7

944 Kata
Matahari tak pernah benar-benar pergi dari hidupmu Dia hanya istirahat sejenak Esok juga pasti kembali ...Rainata... ☂☂☂☂☂ Ponsel itu bergetar beberapa kali, tetapi pemiliknya masih enggan menjawab panggilan itu. Ia masih memusatkan konsentrasinya pada laporan yang baru diterimanya sehabis sholat dzuhur tadi.  “Maaf pak, sepertinya ada panggilan di ponsel bapak,” ujar bawahannya mengingatkan.  “Biarkan saja,” jawabnya masih dengan mata tertuju pada laporan yang dipegangnya itu.  “Mungkin saja penting pak, soalnya sudah dari tadi,”  “Fokus saja pada laporanmu ini!” ujarnya sedikit keras.  “Bagaimana bisa kamu mengurusi soal ponsel saya yang terus bergetar sementara laporanmu seberantakan ini. Kamu bisa bayangkan bagaimana repotnya kita nanti ketika membagikan duit di awal bulan? Sedangkan perhitungan sudah benar saja ketika ditambahi masuknya dana lauk-pauk kamu sudah kebingungan, apalagi kalau seberantakan ini,” tambahnya.  “Ma.. maaf pak..”  “Sudah, kembali saja ketempatmu. Perbaiki lagi hitunganmu. Kalau kamu nggak kuat ada dibagian ini, minta pindah bagian saja.”  Sang bawahan pun kembali dengan tangan mengurut d**a.  “Hoy Fan, kau ini kenapa sih?” tanya teman satu ruangannya.  “Udah biasa kan kalau ada selip sedikit. Duit gaji yang mau kita bagikan punya puluhan orang, wajar kalau dia khilaf,” tambahnya lagi.  “Ah, sudah kerja setengah tahun tapi masih ada selipnya itu bukan khilaf lagi namanya, tapi kebiasaan.”  “Menurutku nggak juga lah Fan, aku aja yang udah tiga tahun ngerjain hitungan bon kadang masih suka selip, apalagi dia yang anak baru. Kau saja yang agak berlebihan.”  “Entah lah Bay…”  “Kenapa? Istrimu marah-marah dirumah?”  “Kalau dia bisa marah-marah aku malah lebih senang…”  “Maksudmu?”  “Nggak apa…” kilahnya.  “Kau ini ya, kalau ku hitung mungkin ada tiga bulanan kau berubah jadi sangar. Sejak kau ambil cuti terakhir nih sepertinya. Memangnya kau batal umroh? Bukannya harusnya bulan ini ya?”  Arfan menggelen, “Ku batalkan…”  “Kenapa?”  Kepala Arfan terdongak, menatap langit-langit ruang kantor yang berwarna biru muda itu, “Karena punya bawahan seperti si Pandu itu. Mana tenang aku ninggalin kantor kalau tau hasil kerjanya seperti ini. Apa aku minta pengganti saja ya?”  “Hush, gila kau ini. Jangan menutup pintu rezeki seseorang hanya karena kesalahannya yang sedikit itu lah.”  “Ah kau ini terlalu berisik, Bay. Urus saja kwitansi-kwitansi hutang itu. Nih aku tambahin, biaya fotokopi bulan kemarin,” ujarnya sambil menyerahkan beberapa lembar kertas bukti p********n fotokopi.  “Kenapa baru sekarang kau kasih, janggut??” pekik Bayu dengan meneriakkan julukan Arfan di kantor itu.  “Kau tanya saja si Pandu itu, dia baru kasih tadi barengan laporannya. Hayo, kalau gini kau masih mau nyalahin aku?” ledek Arfan sambil mengelus beberapa helai janggut yang tumbuh di dagu runcingnya.  “Ya Allah, ampunkanlah dosanyaaaa…” teriak Bayu frustrasi yang disambut tawa geli Arfan. Arfan melirik ponselnya yang sedari tadi bergetar. Lima panggilan tak terjawab dari Riski dan w******p yang juga darinya.  ‘Duh, pak presdir yang so busy dan susah angkat telp. Aku cuma mau bilang istrimu tercinta udah pulang dari sini, tapi aku nggak pasti dia pergi ke mana lagi. Sana kau telpon, mana tau dia pulang ke rumah kalian.’ Tangan Arfan langsung memencet tombol dial di ponselnya, hanya butuh waktu beberapa detik untuk telpon itu tersambung.  “Kau kemana aja sih Fan? Susah banget ngubunginya,” gerutu Riski di seberang setelah menjawab salam dari Arfan.  “Afwan, tadi bawahanku lagi nyerahin laporan. Jam berapa dia pulang dari sana?”  “Jam berapa ya, aku juga lupa. Kalau aku nggak salah sejam yang lalu lah, setengah tigaan gitu. Kau belum pulang?”  “Aku pulang jam lima Ki. Masih beberapa jam lagi. Dia nggak bilang dia dari mana?”  “Aku nggak tanya juga sih selama ini dia dimana. Tapi tadi dia ada ngomongin soal Ratih gitu, sepertinya dia dari sana.”  “Ratih? Berarti dia dari rumah pakde Ilham?”  “Entahlah, aku kurang tahu. Tapi besok katanya dia kesini lagi, jadi kalau ku simpulkan sih dia nggak bakal balik kesana lagi. Kan jauh.” “Menurutmu dia kemana sekarang?”  “Aku sih ada feeling dia balik ke rumah kalian, tapi ya nggak tahu juga ya, soalnya istrimu itu kan wanita garis keras.”  “Maksudmu?”  “Keras kepala…” ledek Riski.  “Kurang ajar kau. Ya sudah lah, aku beres-beres dulu, mau cek rumah. Kalaupun dia balik pasti ngak bisa masuk, dia nggak bawa kunci.”  “Ya udah, buruan kau susul, mana tau ketemu, langsung kau ikat saja kakinya di tiang tempat tidur, biar nggak lepas lagi.”  “Sontoloyo! Kau kira dia kambing pakai acara diikat,” rutuk Arfan yang disambut tawa dari Riski disebrang telepon.  “Ku tutup dulu ya, makasih banyak loh Ki. Yuk, assalamu’alaikum…”  “Wa’alaikumussalam…”  Arfan meletakkan ponselnya. Menggeser kursor mouse komputernya dan mematikan benda elektronik inventaris kantor itu.  “Aku pulang duluan ya Bay, ada urusan mendadak nih,” pamitnya pada Bayu.  “Istrimu hilang, Fan?”  “Kau kira dia kunci motormu pakai acara menghilang?”  “Lalu kenapa tadi kau bilang balik?”  “Dia lagi jalan-jalan. Refreshing, biar nggak cepat tua kayak dirimu itu,” ledeknya sambil bergegas memasukkan laptop pribadinya ke dalam ransel biru hadiah ulang tahun dari sang istri tercinta tahun lalu.  “Yuk ah, aku duluan ya. Titip salam sama pak bos kalau dia cari, tapi ku rasa dia udah kabur sejak makan siang tadi ya?”  “Sepertinya sih begitu, take care yoo…”  “Insyaallah, yuk assalamu’alaikum…”  “Wa’alaikumussalam…” ☂☂☂☂☂   
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN