14. Let The Game Begin

1962 Kata
Keesokan pagi di kamar utama, mata Elena memicing melihat masih ada Zack di situ. “Kenapa kamu masih tetap ada di rumah ini? Bukankah aku sudah mengusirmu?” Desis Elena saat melihat Zack yang sudah mandi dan rapih, duduk di sisi ranjangnya. Harum sabun terhidu Elena. Sungguh dia ingin memeluk Zack, tuntaskan rasa rindu. Tapi kebencian masih melingkupi dirinya. “Semalam aku janji bahwa kita akan bicara baik-baik pagi ini setelah kamu merasa lebih tenang.” Jawab Zack, paksakan senyum. Dia sengaja memijat kaki Elena dengan lembut, seperti yang sering dia lakukan sejak Elena kecelakaan. “Tidak ada lagi yang perlu dibicarakan Zack. Kamu pembohong! Kamu pengkhianat! Kamu tega mengkhianati janji suci pernikahan kita dengan main api, berselingkuh! Jahatnya lagi, kamu selingkuhi temanku!” Jawab Elena ketus. Kedua tangannya bersedekap, tanda self defense. Dia berusaha melindungi hatinya dan berharap ini semua hanyalah sebuah mimpi buruk yang akan hilang saat dia bangun. Zack menghela nafas panjang, dia tahu akan sangat sulit mendapatkan maaf dari Elena. Semalam dia tidak bisa tidur nyenyak karena memikirkan banyak kalimat, banyak alasan yang bisa dia gunakan untuk melunakkan hati Elena. “Aku sungguh-sungguh minta maaf Elen, aku salah. Aku akui itu. Kamu boleh hukum aku, apa saja, asalkan kita tetap bersama.” Pinta Zack penuh harap. “Tidak ada lagi yang bisa dipertahankan pada rumah tangga kita, Zack. Aku harap, suatu saat nanti aku bisa memaafkanmu. Tapi sekarang, kumohon pergilah. Hatiku sangat sakit, aku selalu terbayang saat Tatyana berikan servis padamu di hotel itu dan kamu sungguh sangat menikmatinya! Andai saja aku bisa mengatur, aku ingin amnesiaku sembuh dan sebagian memori yang aku benci itu hilang. Tapi tidak bisa Zack. Aku tidak bisa mengaturnya. Aku bisa mengingat dengan jelas kejadian hari itu.” Kali ini Elena berkata panjang lebar tanpa ada emosi yang memuncak, nadanya datar, dia merasa lelah. Hanya saja, air matanya meluruh deras di pipinya membuat hati Zack menjadi nyeri. “Beri talak aku, Zack! Pergilah! Menghilanglah dari hidupku. Aku tidak mau lagi melihatmu.” Kali ini Elena bahkan menangkup kedua tangan menutupi wajahnya. Jebol sudah pertahanannya. Dia menangis kencang. Zack maju, ditariknya dua tangan Elena, tapi wajah istrinya yang penuh kesedihan, mata sembab dan suaranya yang sengau, menjadikannya ikut teriris. Lihatlah, dia yang berbuat salah tapi menyebabkan kehancuran pada Elena. Dan sekarang dia baru menyadari akibat perbuatan bejatnya itu. “Elen, dengarkan aku. Aku tidak akan memberimu talak. Apapun yang terjadi, aku tidak akan memberimu talak, aku tidak akan menceraikanmu.” Kali ini Zack memaksa berkata tegas. “Kamu membuatku seperti orang gila, Zack! Kamu berpura aku tetap hamil. Kamu bilang aku harus menjaga kandunganku baik-baik. Kukira itu semua karena kamu sangat perhatian padaku. Nyatanya, itu kamu lakukan untuk melindungi dirimu kan? Tega kamu Zack!” “Elen, bukankah aku sudah katakan berkali-kali apa alasannya aku melakukan itu? Agar kamu tidak depresi karena keguguran lagi untuk ketiga kalinya! Mengertilah!” Suara Zack mulai meninggi, kesal karena Elena masih saja menyalahkannya dengan skenario kehamilan bohong Elena. “Andai saja aku menyadarinya lebih awal Zack. Salah satu obat yang diberikan adalah anti depresan. Dokter tidak akan memberikan obat itu jika aku benar-benar hamil. Bodohnya aku yang terbuai dengan kepalsuan yang kamu berikan. Aku benci kamu, Zack! Benci! Kamulah penyebab aku keguguran untuk yang ketiga kalinya! Kamu! Yaa, kamu pembunuh darah dagingmu sendiri!” Elena tidak mau kalah. “Aku bukan pembunuh!” Kali ini aura Zack berubah menjadi gelap dan dingin. Dia memang mengkhianati Elena, tapi dia tidak mungkin tega membunuh darah dagingnya sendiri yang sudah mereka tunggu bertahun-tahun untuk hadir. “Ya, kamu pembunuh Zack! Pengkhianat, pembohong juga pembunuh!” Teriak Elena. Tiba-tiba, tangan kekar Zack menangkup dagu Elena. Dia gelap mata dituduh sebagai pembunuh, “dengarkan aku Elena Bratajaya! Aku bukan pembunuh! Tarik ucapanmu. Dinginkan kepalamu dan tidurlah. Aku tidak mau dengar lagi kamu menuduhku sebagai pembunuh!” Kedua tangan mungil Elena mencengkeram tangan kekar Zack, “lepaskan Zack! Begini perlakuanmu padaku? Aku pastikan, kita akan secepatnya berpisah!” Hei Zack, sadar! Itu kamu bisa mematahkan leher istrimu jika kamu terus menerus mencengkeram dagunya. Elena itu perempuan, tenagamu tidak sebanding dengan dirinya Zack! Zack, sadar! Istighfarlah! Tiba-tiba saja sisi baik Zack menyadari akan ada hal yang kebablasan jika Zack tidak diingatkan. Mata Zack memerah tanda emosi menguasainya. Sudah menjadi tugasnya untuk mengingatkan Zack agar tidak kebablasan! “Astagfirullah…” Zack lepaskan cengkeraman tangannya di dagu Elena, matanya yang tadi gelap kembali ke normal, menjadi Zack seperti biasanya, yang ramah dan ceria. “Maaf, maaf Elen. A… aku…” tumben sisi buruk hatinya tidak menyanggah apa kata sisi baik. Mungkinkah dia sedang sibuk menyusun skenario agar Zack bisa lolos? “Uhuuk… uhuk…” Elena terbatuk-batuk usai Zack melepaskan tangan kekarnya di dagunya, “pergi kamu Zack! Pergiii!! Pergi kamu ke pelukan perempuan-perempuan busuk itu! Silakan kamu terlelap di pelukan Tatyana! Aku tidak mau lagi melihatmu!” Teriak Elena, kalap. “Maaf Elen, aku tadi kesal karena kamu tuduh sebagai pembunuh bayi kita.” Kali ini Zack yang kebingungan mencari alasan. “PERGI!!” Telunjuk Elena terarah ke pintu, mengusir Zack. Tapi Zack diam saja di tempatnya, bergeming. Lelaki muda ini tidak bergerak sama sekali. “Elena sayang, kamu sedang kebingungan. Aku akan tetap di sini, bersamamu ya.” Zack benar-benar tidak mau pergi. Dia takut jika Elena lakukan hal yang akan menyakiti diri sendiri. “Baiklah Zack, jika kamu tidak mau pergi, berarti aku saja yang pergi!” Hilang akal, akhirnya Elena mengancam bahwa dirinya yang akan pergi meninggalkan Zack dan rumah itu. Persetan dengan rumah mewah itu! Dia bisa beli lagi yang baru hanya dengan menunjuk saja! Elena hendak turun dari kasur empuk tapi dicegah oleh Zack, “baiklah Elen, aku akan pergi dari kamar ini. Tapi aku tidak akan pergi dari rumah ini, atau dari dirimu karena kita ditakdirkan bersama. Dinginkan kepala dan hatimu, kita akan bicara lagi nanti.” Mau tidak mau Zack akhirnya mengalah. Dia berjalan hendak keluar pintu tapi tiba-tiba saja jemarinya menarik anak kunci yang menggantung di lubang kunci. “Sementara ini, kamar aku kunci dari luar agar kamu bisa berpikir lebih jernih.” “Apaaa?? Tunggu… tunggu b******n! Hei Zack, jangan kunci aku! Berani kamu mengunci aku di kamar ini?” Elena berteriak dan berlari hendak meraih tubuh Zack, tapi terlambat! Pintu sudah tertutup rapat dan terdengar suara kuncian pintu dari arah luar. Artinya Zack benar-benar menguncinya di kamar itu! “Suster, untuk hari ini pastikan ibu tetap ada di kamar, tidak boleh ada seorang pun yang membiarkan ibu keluar kamar. Makanan dan minuman tolong berikan ke ibu satu jam lebih awal. Buah dan cemilan juga tolong sediakan yang banyak ya. Telepon saya jika ada sesuatu terjadi pada ibu.” Zack berikan anak kunci pada suster dan dia memutuskan berangkat ke kantor. Berada di rumah, membuatnya suntuk dan emosi dengan tingkah laku Elena yang memusingkan! “Baik pak.” Jawab perawat itu patuh. Sebelum masuk mobil, Zack mendunga, melihat ke jendela lantai dua, ke kamarnya dan Elena. Dia bisa melihat Elena berdiri tepat di depan jendela besar dan melihat ke arahnya. Kemudian dia bisa mendengar bunyi nyaring barang-barang yang dibuang. Zack menghela nafas, dia tahu dia salah, tapi semoga saja tindakannya kali ini benar. Semoga dengan dikurung sendirian di kamar, bisa membuat Elena berpikir jernih. Tadi dia sudah menyambar ponsel Elena agar istrinya itu tidak bisa menghubungi siapapun untuk minta tolong. Tapi itu hanya harapan Zack. Elena bukanlah anak kecil yang bisa didikte. Dia sudah dewasa, tidak bisa dipaksa lagi. Jadi ini permainan yang kamu mainkan untuk membuatku tunduk padamu, Zack? Sayangnya kamu salah. Kamu akan menyesali tindakanmu kali ini. Lihat saja, jika kamu lakukan ini untuk menghukumku, aku juga bisa berikan hukuman yang lebih menyakitkan untukmu! Elena tahu saat ini Zack dalam fase menyadari kesalahannya dan mungkin menyesali perselingkuhannya dengan Tatyana. Dia bisa manfaatkan penyesalan Zack dengan membuat lelaki itu semakin menyesal! Elena menuju ke kasurnya dengan hati-hati melangkah. Dia tadi sempat membuang benda-benda yang ada di sekitarnya. Kemudian Elena merebahkan tubuhnya di kasur dengan seringai di bibirnya. Ini hanya masalah waktu saja hingga akhirnya Zack akan menyesali apa yang telah dilakukannya. Elena nikmati kesendirannya di kamar hingga tak menyadari waktu berlalu. Saat sinar matahari yang terik menerobos masuk melalui jendela, Elena mendengar suara anak kunci diputar untuk membuka pintu kamarnya. Dia lirik dengan ekor mata, yang datang adalah perawat yang membawa nampan berisi makan siangnya. Hmm, sudah jam makan siang ternyata. Ini artinya sudah jam dua belas. Baiklah, kita akan mulai drama ini. Kamu yang mulai Zack, aku hanya ikuti saja alur yang kamu buat! “Ibu, silakan ini makan siangnya. Saya letakkan di nakas ya bu, ada cemilan kesukaan ibu. Bapak bilang ini makanan kesukaan ibu semua.” Perawat tadi meletakkan seporsi bubur, gorengan juga teh manis hangat di atas nakas. Elena tidak berikan respon. Dia bahkan tidak mau melihat ke arah perawat itu. “Saya tinggal ya bu, jangan lupa dihabiskan buburnya.” Perawat tadi undur diri. Elena memejamkan mata, coba mengusir rasa lapar yang tiba-tiba muncul karena harumnya aroma makanan yang tersaji. * Kesibukan di kantor sejenak bisa membuat Zack lupa pada Elena. Tapi saat jam menunjukkan pukul empat sore, alarm ponselnya berbunyi. Saatnya memberi snack sore untuk Elena. Zack mengetik pesan untuk perawat, setelah mendapat balasan, dia kembali fokus pada pekerjaannya. Lepas magrib, simbok yang baru datang dari mengunjungi rumah kerabat, kebingungan karena tidak menemukan Elena. Simbok bertanya pada orang rumah tapi mereka semua berkata hal yang sama, tidak melihat Elena hari itu. Ada salah satu asisten rumah tangga yang berkata bahwa dia melihat perawat yang disewa membawakan makan siang untuk Elena ke kamarnya. Akhirnya simbok bertanya pada si perawat. “Di mana Nona Elena?” Tanya simbok, nadanya tajam. “Ada di kamar, hari ini ibu tidak kemana-mana kok.” Jawab si perawat, datar. Dia yang baru bekerja selama beberapa bulan saja, tidak tahu betapa berkuasanya simbok. “Aku ingin bertemu Nona Elena. Ada bingkisan dari kerabatku.” Simbok melangkah tapi dihadang oleh si perawat. “Kamu ngapain pakai merentangkan tangan begitu? Mau memberiku pelukan hah?” Sindir simbok, yang tidak suka pada perawat ini. “Bapak Zack bilang tidak boleh ada yang masuk ke kamar ini selain saya dan Pak Zack. Itu artinya termasuk simbok.” Jawab si perawat, jumawa karena merasa didukung oleh Zack. Dia tidak tahu saja, Zack tidak berarti apa-apa di rumah itu. “Minggir kamu bocah, biarkan aku bertemu Nona Elenaku. Buka pintunya atau kamu akan menyesal jika tidak lakukan apa yang aku perintahkan.” Geregetan, simbok mengancam si perawat muda tadi yang tersenyum melecehkan. “Tidak mau. Hanya Pak Zack dan saya yang boleh masuk ke kamar Nona Elena. Lihatlah, ini kunci yang diberikan langsung oleh Pak Zack kepada saya.” Perawat tadi mengayunkan anak kunci tepat di muka simbok, membuat perempuan sepuh itu menghela nafas kesal. “Ini sudah lewat magrib. Nona Elena sudah harus makan malam. Segera buka pintunya atau kamu akan menyesal karena membantahku.” Sekali lagi simbok berikan peringatan. “Saya digaji oleh Pak Zack, bukan oleh simbok. Hanya Pak Zack yang boleh memerintah saya!” Tegas si perawat. “Baiklah jika itu maumu. Kamu bekerja di sini baru dua bulanan ini kan ya?” tanya simbok tapi tidak menatap mata si perawat muda, simbok fokus mencari sesuatu di tas kantung yang dia bawa. “Iya, benar.” “Pantas saja kamu belum tahu, kalau hanya aku di rumah ini yang punya kunci master semua pintu. Satu-satunya loh. Nih!” Seringai seram simbok saat mengeluarkan satu kunci master dan melenggang santai menuju kamar Elena. Si perawat hanya melongo sambil melihat ke arah anak kunci yang dia gengam, bergantian melihat ke arah simbok. Dia hanya tidak menyangka betapa berkuasanya simbok di rumah itu. Simbok membuka pintu kamar perlahan, dia sungguh kaget karena melihat betapa berantakannya kamar itu, bak kapal pecah. “Nona Elena!” Teriakan simbok membahana saat melihat kondisi sang nona muda.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN