Lp menjadi Secret admirer Jihan. Ia memperhatikan Jihan dari jarak jauh. Kini Jihan sudah bekerja di perusahaan ini sehingga Lp seringkali mencari-cari alasan untuk datang ke lantai dua. Lantai dua adalah ruang untuk tim media. Disana tempat segala sesuatu yang berhubungan dengan konten, SEO, promosi dan lain sebagainya. Tapi tetap saja, Lp tidak bisa terus-terusan ke lantai dua karena akan membuat semua orang bertanya-tanya. Hal yang memungkinkan adalah, Lp melihat Jihan dari CCTV perusahaan.
Apa yang dilakukan Lp tidak dibenarkan sama sekali. Tapi ia hanya ingin melihat apa yang dilakukan oleh Jihan. Lp suka melihat Jihan bekerja. Tidak hanya itu, hal yang paling disukai oleh Lp adalah saat Jihan tersenyum dan tertawa bersama rekan-rekan kerjanya yang baru.
Seperti sekarang, mata Lp menatap layar komputer. Dia tersenyum sendiri melihat bagaimana Jihan sangat serius bekerja. Hal yang tidak berubah dari pertama kali Lp mengenal Jihan sampai sekarang adalah saat Jihan tertawa pasti memukul sesuatu. Dulu kalau ada Lp disamping Jihan, maka target yang Jihan pukul adalah dirinya. Entah kenapa saat mengingat masa-masa itu Lp tersenyum sendiri.
"Hayo.. nonton apa?" Tiba-tiba suara Zero membuat Lp langsung menutup layar komputer. Ia tidak sadar jika Zero sudah masuk ke dalam ruangannya.
Zero menyipitkan kedua mata seakan-akan menaruh kecurigaan yang besar. Apalagi saat mendeteksi gelagat panik yang ditunjukkan oleh tubuh Lp. "Lo nonton yang aneh-aneh ya?" tebak Zero. Ia bertanya sambil menahan tawa.
"Mana ada!" Lp langsung membantah hal tersebut.
Zero terkekeh, lantas ia berkata, "nggak usah bohong."
"Iya kali gue nonton begituan pakai jaringan perusahaan," keluh Lp karena ia tidak melakukan apa yang dituduhkan oleh Zero.
Zero langsung tertawa. "Oh begitu, jadi kalau mau lihat begituan pakai jaringan pribadi ya."
"E-enggak juga." Lp jadi serba salah. Padahal ia tidak hobi melihat hal-hal seperti itu karena hanya akan merusak kinerja otaknya.
"Tadi lo bilang kalau mau lihat begituan pakai jaringan pribadi bukan jaringan perusahaan. Benar nggak?"
"Iya. Tapi gue nggak lihat begituan." Lp membela diri.
"Udahlah. Ngaku aja."
Kapan sih Zero tidak membuat Lp kesal? Selalu saja membuat dirinya kesal. Datang tidak ada salam, langsung masuk dan mengagetkan dirinya. "Ck, terserah." Lp terlalu malas meladeni Zero.
Zero memilih berbaring di sofa. Padahal di ruangannya juga ada sofa. Baik Yu ataupun Zero suka sekali bersantai di ruangan. Bahkan mereka berdua selalu menginap dirumahnya. Lp tidak keberatan, tapi keberadaan mereka terkadang membuat Lp sulit menyembunyikan sesuatu.
"Kalau nggak bisa nahan ya nikah," celetuk Zero. Lp kira Zero tidak akan memperpanjang pembahasan. Tapi ternyata tidak, Zero malah menyuruhnya untuk menikah. Kalau Jihan mau, dia juga bakal langsung nikah. Kalau perlu detik ini dia menikah. Tapi masalahnya, Jihan sangat membenci dirinya. Mana Lp tidak bisa move on dari masa lalu. Inilah hukuman untuk dirinya karena meninggalkan Jihan delapan tahun yang lalu. Apa Lp akan sendiri seumur hidup? Semoga saja tidak.
"Lo nyuruh gue nikah?" tanya Lp.
"Hm."
Kini Lp yang tertawa. "Sebelum nyuruh, lebih baik lo yang nikah duluan. Gue akan sangat bahagia."
"Jujur aja, setelah gue melihat pernikahan si Bos sama Bang Hiro, gue juga pengen nikah." Zero mulai curhat. Tidak ada yang salah, umurnya juga sudah pantas untuk menikah. Bahkan ada orang menikah saat berusia delapan belas tahun.
"Ya udah nikah," bala Lp. Kalau hanya berbicara dan bermimpi tapi tidak ada aksi maka pernikahan tidak akan terwujud. Setidaknya berusaha, apalagi laki-laki.
"Kalau gue nikah, ntar lo dirumah sendiri."
"Alasan. Bilang aja nggak ada yang mau nikah sama lo." Lp sudah senyum-senyum mengejek.
"Enak aja!" Zero tidak terima apa yang dikatakan oleh Lp.
"Ada karyawan baru, tipe judes gitu."
"Lo tertarik?"
Zero tidak menjawab. Dia hanya melihat dua kali. Wajahnya sedikit judes. Bahkan saat bertemu dengan Zero, karyawan tersebut cenderung biasa saja. Bukan Zero kepedean, tapi biasanya jika ada karyawan yang berpapasan dengan dirinya pasti akan langsung senyum ramah. Apa perempuan itu tidak kenal dengan Zero? Mungkin saja karena masih karyawan baru.
"Kalau tertarik ya kejar." Lp serius mengatakan hal tersebut.
"Bukan tertarik, mungkin hanya penasaran," balas Zero. Ia masih belum yakin apa memang tertarik atau hanya sekedar penasaran saja.
"Lo yakin?"
"Hm." Mata Zero terpejam. Ia ingin beristirahat sebentar setelah terlalu lama berkutat dengan pekerjaan.
"Saran gue sih, kalau memang tertarik jangan cuma diam. Tidak selamanya seseorang itu hanya disukai oleh satu orang," saran Lp.
Zero tidak mengatakan apa-apa. Tapi ia hanya tersenyum tipis. Jarang saja mereka membahas soal ini.
Waktu istirahat sebentar lagi akan datang. Lp bersiap untuk menuju mushola. Ia sengaja menggunakan masker padahal tidak sakit atau sejenisnya. Lp taku bertemu dengan Jihan. Pernah sekali ia dan Jihan ke mushola diwaktu yang sama. Hampir saja Jihan melihat dirinya, tapi Lp dengan cepat bersembunyi. Setidaknya dengan masker, Lp tidak dikenali oleh Jihan.
"Jangan tidur, waktu shalat bentar lagi masuk." Lp mengingatkan Zero. Kalau sudah shalat, mau tidur atau jungkir balik sekalipun tidak masalah.
"Hm."
Setelah mendapat respon dari Zero, Lp memutuskan untuk ke mushola perusahaan. Tidak semua karyawan shalat di mushola, ada juga yang shalat di masjid yang tidak jauh dari perusahaan. Kira-kira butuh waktu lima belas menit untuk menuju ke sana.
Lp berjalan sambil melihat-lihat. Kalau keberadaan Jihan terdeteksi, maka ia berusaha untuk menghindar. Lp butuh waktu untuk berani menampakkan diri di depan Jihan.
Kali ini, Lp tidak melihat Jihan. Ia shalat sebagaimana biasanya. Zero dan Yu juga ada disana. Sedangkan Hiro memilih untuk shalat di masjid karena sekalian mengunjungi toko Hana.
"Mau makan siang dimana?" tanya Yu setelah mereka selesai shalat.
"Luar aja, sekalian cari angin." Zero memberi usul.
"Gue nggak ikut." Lp punya rencana lain.
"Gue curiga, lo akhir-akhir ini sering makan sendiri." Jiwa detektif Zero muncul.
Lp tertawa. "Terlalu banyak nonton drama," komennya.
"Udah ya, gue pergi dulu," lanjut Lp lagi. Dia bergegas keluar mushola.
Yu dan Zero saling pandang satu sama lain. Mereka bertanya-tanya, apa Lp menyembunyikan sesuatu? Kenapa gerak geriknya jadi aneh? Tapi mereka tidak menemukan jawaban.
Lp langsung menuju ke ruangan. Ternyata makan siang yang ia pesan sudah datang. Sebelum ke mushola, Lp memang memesan makanan terlebih dahulu. Paling Edi yang meletakkan pesanan tersebut ke atas meja kerjanya. Oh ya, Lp sudah memiliki sekretaris, namanya Edi.
Komputer menyala. Layarnya menampilkan ruangan kerja Jihan. CCTV ini memang milik perusahaan. Bukan Lp yang mengada-ngada demi memantau Jihan. Setiap ruangan kerja umum, bukan privasi pasti dilengkapi CCTV. Ruang kerja Jihan termasuk ruangan umum karena ada beberapa karyawan yang juga berada di ruangan tersebut.
Seperti biasa, Lp makan siang dengan ditemani oleh Jihan. Bukan ditemani secara langsung, tapi hanya Lp yang sedang melihat Jihan makan di ruang kerjanya sendiri. Lp jadi senyum-senyum sendiri. Banyak pilihan sebenarnya, apalagi perusahaan juga memiliki kantin sendiri. Tapi sejak awal Jihan masuk, ia cenderung membawa makan siang sendiri.
Entah kenapa Lp yang awalnya tersenyum langsung sedih. Apalagi melihat makanan yang Jihan makan. "Bagaimana kehidupan Jihan sebenarnya?" Dia bukan berasal dari keluarga biasa. Hampir makanan yang dibawa Jihan seperti hari sama. Kalau tidak nasi goreng, pasti hanya nasi putih dengan telur.
Nafsu makan Lp mendadak hilang. Mana makanan yang ia pesan selalu berbeda-beda. Ia jadi malu sendiri. Ingin rasanya Lp memesankan makanan untuk Jihan. Tapi ia ragu, takutnya Jihan ketakutan dan merasa tidak nyaman. Apalagi Lp dengar banyak desas desus yang akhir-akhir ini mengudara. Masa lalu Jihan yang pernah masuk penjara diketahui oleh beberapa orang. Walaupun bagi karyawan lain hanya sekedar gosip, tapi Jihan pasti merasa tidak nyaman. Lp sudah menyuruh Edi menekankan kepada karyawan untuk tidak berbicara atau menyebarkan sesuatu yang tidak baik.
Memang, Edi tidak langsung mengatakan larangan penyebaran informasi atau pembahasan terhadap masa lalu Jihan. Tapi seharusnya mereka mengerti peringatan yang Edi katakan atas perintah Lp mengarah ke sana. Edi masih menggunakan bahasa kiasan agar Jihan tidak menjadi pusat gosipan yang baru.
Perusahaan juga memiliki aturan sendiri untuk tidak menyebarkan sesuatu yang berhubungan dengan privasi karyawan. Hal ini berguna agar tidak terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. Tidak lucu bukan tempat kerja menjadi tempat yang tidak nyaman. Bagaimana pekerjaan bisa dilakukan dengan baik jika tempatnya saja terasa tidak nyaman.
"Sebentar lagi, Jihan. Sebentar lagi..." Lp berkata sendiri. Ia butuh waktu menyiapkan diri untuk muncul di hadapan Jihan. Tapi Lp tidak bisa terus-terusan memantau Jihan dari jauh. Lp ingin Jihan tahu bahwa ia masih ada. Lucu memang, Lp seperti orang yang tidak merasa bersalah sama sekali.
Delapan tahun yang lalu, Lp meninggalkan Jihan. Namun sekarang, Lp malah membuat berbagai perangkap agar Jihan tetap berada di dekatnya.
Pukul lima kurang lima belas menit, para karyawan bergegas untuk pulang. Ada juga beberapa karyawan yang lembur karena pekerjaan yang mendesak. Lp yang biasanya pulang saat matahari sudah terbenam, tapi beberapa hari ke belakang tidak. Dia mengikuti Jihan dari belakang. Ia ingin Jihan aman sampai dirumah. Apalagi Jihan menggunakan kendaraan umum.
Lp memantau dari jauh. Dia bisa melihat Jihan yang sedang menunggu bus di halte depan perusahaan. Lp hanya ingin memastikan Jihan sampai ke tempat tinggalnya dengan selamat. Lp tidak punya niat lain selain itu.