8. Sebuah Keputusan

1606 Kata
Zahra berulangkali meremas kedua tangannya karena gugup. Bibirnya komat-kamit merangkai kata yang tepat untuk ia sampaikan di depan kedua orangtuanya. Sebentar lagi ia akan menyampaikan apa yang sudah menjadi keputusannya. Zahra berharap kedua orangtuanya tidak akan kecewa nanti saat mendengar ungkapan hatinya. Menikah. Perempuan mana yang tidak ingin. Bertemu dengan jodoh, kemudian hidup bersama membangun istana cinta, menghasilkan keturunan-keturunan. Pasti semua itu menjadi setiap impian perempuan. Tapi menikah bukanlah sebuah keputusan yang harus diambil dengan tergesa-gesa. Butuh pemikiran matang dan benar-benar siap saat mengambil langkah ini. Pernikahan adalah gerbang awal kehidupan baru yang nanti akan dijalan oleh setiap pasangan, untuk itu modal yang diperlukan bukan hanya melulu soal cinta, kasih sayang, tapi juga tanggung jawab dan keyakinan dalam hati. Keyakinan. Zahra belum merasakan itu sama sekali pada Zidan. Ia memang percaya jika Zidan pasti akan sangat menyayanginya, tapi sekadar sayang tanpa cinta, apa bisa pernikahan akan berjalan dengan mulus. Zahra benar-benar yakin jikapun ada rasa cinta itu dalam hati Zidan untuknya, itu hanya rasa cinta persaudaraan. Rasa ingin melindungi layaknya seorang saudara. Zahra bisa melihat itu dari tatapan mata lelaki itu. Bukan cuma setahun-dua tahun mereka dekat. Namun sejak kecil, sejak berumur lima tahun hingga kini dewasa dan sudah dua puluh lima tahun usia Zahra. Gadis itu hapal dan paham betul apa saja yang disukai, dan tidak oleh sahabatnya itu. Sejak kecil Zidan pasti akan melakukan apa saja agar adik kecilnya Aisyah bisa tersenyum bahagia. Zidan sangat menyayangi Aish. Tapi seiring waktu, rasa sayang itu sepertinya telah berubah dan teriringi oleh rasa lain yang bernama cinta. Bukankah pernikahan itu sakral. Pernikahan itu suci, sebuah prosesi dan jalan untuk meraih cinta yang hakiki. Yang harus berlandaskan rasa saling percaya. Bukannya rasa percaya itu tidak ada dalam hati Zahra pada Zidan. Tapi Zahra sadar kepercayaannya hanya sebatas sahabat dan tak lebih. Jika memang begitu, apa tidak egois sekali kalau Zahra meneruskan rencana pernikahannya dengan Zidan. Padahal Zahra sendiri belum pernah mendengar langsung Zidan mengungkapkan perasaannya. Bisa saja kan lelaki itu telah menaruh hatinya pada nama lain. Gadis lain yang mungkin telah memenjara hati Zidan. Atau mungkin gadis yang selama ini dijaga dan dilindunginya dengan segenap hati. Aisyah. Zidan mencintai Aisyah? Iya mungkin itu betul. Zahra bisa melihat dari sorot mata Zidan setiap kali membicarakan tentang Aisyah pasti ada rona lain di wajahnya. Rona bahagia layaknya seorang kekasih yang sedang bercerita tentang kekasihnya. "Abi, Ummi. Nanti ba'da Isya' Zahra mohon berkumpul di ruang tengah, ada yang ingin Zahra sampaikan pada semuanya." Dengan hati agak bergetar Zahra membicarakan niatnya pada Faidh dan Fatimah. "Memangnya mau bicarain apa sih Ra? Serius amat kayaknya." Ezar yang mendengar ucapan si adek kembar menimpali. "Iya Nak, ada hal penting apa Ra?" "Nanti saja ya Bi, Zahra akan ceritakan semuanya." Isya' baru saja berlalu, berarti sebentar lagi Zahra harus mengungkapkan apa yang sudah menjadi keputusan hatinya. Apapun reaksi abi dan umminya nanti, Zahra sudah siap untuk menerima. Terlebih nanti saat dia mengatakan langsung pada Zidan dan keluarganya. Sebagi gadis yang tumbuh dengan cinta dan kasih sayang serta didikan agama yang sudah mengakar kuat dari kecil, Zahra paham jika mengecewakan kedua orangtua itu haram hukumnya. Zahra tidak ingin melihat gurat sedih atau kecewa di mata Abi dan Umminya. Akan tetapi gadis itu sudah bertekad akan mengatakan sebelum semuanya terlambat, dan lagi Zahra meyakini dalam hati jika nanti kedua orangtuanya pasti akan menerima apapun keputusan yang putri mereka ambil. "Assalamualaikum Abi, Ummi, Abang." semua sudah menunggu Zahra di ruang tengah. Zahra bisa melihat sorot mata penasaran dari semua yang ada disitu. "Waalaikumsalam," jawab ketiganya saat Zahra mengambil posisi duduk di sebelah umminya. "Sebenarnya ada apa Nak? Tidak biasanya kamu mengumpulkan semua orang seperti ini. Apa Zahra sedang ada masalah?" Fatimah meraih tangan putrinya saat bertanya. Zahra hanya tersenyum dan menggeleng pelan. "Iya Sayang, cerita sama Abi ada apa sebenarnya. Zahra baik-baik saja kan Nak?" Faidh menatap putrinya dengan tatapan kawatir. "Iya Ra, kenapa sih pake ngumpulin orang segala. Oh, pasti mau bagi-bagi rejeki nih Bi, Mi. Zahra kan baru menang tender. Iya kan Ra," cerocoz Ezar menggoda sang adik kembar. "Abang!" "Iya iya Ummi, nih Abang diem deh." Fatimah menatap putranya itu saat ingin berusaha menggoda Zahra. Sudah tidak kaget jika Ezar itu pasti akan selalu mencari cara untuk menggoda dan menjahili sang adik kembar Zahra. Tapi menurut Fatimah tidak untuk saat ini. Fatimah bisa melihat betapa putrinya itu kini terlihat sangat serius sekali. "Abi, Ummi sebelumnya Zahra ingin meminta maaf jika nanti apa yang Zahra bicarakan bisa mengecewakan hati Abi dan Ummi. Tapi sungguh demi Allah tidak ada niat untuk seperti itu sama sekali dalam hati Zahra." Zahra mulai memberanikan membuka suara. Menyampaikan semua yang ada di hatinya pada kedua orangtua dan saudara kembarnya tanpa ada yang ia sembunyikan. Fatimah menggeleng mendengar penuturan sang putri. Seakan mengatakan apa pun yang Zahra katakan pasti tidak akan membuat mereka semua kecewa. Fatimah yakin akan hal itu, Zahra adalah anak yang shaleha tidak pernah membanta apapun perkataan kedua orangtuanya. Bahkan Zahra selalu berusaha untuk membuat kedua orangtuanya selalu tersenyum. "Katakan Ra. Inshaa Allah kami semua tidak akan kecewa. Ceritakan semua yang mengganjal di hati Zahra. Abi, Ummi dan Abang Ezar pasti akan dengan senang hati mendengarkan apapun yang ingin Zahra sampaikan." Faidh menatap lembut wajah putrinya. Dia bisa melihat ada gurat sedih di mata Zahra. Entah itu karena apa, Faidh belum memahaminya. Zahra beralih ke depan Abinya. Bersimpuh sambil kedua tangannya menggenggam tangan Faidh. Fatimah dan Ezar hanya saling pandang tak mengerti apa yang terjadi dengan Zahra. "Zahra sayang." "Abi, Zahra benar-benar meminta maaf pada Abi." "Minta maaf untuk apa Sayang? Zahra tidak melakukan kesalahan kenapa harus minta maaf." Faidh mengelus pucuk kepala putrinya. Masih bingung. "Zahra takut mengecewakan Abi dan Ummi. Abi jangan marah ya kalau nanti Zahra jelaskan." Faidh mengangkat kedua bahu putrinya untuk duduk di sebelahnya. "Abi, Ummi. Maafkan Zahra jika keputusan yang Zahra ambil tidak mengenakkan hati Abi dan Ummi." "Keputusan apa Ra? Cepat ceritakan, kami semua sudah sangat bingung dan penasaran," sahut Ezar pada adik kembarnya. "Zahra sudah memutuskan untuk ... tidak akan meneruskan rencana pernikahan yang sudah Abi dan Ayah Diftan sepakati. Maafkan Zahra, Abi." setetes bening sudah meluncur begitu saja dari kedua sudut mata indah Zahra. Untuk sejenak Faidh masih terdiam, begitu juga dengan Fatimah dan Ezar. "Abi, Ummi. Apa kalian marah dengan keputusan yang Zahra ambil? Maafkan Zahra, Bi. Tapi sungguh di dalam hati Zahra demi Allah, tidak menyimpan rasa lain pada Zidan selain rasa persaudaraan. Zahra tidak yakin dengan rencana pernikahan ini Bi. Lalu bagaiamana nanti Zahra dan Zidan akan bisa menjalani rumah tangga bersama jika dalam hati saja tidak ada keyakinan." Zahra makin terisak takut kalau-kalau Abi-nya akan marah dan kecewa. Tapi sepertinya itu tidak terbukti. Faidh malah merengkuh tubuh putrinya untuk ia peluk. Hatinya seperti tertampar, bagaimana bisa dia mengambil keputusan dengan menerima pinangan yang Diftan ajukan tanpa bertanya lebih dulu akan perasaan anaknya. "Abi ..." Zahra mendongak memandang wajah Faidh yang seperti sangat menyesal. "Tidak Ra, jangan meminta maaf. Salah Abi juga yang menerima begitu saja saat ayahnya Zidan datang ingin melamar kamu. Abi pikir karena kalian sudah bersahabat sejak kecil maka cinta itu nanti akan tumbuh dengan sendirinya. Tapi Abi salah, Abi yang harusnya minta maaf sama Zahra karena sudah membebani hati Zahra." Zahra menggeleng tak setuju dengan perkataan Abinya. Bagaimanapun juga Abinya tidak bersalah, hanya saja Zahra terlambat menyadari jika di dalam hatinya memang tak ada rasa lain pada Zidan. "Abi benar Ra. Sudah ya, Zahra jangan merasa bersalah. Ummi mengerti apa yang Zahra rasakan." Fatimah mengelus lengan Zahra ikut menenangkannya. "Iya Ra. Sudah jangan nangis terus. Cengeng banget sih. Masa gitu aja nangis." "Abaang..!" "Iya Ummi, becanda. Zahra kan cantik, pasti akan banyak pemuda yang datang melamar setelah ini. Iya kan, Ra." Ezar rupanya masih saja tak mau berhenti menggoda Zahra. "Abi, tapi bagaimana nanti penjelasan kita sama ayah Diftan. Apa nanti ayah Diftan tidak akan marah saat tahu keputusan yang Zahra ambil." Zahra tiba-tiba cemas, takut kalau-kalau nanti Diftan akan marah. Bagaimanapun abinya dan ayah zidan sudah bersahabat sejak zaman kuliah, Zahra tak ingin hanya gara-gara keputusan yang ia ambil akan merusak persahabatan yang sudah lama terjalin. Faidh tersenyum memandang Zahra yang masih berada di dalam dekapannya. "Zahra tidak usah memikirkan itu, nanti Abi dan Ummi yang akan bicara langsung pada ayah dan bundanya Zidan. Yang penting sekarang putri Abi tidak merasa bersalah dan sedih terus-terusan. Zahra tidak salah apa-apa Nak." "Terima kasih Abi, Zahra sayang Abi." "Yaelaah Ra. Cuma Abi saja yang disayang. Nggak adil, Abang sama Ummi nggak disayang." protes Ezar tapi bernada gurauan. "Sayang Ummi juga dong." "Kalau sama Abang?" "Nggak, Zahra nggak sayang sama Abang." "Tuh kan Ummi, lihat tuh Zah..." "Zahra nggak sayang Abang. Tapi Zahra sangat menyayangi Abang Ezar." Baru saja Ezar ingin protes pada umminya tapi dengan cepat Zahra memotongnya. Fatimah hanya bisa menggelengkan kepala melihat dua buah hatinya yang kini sudah dewasa tapi tetap saja sifatnya tak pernah berubah. Fatimah tersenyum dalam hati, biarlah dia menikamati saat-saat ini sebelum putra-putrinya nanti akan memasuki kehidupan baru setelah bertemu dengan jodohnya. "Abi, Ummi. Ada satu hal lagi yang ingin Zahra sampaikan." "Tentang apa itu Nak?" "Zahra meminta ijin pada Abi dan Ummi jika mengijinkan Zahra ingin pergi ke Solo. Zahra ingin tinggal sementara di pesantren Al-Hikmah, boleh ya Bi, Mi?" Faidh dan Fatimah saling pandang mendengar permintaan Zahra. Pesantren Al-Hikmah adalah tempat dimana kedua orangtua Zahra dan Ezar dulu bertemu dan berjodoh. Tempat Faidh menemukan cintanya Fatimah. "Zahra sudah mengajukan cuti di kantor, insya Allah akan di sana selama dua atau tiga minggu, Bi." Akankah nanti Zahra juga mengalami hal yang sama dengan mereka berdua. Bertemu dengan jodohnya disana. ########
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN