BAB 15 - Hari Pertama

1425 Kata
Adakah di dunia ini, seorang wanita yang baru saja mengikatkan dirinya dalam mahligai perkawinan tapi hatinya merasa sakit seperti aku saat ini? Setelah acara sungkeman yang tidak dihadiri oleh papa, aku undur diri masuk ke dalam kamar. Di sana aku menerima ucapan selamat dari penata rias temannya mama. "Nazwa, selamat ya, semoga menjadi keluarga yang samawa, Aamiin." Ucapan selamat hanya ku jawab dengan anggukkan kepala. "Sa-saya minta tolong hapus riasan, bongkar sanggul terus ganti baju?" "Oh, mau dibersihkan sekarang? Bukankah para tamu belum pada pulang?" tanya perias itu sambil terheran-heran. "Mereka keluarganya mas Daffa, gak apa-apa, kok," kataku seraya duduk di depan cermin. "Baiklah." Melihat bayanganku di depan cermin, tampak bagaimana make up di wajahku telah acak-acakkan dengan warna hitam yang nyata di bawah mataku. Dempulan di pipiku juga tampak bagai jalanan bolong-bolong yang tergenang air hujan. Cukuplah itu menjadi bukti betapa menderitanya aku saat itu, bukan menderita karena menikahi lelaki tampan yang aku sukai, tapi ketidaksetujuan keluargaku akan pernikahan ini. Kini wajahku telah bersih sempurna dari riasan, rambutku pun telah kuikat tinggi-tinggi di atas kepala dan telah mengenakan mini dress selutut berwarna pink lembut dengan motif abstrak. Penata rias pun telah selesai merapikan barang-barangnya dan bersiap undur diri saat pintu kamar diketuk dan Daffa muncul dari balik pintu. Sejenak ia melihat ke sekeliling ruang kamarku yang sempit sambil menganggukkan kepalanya kepada perias yang telah menenteng tas besar berisi peralatan kosmetik. "Eh, selamat ya, semoga samawa," kata perias seraya mengangsurkan tangan kanannya untuk bersalaman dengan Daffa. "Terima kasih," kata Daffa sambil memberi jalan untuk perias itu keluar dari kamarku. Kemudian, ia menutup pintu. Lelaki itu tampak gagah dan luar biasa tampan di mataku. Dengan kedua tangannya masuk ke dalam saku celana, ia menyunggingkan senyum indahnya sambil melangkah menghampiriku. "Istriku, Sayangku, Cantikku … boleh simpan dulu apapun yang membuatmu resah? Keluargaku mau pamit pulang, apa kamu mau mendampingiku mengantar mereka sampai depan, hem?" Luar biasa suamiku ini, siapa yang tidak akan meleleh mendengar ucapannya yang lembut tanpa terkesan menyuruh tapi memohon padaku. Sebagai istri, tentu saja aku dengan senang hati ingin mendampinginya. Aku pun mengangguk meski perasaanku masih tidak karuan, tapi ada rasa damai dan nyaman di sana. Tangan Daffa terulur kepadaku, aku pun tanpa ragu menyambutnya, menjadi pegangan saat tubuhku mengangkat dari atas kasur, lalu, ia meraih tubuhku ke dalam pelukannya. Darahku terasa mengalir deras diimbuhi jantung yang bertalu-talu. Tubuhku pun sedikit bergetar dan semburat rasa panas mengitari seluruh wajahku yang membeku. Begini rasanya berada dalam pelukan lelaki? Oh, bahkan Azriel saja belum pernah berhasil memelukku karena aku selalu menolaknya berulang kali. Gerakan lembut Daffa saat melepaskan pelukannya, membuatku mendongakkan kepala untuk melihat wajahnya. Tatapan mata kami saling bertaut, dia menatapku dengan kelembutan yang sulit kujabarkan, kemudian, ia mengecup keningku cukup lama, hingga membuat kedua mataku terpejam. "Ayo, ke luar sekarang," bisik Daffa, lagi-lagi dengan nada lembutnya. Aku mengangguk dengan yakin bahwa wajahku merona karena rasa malu yang luar biasa. Daffa menggandengku yang menundukkan wajah, membawaku ke luar dari kamar. Ayah dan ibu mertua menyalamiku, begitu pun dengan saudara-saudara lainnya yang sekaligus kembali mengucapkan selamat padaku. Ditemani Daffa dan mamaku, aku mengantar mereka sampai halaman depan sambil melambaikan tangan dalam senyumku yang rapuh. "Istirahat sana, Wa. Nanti mama bawain kasur lipat ya. Nak Daffa mau nginap sini kan? Ranjangnya gak muat kalau untuk berdua," kata mama kepada kami. Aku tersipu malu, bagiku, tidak biasa tidur ditemani atau dengan orang lain, diam-diam, aku bersyukur dalam hati kalau ranjangku adalah ranjang yang hanya cukup untuk tidur satu orang. Biarlah Daffa yang tidur di kasur lipat mama meskipun perasaanku tidak enak hati. Siapa yang tega suami sendiri tidur di kasur lipat? Daffa kembali menggandengku, membawaku masuk ke dalam kamar. "Kalau kamu lelah, tidur saja, baju tidurmu ada di mana? Biar kuambilkan," ujar Daffa setelah aku duduk kembali di pinggiran ranjang. "Gak apa-apa, aku bisa sendiri. Kamu bantu mama aja bawa kasur lipatnya ke sini," ujarku masih dengan malu-malu. Daffa mengangguk lalu segera ke luar dari kamar. Aku gunakan kepergian Daffa untuk mengambil baju tidur bermodel piyama dengan celana panjang dan tertegun saat sadar kalau kamar ini tidak menggunakan AC tapi menggunakan baling-baling di plafon. "Apakah dia akan kepanasan? Duh, bagaimana ini?" gumamku dengan panik. Aku merebahkan diriku cepat-cepat di atas kasur sambil menghadap tembok dan berpura-pura sudah tidur, karena tidak mau berhadapan dengan Daffa di saat aku merasa tidak enak hati padanya. Aku mendengar Daffa dan mama masuk ke dalam kamar. "Dia udah tidur?" tanya mama dengan nada rendah. "Kayaknya Ma, soalnya tadi kelelahan," sahut Daffa dalam nada yang sopan. "Ya, sudah … gelar di sebelah sini aja, besok kan bisa geser meja belajar biar bisa berdampingan tidurnya. Maaf ya, kamarnya kecil," kata mama. "Tidak apa-apa, Ma. Saya mau mandi dulu," jawab Daffa, kelihatannya mereka sudah selesai menempatkan kasur di ruang kosong di arah kakiku. "Iya, Nak Daffa, selamat istirahat," ujar mama. Aku mendengar langkahnya menuju pintu lalu ke luar. Setelah itu aku tidak ingat apa-apa lagi sampai aku terbangun keesokan harinya. Aku butuh waktu beberapa menit untuk benar-benar sadar sambil melirik jam dinding. "Jam tujuh?!" seruku bersamaan dengan kesadaran kalau tadi malam Daffa tidur di kamar sempit ini. Aku bergegas turun dari atas kasur lalu ke luar dari kamar saat melihat kasur lipat tidak ada Daffa di sana. Lumayan panik karena tidak tahu Daffa ke mana dan melakukan apa sepagi ini, karena yang aku tahu, dia tidak akan masuk kantor selama dua hari setelah pernikahan kami. Ternyata, Daffa sedang membuat mamaku tertawa-tawa di dapur. Ada sedikit perasaan cemburu dalam hatiku, melihat bagaimana Daffa yang telah menjadi suamiku, dengan gesitnya membantu mama. Aku terpaku di ambang pintu. Adalah Daffa yang melihatku lebih dulu. "Hai, Cantik, kamu sudah bangun?" tanyanya seraya meletakkan piring yang