menawarkanku dengan perempuan lain Aira?
Lia merespon lebih santai kali ini. Ia melipat tangan di daada dan mendekati Aira untuk mengusap lembut puncak kepalanya.
“Kamu ini menggemaskan sekali ya Aira. Cantik, polos, jadi pengin cubit pipi kamu deh.” Lia menimpali. Sebelah tangannya menjepit pipi putih adikku dengan pelan.
“Kalau Kak Alpha belum pernah pacaran, lalu kenapa kamu menawarkan Kak Alpha dengan dokter?”
“Karena Aira rasa, kalian pasti akan sangat cocok.”
“Karena kata Bintang, dokter Lia cantik?” Bukan Lia yang bertanya tapi, Julio. Ia kembali menahann tawanya sembari melirik Bintang yang sudah kembat – kembut seperti ulat bulu di ujung sana.
“Ek-ekhem! Aira ... maksud Kakak bicara begitu kan karena dokter Lia sama cantiknya seperti kamu. Iya kan, Al?”
Oh, aku dinotice. Hahaha ...
“Aira itu cantik seperti bunga yang baru mekar, indah dan mengangumkan. Karena kamu selalu memarahi Kakak kalau Kakak memujimu, maka dari itu Kakak juga mengatakan kalau dokter Lia itu juga seperti kamu. Supaya kamu gak marah lagi kalau Kakak bilang cantik.” Bintang menjelaskan dengan nada terburu – buru. Dua kelereng jernihnya bergerak bimbang, dan enggan menjatuhkan atensinya pada sosok Lia.
Bintang salah tingkah.
“Begitu ya?” Sementara Aira dengan tampang polosnya percaya begitu saja.
Nah, ketahuan kamu Bintang.
Lia, Julio, dan aku pun terkikik di tempat masing – masing.
***
“Jadi dokter Lia itu cantik ya? Jadi suka kan tuh dengan dokter Lia.”
“Cinta dalam diam atau cinta sepihak nih namanya?” sambung Julio.
“Atau pengagum rahasia? Hahaha ...”
Aku ikut terkekeh melihat interkasi mereka.
Julio, dengan Bagas dan Bagus. Dua saudara kembar yang sama – sama menjabat sebagai dokter dalam satu speasialis yang berbeda. Ketiganya sedang asik menggoda Bintang yang terduduk di kubikelnya sendirian. Kabar bahwa Bintang menyukai Lia pun dengan cepat merebak.
Julio itu dijuluki pangeran es yang diperebutkan banyak kaum hawa. Irit bicara kecuali dengan orang – orang terdekat yang ia percayai. Jadi, sudah pasti bukan Julio yang menyebarkan rumor bahwa Bintang menyukai Lia melainkan, sepasang saudara kembar yang tidak sengaja berdiri di depan pintu saat kami bercengkrama. Satu divisi bedah pun heboh dengan kabar tersebut.
Anak kembar itu memang terkenal easy going dan ramai.
“Kabar burung, jangan mudah percaya dengan berita hoaks!” Suara Bintang terdengar tajam dan berat saat mengucapkannya. Pria itu masih tenang di meja kerjanya dengan berbagai macam laporan rekam medis para pasien yang ia tangani. Pun beberapa lembar proposal ku yang perlu ia baca ulang.
“Sudah – sudah, kalian ini twins bro jangan jadi penggosip murahan. Lanjut kerja sana!” usir Julio.
Sepasang saudara kembar itu pun meringis sesaat kemudian meninggalkan area kubikel Bintang dengan wajah agak menunduk saat melewati Julio. Ngomong – ngomong, hampir seluruh para dokter maupun perawat di rumah sakit ini segan dengan Julio. Selain tampan dan berkelas, pria yang merupakan sahabat seangkatan-ku dulu ini pun juga keponakan dari Prof. Fany. Penanam saham terbesar di rumah sakit Saudavel.
“Selamat datang kembali, dokter Alpha,” sambut Julio dengan senyumnya yang merekah hingga membuat kedua matanya melengkung membentuk bulan sabit.
“Perlu saya hantarkan ke ruangan pribadimu, Dok?” Kali ini Bintang yang ikut angkat suara.
Ck, mereka masih saja suka bercanda di situasi seperti ini.
“Karena kamu perlu hiburan, Al. Jangan tegang – tegang sekali seperti anak magang saja,” celetuk Bintang lagi seolah dapat membaca pikiranku.
Aku hanya terdiam menatap sekeliling. Masih sama, seperti satu tahun lalu saat aku memutuskan untuk berhenti yang ternyata hanya Prof. Fany anggap sebagai cuti. Ku pikir, mungkin aku tidak akan bisa menginjak tempat ini lagi. Ternyata, dugaanku salah.
Nuansa putih berkubik ini berada tepat di depan ruangan kami para divisi bedah. Sebenarnya tidak semua divisi bedah juga. Bintang dari bagian dokter umum. Julio yang membentuk tim ini. Berisi, Bintang, Lia, Dessy, Bagas, Bagus, Julio, dan aku. Katanya, orang – orang ini adalah pilihan yang cekatan dan cerdas. Kami sering berada dalam satu ruang operasi karena kerja tim yang cukup baik.
Masih ingat jelas dulu, saat Prof. Fany memuji kami habis – habisan karena berhasil melakukan bedah pada pasien yang telah didiagnosis tingkat keberhasilan operasi sangat kecil sekitar 10 persen. Mulai dari sana, kami banyak melewati bagian bedah pada tim yang sama.
Bintang akan menjadi dokter yang mencek semua kesiapan pasien sebelum melakukan operasi.
Julio akan berperan sebagai dokter bedah, jika itu berkaitan dengan mata, hidung, telinga atau THT. Sementara aku akan menjadi dokter bedah pada beberapa bagian tubuh yang sesuai keahlianku. Jika Julio memainkan peran dokter bedah maka, aku akan menjadi asisten dokter. Dan Lia akan menjadi asisten dokter jika aku yang memimpin operasi.
Dessy, sebagai dokter anestesi. Bagas sebagai scrub nurse dan Bagus menjadi anggota tim nonsteril atau biasa kami sebut sebagai sirkulator.
“Sana masuk, selama kamu tidak ada ruangan kamu kosong, Al. Tidak ada yang berani memasuki ruangan dokter Alpha yang terkenal sebagai kulkas berjalan,” Julio berucap. Pria itu sudah bersiap dengan snelli dan stetoskopnya.
“Betul, dokter kita yang ini kan limited edition jadi memang banyak yang segan dan menyayangkan keputusan kamu saat itu, Al,” sambung Bintang.
“Ku tinggal dulu ya, ada pasien yang harus kuperiksa.”
“Korban kecelakaan itu?”
“Huum.”
Bintang lekas mengangguk. Kemudian Julio beranjak dari sana, menyisakan aku dan Bintang di ruangan tersebut.
“Masih mengkhayal saja, sana masuk!” Aku terkesiap.
Sejujurnya, aku rindu. Ruangan ini mencipta banyak kenangan yang tak bisa ku lupakan begitu saja. Namun di satu sisi, aku merindukan Aira.
“Nanti saja, Bi. Aku akan men-cek kadaan Aira dulu. Dia sendiri di ruangannya.”
“Baiklah.”
Ya, nama Aira terus saja memenuhi serebrumku saat pertama aku masuk ke kubikel kami tadi. Adikku sudah dipindahkan ke ruang rawat biasa setelah pemeriksaan tadi sore. Sekarang, pukul setengah delapan beberapa jam menuju operasi mata Aira aku seharusnya terus berada di sisinya. Akan ada rapat kecil sebelum waktu pelaksanaan operasi dan aku akan memastikan adikku baik – baik saja.
Tapi, saat tiba di sana, ruangannya kosong. Tidak ada Aira di atas ranjang pasien.
“Aira?!”
“Aira, kamu di mana?!”
Ya Tuhan, ke mana perginya adikku. Dia seharusnya ada di sini, sedang tidur untuk memulihkan energi.
Brak!
Nihil, keadaan kamar mandi kosong. Aira juga tidak ada di sana. Dadaku semakin bergemuruh tidak tenang.
“AIRA?!! KAMU DI MANA?”
Jangan membuatku khawatir Aira.
“AIRA?!!!”
“Kak Alpha, kok teriak – teriak?”
Suara itu?
Aku menoleh, ada Aira di depan pintu sedang terduduk di kursi roda. Dengan segera kakiku melangkah tergesa menujunya.
Grep!
“Kamu dari mana saja?” Kutarik tubuh ringkihnya dalam pelukanku. Aira membalas sama eratnya.
“Kamu membuat Kakak hampir gilaa Aira.” Bahkan suaraku serupa gumaman yang tak lagi mampu dikatakan bersuara. Lirih, karena kerongkonganku rasanya tercekat. Emosi menguasaiku begitu hebatnya.
“Maaf, Kak Alpha.”
Aku memberi ruang, spasi yang tak terlalu lebar. Memperhatikan setiap inchi tubuhnya yang tidak lecet sedikit pun. Aira dalam keadaan baik – baik saja.
“Aira hanya ingin jalan – jalan, Kak. Bosan di ruangan sendirian. Tapi, untungnya ada Kakak ini yang menemani, jadi Aira punya teman mengobrol,” jelas Aira.
Dalam posisi melipat kedua lutut di lantai dan menatap wajah pucat adikku yang tersenyum, aku pun mendongak guna melihat teman ngobrol yang Aira maksud. Saat melihat seseorang itu, aku agak terkejut.
“Kamu?”