Menatap senja rupanya menjadi hobi baru bagi Daniel saat ini. Kala rona jingga menyepuh langit sore hari. Kala matahari mulai menghilang secara perlahan, bergantikan dengan warna gelap langit malam. Mencoba meresapi setiap detak yang ia rasakan beberapa hari ini. Ingin mengurai kata yang terpendam di hati, mengungkapkan langsung pada dia yang selau ada dalam angannya.
"Roland..!" panggilan dari sang omah menyadarkan Daniel dari lamunannya menatap senja sore ini di balkon kamarnya.
"Iya Omah." bergegas memasuki kamar dan mendapati omah Anita sudah berdiri disana.
"Omah ingin berbicara serius sama kamu," titah sang omah. Daniel pun mengangguk mengikuti langkah omah Anita menuju ruang tengah.
"Omah mau bicara apa sih?" tanya Daniel yang penasaran.
"Roland, semakin hari omah pasti akan bertambah tua, dan umur omah pun pastinya akan berkurang." omah Anita mulai berbicara, tapi Daniel mengernyitkan dahinya, bingung. Apa sebenarnya yang ingin omahnya bahas.
"Maksud Omah apa sih?" Tanya Daniel.
"Kamu sudah cukup dewasa Roland. Omah rasa sudah sepantasnya kamu mencari pendamping hidup. Omah tidak mungkin akan terus ada untuk kamu."
"Omah ..." Tatapan Daniel menyendu mendengar bicara omah.
"Omah mohon Roland, sekali ini saja. Sebelum omah pergi meninggalkan kamu menyusul mendiang papamu, berilah kesempatan pada wanita tua ini untuk merasakan menimang cicit darimu."
Daniel tertegun dengan permintaan omahnya. Memang selama ini sudah berkali-kali, sang omah selalu menyinggung tentang pendamping untuk cucunya itu. Tapi Daniel juga menganggap itu hanya sebatas angin lalu dan tidak serius memikirkannya. Tapi kali ini omah Anita terlihat sangat serius, Daniel bisa melihat itu dari raut wajah omahnya.
Menikah? Bagaimana mungkin bisa terlaksana dengan cepat. Sedang kekasih atau calon istri saja belum ada. Saat sedang seperti ini ingatan Daniel justru tertuju pada nama Nadira.
Ia menginginkan gadis itu, beberapa hari kelebat wajah Nadira itu selalu mengganggu tidur nyenyak Daniel. Dan sekarang Daniel yakin jika dia memang telah jatuh cinta pada Nadira. Apakah rasa ini salah jika tumbuh dihatinya? Cinta itu memang tidak salah. Tapi perbedaan yang ada diantara mereka yang menjadi masalah.
"Roland." omah memerhatikan wajah Daniel yang tiba-tiba lesu.
"Iya Omah, kenapa buru-buru sekali. Daniel masih belum siap Omah, lagipula saat ini Daniel ingin fokus mengurus perusahaan saja dulu." elaknya mencari alasan.
"Omah sudah menduga jawaban kamu Roland. Apa masalahnya karena kamu belum menemukan gadis yang tepat menurutmu?"
'Sudah Omah. Daniel telah menemukannya, tapi aku tidak yakin Omah akan setuju jika ku-bawa dia menemui Omah.' jawab lelaki itu tapi hanya di dalam hatinya.
"Iya Omah, beri Daniel waktu untuk itu. Daniel janji akan menuruti permintaan Omah jika sudah menemukan gadis yang sesuai dengan apa yang Daniel mau, tapi..." Kalimat Daniel menggantung.
"Tapi apa Roland?"
Daniel ingin mengatakan bagaimana jika nanti gadis itu tidak sesuai dengan kemauan omahnya. Namun urung ia teruskan kata-katanya.
"Tidak apa Omah. Beri Daniel waktu ya Omah."
"Baiklah, Omah akan memberikan waktu sampai kamu menemukan pendamping hidup yang cocok untukmu. Tapi ingat satu hal Roland, gadis itu harus sama seperti kita. Seiman. Kalau bisa yang taat ibadatnya, juga rela menjadi Pelayan di rumah Tuhan."
Pesan dari omah Anita begitu menohok perasaan Daniel. Bagaimana mungkin jika gadis yang ia inginkan adalah Nadira yang ternyata seorang muslim. Lalu bagaimana nanti ia akan menjelaskan pada omahnya bahwa ia jatuh cinta pada seorang wanita muslim.
>>
"Nadira," teriak Daniel setengah berlari menghampiri Nadira yang hendak melangkah untuk mencegat taksi. "Bareng saya saja, biar saya antarkan pulang," ucapnya lagi pada gadis itu.
Jantung Daniel tak henti berdegub sejak siang tadi. Hari ini Daniel dan Nadira sedang meninjau langsung ke lapangan, meninjau mengenai proyek kerjasama yang telah disepakati oleh dua perusahaan. Tadinya Alfred dan Diana yang merupakan wakilnya di kantor yang akan meninjau, tapi begitu tahu bahwa Nadira-lah yang mewakili PT. Hasanah untuk meninjau ke lapangan, Daniel memutuskan untuk pergi sendiri kesana. Selain untuk urusan pekerjaan, tentu saja tujuannya adalah agar bisa bertemu dengan Nadira.
"Tapi Pak. Apa tidak merepotkan?"
"Tidak, ayo silakan." Daniel membukakan pintu mobil untuk Nadira. Gadis itu pun mengangguk patuh kemudian memasuki Pajero sport putih milik Daniel.
"Terima kasih Pak," ujar Nadira menunduk malu saat sudah berada di dalam bersama Daniel.
"Jangan panggil Pak. Kan, ini di luar jam kantor, panggil Daniel saja ya," ucapnya pada Nadira.
"Baik Pak ... maksud saya, Daniel."
Daniel tersenyum senang melihat Nadira menuruti permintaannya. Lagipula dia dan Nadira nampak seumuran.
Sepanjang perjalanan Daniel tak hentinya mengagumi gadis di sebelahnya itu. Berkali-kali melirik dan mata mereka bertemu pandang. Ada desiran aneh setiap bola mata mereka bertatapan.
""Nadira."
"Iya Daniel?"
"Apa kamu keberatan jika saya ajak mampir ke kafe sebentar."
Nadira tampak berpikir sejenak kemudian mengangguk.
Daniel pun tersenyum saat Nadira tak menolak ajakannya.
Tak lama mobil Daniel memasuki pelataran kafe. Melangkah beriringan ke dalam. Suasana kafe sore ini begitu tenang dan nyaman, tidak terlalu ramai.
"Mau pesan apa?" tawar Daniel pada Nadira.
"Apa saja, saya ikut kamu saja ya."
Daniel pun memesan dua cangkir vanila latte dan beberapa dessert. Menikmati berdua bersama, di bawah langit senja, serta diiringi oleh live music yang menggema lembut.
Tak banyak kata dan pembicaraan yang keluar dari mulut keduanya. Mungkin masih sama-sama canggung.
"Nad, ehm, apa tidak ada yang marah kalau kamu sedang bersama saya saat ini," ujar Daniel di tengah kegugupan yang ia rasakan. Sengaja Daniel ingin memancing jawaban dari Nadira, ingin tahu apa gadis di depannya itu sudah mempunyai seorang kekasih atau belum.
"Maksudnya?" Nadira mangangkat satu alisnya balik bertanya.
"Maksudku barangkali pacar atau ..."
"Maaf Daniel, jika kamu berpikir begitu, aku tidak mempunyai yang kamu sebut pacar atau kekasih."
Entah sadar atau tidak tapi dalam hati lelaki berhidung mancung itu bersorak saat mendengar penuturan gadis berwajah teduh yang mengatakan jika ia belum memiliki kekasih atau pacar.
"Gadis secantik kamu belum ada yang punya?" tuturnya membuat Nadira salah tingkah karena secara tidak langsung Daniel telah memujinya.
Sementara Daniel merutuk dalam hati karena tidak bisa mengontrol rasa kagum yang ia rasakan untuk memuji Nadira.
"Maaf Nad," ucap Daniel ikut salah tingkah seperti Nadira.
"Tidak apa. Santai saja."
"Oh iya, kalau begitu mulai sekarang, kita teman, kan." Daniel mengulurkan tangannya tapi Nadira tak menyambutnya, ia hanya tersenyum dan menangkup kedua tangannya di d**a.
"Oh, maaf Nad."
"Jangan minta maaf terus, kita teman kan." sahut Nadira tersenyum.
Lumayan lama kedua mengobrol di kafe tersebut, Daniel benar-benar terhanyut dengan suasana dan keakrabannya bersama Nadira, hingga tak terasa waktu adzan magrib tiba keduanya masih berada di kafe.
"Daniel." Nadira ingin beranjak melaksanakan kewajibannya sejenak. Tapi ia bingung harus mulai dari mana mengakhiri obrolannya dengan Daniel.
"Iya, saya antar kamu ya. Kayaknya di seberang sana ada masjid," sahut Daniel yang paham akan maksud Nadira.
"Tidak usah Daniel, aku..."
"Please Nad, biarkan saya nganter kamu."
Nadira tak punya pilihan lain selain memberi ijin pada lelaki itu untuk ikut serta mengantarkannya ke masjid terdekat dari kafe untuk salat magrib.
Sampai di depan halaman masjid Daniel tidak turut serta turun, ia menunggu di dalam mobil. Mengamati sekitaran yang sudah nampak ramai oleh para jamaah yang hendak melaksanakan kewajiban. Mata Daniel pun tak luput memonitor sosok Nadira dari jarak jauh. Dilihatnya gadis yang baru saja mengambil wudhu itu masuk ke dalam masjid.
Tersungging senyum di wajah tampannya. Bagaimana bisa dia sekarang berada di tempat ini hanya karena seorang gadis. Ini adalah pertama kalinya bagi Daniel menginjakkan kaki ke sebuah masjid, walau hanya di pelataran, entah apa yang ia rasakan saat ini. Yang pasti ada getaran yang sulit untuk diartikan dari dalam hati.
"Ingat pesan omah, Roland. Carilah pendamping hidup yang sejalan dengan kita, dan juga kalau bisa harus yang taat ibadatnya."
Gumaman sang omah kembali berkecamuk di benak Daniel. Saat seperti ini tiba-tiba pesan omah Anita kemarin sore kembali melintas dalam angan Daniel. Mengusiknya.
Hatinya kacau seketika. Tak sadar hatinya tengah terpaut pada gadis berwajah teduh bernama Nadira, tapi Daniel juga sadar akan perbedaan nyata yang membentang tinggi antara mereka.
Hidup bersama perempuan yang ia yakini adalah cintanya adalah keinginan jiwanya. Tapi pernikahan bukan hanya mempersatukan dua hati yang mencinta bukan? Pernikahan adalah penyatuan dua jiwa dalam suka duka. Mempersatukan keindahan dan kesuraman menjadi sebuah coretan kisah baru dalam kehidupan.
Mempersatukan dua keluarga..
Apa mungkin nanti Daniel bisa menjalani itu semua jika harus menikah dengan perempuan yang tidak ia cintai sama sekali.
>>
Zahra duduk terpekur usai menunaikan magribnya petang ini. Cukup lama gadis bermata indah itu melafazkan zikir dan merapal doa. Meminta solusi paling baik pada Sang Pemberi ujian hidup.
Sudah beberapa hari ini memikirkan serta memantabkan hati untuk mengambil sebuah keputusan menyangkut masa depannya nanti.
Pilihannya sudah bulat dan pasti. Zahra sudah mempertimbangkannya selama berhari-hari, dan nanti ba'da isya saat semua keluarganya berkumpul Zahra akan menyampaikan keputusan finalnya untuk meneruskan dan menerima pinangan kedua orangtua Zidan atau menolaknya tapi dengan alasan yang tepat.
Zahra tidak ingin salah dalam mengambil keputusan. Apalagi jika menyangkut kehidupannya kelak. Tentang jodoh, Zahra yakin jika Allah pasti sudah menyiapkan seseorang yang tepat untuknya, tapi dia bukanlah Zidan. Zahra meyakini itu, tidak ada rasa lain selain rasa berkasih sayang layaknya sebuah saudara seperti ia menyayangi Ezar sang kakak kembar.
Zahra kagum dengan kecerdasan Zidan, ia mungkin itu hanya rasa kagum yang singgah sejenak dihatinya. Zahra mengagumi sosok Zidan yang tak hanya rupawan tapi juga taat dalam hal ibadahnya. Dan kini keyakinan itu semakin bertambah kuat kalau rasa itu hanya sebatas kagum, bukan yang lain.
Setiap perempuan pasti menginginkan jodoh yang terbaik sesuai dengan kriteria dan harapan. Mendapatkan jodoh idaman merupakan bagian dari sebuah impian dan rencana masa depan. Siapa yang tidak ingin membangun rumah tangga dengan seseorang yang kelak menjadi pasangan hidup dari awal menjalani kehidupan baru dan akan terus berlanjut sampai akhir hayat.
Namun sebagaimana telah Zahra yakini, bahwa rejeki dan jodoh itu hanya Allah Yang Maha Tahu. Zahra hanya perlu untuk selalu berprasangka baik dalam menerima segala ketetapan-Nya.
Kalaupun ia dan Zidan tidak berjodoh sebagai pasangan, tapi Allah yang Maha Baik masih menjodohkan mereka sebagi sahabat dan saudara.
Zahra yakin jauh disana Allah telah menyiapkan lelaki yang jauh lebih tepat untuknya.
#######