telah terisi makanan ke atas meja lalu menghampiriku. Aku mendengus akibat dari rasa cemburuku, lalu segera masuk ke dalam kamar mandi sambil merutuk dalam hati, 'Bukannya nungguin istrinya bangun di dalam kamar malah ketawa ketiwi sama mama, huh!' Setelah mandi dan berganti baju, aku menghampiri mama dan Daffa sambil cemberut. Ini adalah sarapan pertama aku bersama suami, mama dan papa. Papa muncul dan langsung duduk di kursi di mana ia biasa duduk, tanpa bicara apapun bahkan tanpa melihat ke arahku dan Daffa. Situasi menjadi sangat canggung. "Pagi, Pah …," sapaku dengan jelas dan lantang, tapi papa diam saja, mengabaikan sapaanku seolah-olah tidak mendengar suaraku. "Ma, siapin bekal saja, papa mau makan di jalan. Takut telat masuk kantor," kata papa kepada mama. Aku saling tengok dengan Daffa lalu menundukkan wajahku. Ingin rasanya berlari ke kamarku, tapi tidak mungkin aku bersikap kekanak-kanakkan seperti itu di depan suamiku. Papa berdiri dari duduknya, lalu beranjak tanpa melirik pada kami, jangankan berkata-kata. Aku hanya bisa menghela napasku dalam-dalam. "Cantik, ayo di makan sarapannya, keburu dingin kasihan perut kamu," bisik Daffa di telingaku. Aku mengangguk. "Kamu juga, Mas," jawabku lirih. "Kalian mau ke mana hari ini?" tanya mama kepada kami sambil mengambil makanan yang dipindahkan pada kotak bekal plastik. "Gak ke mana-mana," sahutku sambil menelan makanan yang terasa sulit kutelan. "Tergantung Wawa saja, Ma. Barangkali ingin ke luar nanti," sahut Daffa sambil tersenyum pada mama. "Oh, gitu … ya sudah, Wawa pasti bosen kalau cuma di kamar terus, mana sempit dan panas," imbuh mama seraya melangkah ke arah depan membawa bekal untuk papa. Selera makanku langsung hilang, perasaan tidak enak hati pada Daffa semakin dalam. Masalah kamar yang panas dan sempit juga Daffa harus tidur di bawah pakai kasur lipat yang tipis saja sudah membuatku kalang kabut, apalagi dengan sikap papa yang mendiamkan kami. Kalau cuma aku yang didiamkan sama papa, sudah biasa, tapi Daffa? Sungguh membuatku perasaanku semakin kalut. "Ya, bawa aku ke Puncak, aku mau ngadem atau nginap sana juga boleh," kataku berniat memberikan Daffa tempat tidur yang nyaman. Bukankah hotel dirancang agar para tamunya bisa tidur nyaman? "Boleh banget, Sayang, abis ini kita beresin baju ya, tapi kamu makannya habisin, sedikit ini kok," bujuk Daffa yang mau tidak mau membuatku tersenyum. Mama kembali ke ruang makan lalu duduk bersama kami. "Kok gak abis-abis makannya?" tegur mama pada kami. "Iya, Ma, ini mau dihabiskan," sahut Daffa seraya menyuapkan makanan ke dalam mulutnya cepat-cepat. "Aku sama Mas Daffa mau ke Puncak, Ma," kataku pada mama sekaligus meminta izin pergi. "Oh ya, pagi ini? Baguslah kalian harus sering sama-sama, biar cepat saling kenal satu sama lain," ujar mama. Kami pun segera menyelesaikan sarapan, dan pamit pada mama sebelum masuk ke kamarku untuk beres-beres baju. Baju-bajuku masuk ke dalam travel bag milik Daffa, aku hanya menenteng satu tas yang berisi perlatan mandi serta kosmetik. Aku, berencana untuk membicarakan semuanya pada Daffa, mengenai rasa tidak enak hatiku atas kondisi kamar dan sikap papa.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN