Bab 52

1135 Kata
“Bagaimana perasaan kamu?” Alpha yang bertanya. Pria berpakaian rapi dengan snelli dokternya itu duduk berdampingan dengan Aira yang baru saja selesai melakukan cek up terakhir. Gadis berparas lembut itu duduk di kursi roda di sebelah sofa yang Alpha duduki. “Deg-degan, Kak. Terapi radionuklirnya besok kan?” Ahh, jadi itu yang membuat paras cantik itu sejak tadi berkerut tidak tenang? “Iya, besok pagi. Jangan takut hum, Kakak akan selalu ada di samping kamu sampai terapinya selesai,” ucap Alpha sembari mengambil satu tangan adiknya untuk ia genggam. Mengelus perlahan punggung tangan pucat yang sama pucatnya dengan wajah cantik tersebut. “Aira ... kamu percaya sama Kakak kan?” Seringan ilalang kelopak mata kemerahan dihiasi bulu mata lentik itu mengerjap. Aira yang menganguk atas pertanyaanya. “Aira percaya sama Kakak.” Bahkan suaranya terdengar begitu indah di pendengaran Alpha. “Terima kasih, Kakak sayang kamu.” “Aira juga sayang Kakak.” Lantas keduanya berpelukkan laksana embun yang mengungkung daun. Menyelimuti dingin dengan kesejukkan yang terasa menghangatkan. Sekali lagi, bukan hanya sayang, bukan sekedar sayang. Tidak sesederhana itu arti Aira bagi Alpha, gadis itu sungguh telah mencairkan lautan es menjadi air terjun yang melimpah ruah. Begitu banyak perubahan sosok Alpha sampai tiba di hari ini. Kata-kata sayang yang setiap saat diucapkannya, penuturan akan rasa sukanya terhadap sang adik, nyatanya bukan hanya sayang sebagai adik kandung. Karena, “Aku mencintaimu.” Adalah kalimat yang selalu diam-diam Alpha ucapkan dan tanamkan dalam dirinya. Diam-diam menantikan, diam-diam menginginkan. Sebanyak air hujan yang jatuh ke bumi. Maka, sebanyak itu pula rasa yang hinggap dalam dirinya. “Jangan pernah berkata maaf lagi untuk Kakak, Aira. Jangan pula kamu berkata selalu bersyukur memiliki Kakak.” “Kenapa?” Iya, kenapa? Aira bahkan dengan bangganya selalu mengatakan kepada banyak manusia yang menghampirinya bahwa ia memiliki seorang kakak yang sangat menyayanginya dan hebat. Lalu, mengapa fakta seindah itu harus ditutupi? “Karena Kakak tidak ingin melihat kamu seolah begitu menyayangi Kakak setelah saat du-” “Kak!” Terpangkas, Aira menyelanya cepat. “Tolong jangan bahas itu lagi. Kakak kan sudah berjanji untuk tidak mengungkit yang sudah-sudah,” sambungnya cepat. Benar, dia sudah berjanji. Lelaki itu buka snelli dokternya lalu ia letakkan di sekitara bahu sang adik untuk melingkupi tubuh ringkih nan pucat tersebut. “Maaf, Kakak lupa,,” ucapnya pada akhirnya. Aira tak mengangguk ataupun menggeleng. Diamnya sudah menjadi jawaban bagi Alpha. Paham, sungguh ia memahami segala tindakan kecil adiknya. “Kita bahas hal lain saja, Kak. Kayaknya kita sudah sering sekali berkata maaf dan terima kasih satu sama lain selama ini. Sekarang, bukankah hal semacam itu kita kurangi? Kita kan keluarga.” Yang berarti jangan lagi mengenang kisah lampau mereka. Begitu yang Alpha pahami. Tapi, bukankah juga semuanya harus diakhiri agar tak lagi meninggalkan luka ataupun cerita yang mengganjal di hati? Mari berpikir realistis saja. “Iya, kita bahas hal lain.” Meski demikian, Alpha tetaplah Alpha yang tidak bisa menentang keinginan dan begitu mendengarkan perkataan adis bernama Aira ini. Rasa sayangnya lebih besar dari logikanya. Di ruangan berukuran 10x20 di sana, kakak beradik tersebut diam untuk beberapa saat. Hening, ketika Aira memilih untuk bungkam. Pun Alpha yang tak lagi berinisiatif mengeluarkan vokalnya. Hingga pada suara bariton lain memecah keheningan tersebut. “Ada yang terlewatan dari bahasan tentang liburan kali ini?” Praktis keduanya mendongak, menoleh ke arah terbukanya daun pintu dan muncullah dokter Kaindra bersama dokter Julio di depan sana. “Liburan?” Barisan rapi alis Aira mengernyit heran, terangkat satu dengan pertanyaan yang salah satu dari dokter itu ucapkan. “Loh, sedang tidak membahas liburan ya?” Kali ini Kaindra yang terlihat kebingungan. Dua pasang kaki jenjang Kai dan Julio mendekat ke arah kakak beradik tersebut. Duduk di sebuah sofa depan Alpha dan Aira. “Memangnya siapa yang mau liburan, Dokter Kaindra?” “Kam-” “Kak Bintang, Ra. Kak Bintang kan pernah bilang mau pergi liburan sebentar saat ambil cuti nanti,” sambar Alpha cepat. Gadis sendiri di antara para lelaki itu menelengkan kepalanya. “Oh ... gitu ya.” Sembari menganggukkan kepalanya beberapa kali. Tanpa ia ketahui, ada yang sedang saling tatap dengan mata kedip-kedip dan bibir komat-kamit tanpa suara. Pergerakkan tangan itu pun memberi isyarata untuk mengunci mulut. Siaa lagi kalau bukan Kaindra dan Alpha. Julio yang ada di antara mereka pun hanya terkekeh saja. Lebih baik menjadi penonton, mumpung sedang ada pertunjukkan seru. “Dokter Julio.” “Eh, iya?” Terkesiap, baik Alpha maupun yang disebut namanya. “Dokter banyak bekerja terlalu lelah ya? Kantung mata Dokter hitam sekali,” ucap Aira ringan. Tak mengetahui di sebelahnya sang kakak sudah mendelik keki. Apa-apaan itu. Sementara yang dibicarakan Aira, lagatnya sudah salah tingkah. “Oh ... begitu. Kelihatan sekali ya?” Dengan wajah bersemu merah. Astaga, Alpha tidak tahan dengan yang dilihatnya. Reaksi macam apa yang Julio tunjukkan itu. Kenapa pula ia yang merasa tidak tenang? Alpha langsung teringat dengan judul film yang pernah dilihatnya. AADC, tapi kali ini petikkannya lain. Ada apa dengan cemua ini. Ya ampun alay sekali. Tapi, Alpha tetap berpikiran positif dan dewasa. Huruf C dalam bahasa Inggris disebutkan dengan “Si” jadi ciapa bisa juga dibaca siapa. Meski bagaimanapun tetap tidak bisa dibenarkan karena sudah berbeda bahasa. Tapi, sudahlah. Suka-suka yang punya akal dan pikiran saja. Apalagi itu orangnya Alpha Riandra. “Sangat kelihatan, Dokter. Seharusnya Dokter juga menjaga pola tidur agar tidak seperti ini,” ucap Aira lagi. “Aira, kamu mengkhawatirkan Julio? Sungguh?!” Ada yang sedang berteriak batinnya. “Hehe ... begitulah, Ra. Akhir-akhir ini jadwal operasi Kakak cukup banyak. Banyak pasien mata berknsultasi tentang mata juga jadi, sebagai dokter Kakak harus tetap melayaninya kan?” “Iya, tapi tetap saja Dokter harus tidur dengan cukup.” “Kakak juga tidak tidur dengan cukup, Ra!” “Eh?” “Lihat! Mata Kakak juga kelihatan merah kan? Kantung matanya pun menghitam kan?” “Hmm?” Kenapa tiba-tiba? Kenapa Kak Alpha jadi ngegas begini ya bicaranya? “Kak Alpha ...” “Jadwal operasi Kakak juga banyak, bahkan sering kali operasinya berlangsung saat malam hari ataupun tengah malam. Setelah itu Kakak juga harus memantau pasien-pasien lagi di bangsal yang lainnya.” “Apa kamu tidak mengkhawatirkan Kakak?!” Aira kelabakkan dibuatnya. “Aira juga khawatir dengan Kakak kok, tentu saja.” “Kamu tidak kelihatan sedang seperti itu tuh!” “Tapi Aira beneran mengkhawatirkan Kak Alpha. Aira bahkan selalu merindukan Kakak kalau Kakak tidak ada.” “Masa iya? Sepertinya tidak?!” Aduh, kenapa jadi seperti ini sih? Kak Alpha kenapa pula? Sementara Alpha masih dalam mode merajuknya dan uring-uringan tidak jelas. Julio dan Kaindra terkekeh dengan apa yang mereka lihat di hadapannya kini. Terutama Julio, ternyata Alpha juga bisa bertingkah konyol seperti itu. Selama ini, dokter Alpha Riandra terkenal sebagai kulkas berjalan. Gunung es di Himalaya. Tapi sekarang, benarkah ini Alpha?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN