BAB 16 - Firasat

1647 Kata
Dalam perjalanan, aku berencana mengulas tipis-tipis untuk mengungkapkan apa yang aku rasakan sejak akad nikah kemarin pada Daffa. Namun, lidahku mendadak kelu, aku tidak tahu harus memulai dari mana. Sikap papa padanya, benar-benar telah membuatku putus asa. Daffa menoleh kepadaku. "Kamu baik-baik saja?" tanyanya agak khawatir. Aku ingin mengangguk sekaligus menggelengkan kepala karena merasa bingung. Hasilnya, aku tetap mematung tanpa memberikan jawaban apapun. Hari masih pagi ketika kami sampai di Puncak. Daffa membawaku ke sebuah hotel untuk memesan kamar sementara aku menunggu di dalam mobil. Tidak lama kemudian, lelaki yang kini telah menjadi suamiku muncul dari arah lobby hotel dan melangkah ke arahku. Ia membuka pintu mobil lalu masuk dan duduk kembali di sampingku. "Kita harus jalan-jalan dulu sambil nunggu waktu check in. Kamu mau ke mana dulu?" tanyanya. "Kalau hanya menunggu, kenapa gak di sana aja, kayanya tempatnya enak dan bisa melihat pemandangan," tunjukku pada sebuah cafe hotel yang terletak di lantai tiga dengan dinding kaca. "Yakin mau di sini? Kalau gitu, ayo," kata Daffa sambil mengangguk. Aku segera turun dari mobil, kemudian kami melangkah dengan tangan Daffa menggandengku menuju lobby hotel lalu menaiki lift ke lantai tiga. Ruang cafe resto itu cukup besar dengan tiga dinding kaca yang menyuguhkan pemandangan alam bagian belakang dan jalan raya bagian depan, sementara bagian samping kanan adalah pemandangan pada rumah dan villa. "Sana aja," kataku seraya menunjuk pada dinding kaca bagian belakang yang menampilkan pemandangan hamparan kebun teh. "Ayo." Kami duduk di atas kursi sofa yang nyaman, berdampingan, begitu dekat, hanya membuat jantungku semakin berdebar dan salah tingkah. Aura ketampanan seorang Daffa benar-benar telah membuaiku dalam perasaan yang tidak kumengerti, dia bagaikan magnet yang begitu kuat mengurung diriku dalam pesonanya. Aku khawatir dengan diriku sendiri, mungkin akan membutuhkan seorang dokter nantinya akibat dari terus menerus merasa gugup serta malu-malu. Hati selalu berdesir cepat detak jantungku tidak beraturan. "Sayang, eh, kamu gak dengar aku dari tadi?" tangan Daffa meremas lembut bahuku, menyadarkanku dari lamunan terdalamku. "Eh, ma-maaf, apa ya tadi?" tanyaku tergagap saat kesadaran menyergapku. "Hm, kamu ngelamunin apa sih? Aku tanya kamu mau pesan apa?" tanya Daffa mengulang pertanyaan yang tidak aku dengar tadi. "Oh, itu … terserah kamu, Mas. Samain aja," kataku yang merasa mendadak perkara makan dan minum tidak penting buatku. Aku kewalahan menenangkan diri dan menetralkan degupan jantung yang jujur saja tidak aku sukai. "Well, sudah aku pesan kok. Sini …," ujar Daffa seraya meraih kedua tanganku agar tubuhku menghadap pada dirinya. Kami saling berhadapan dalam jarak yang sangat dekat, bahkan aku bisa menghirup hembusan napasnya yang membuat dadaku terasa sesak seketika. "Kamu bikin aku mabuk, jangan terlalu dekat, bisa kan?" pintaku dalam tatapan mata memelas padanya. "Justru kamu harus membiasakan diri, suami istri tidak boleh saling berjauhan dan aku sendiri tidak suka berjauhan dengan kamu. Kita sekarang sudah tidak berjarak, kita sudah halal, Sayang," ucap Daffa seraya meraih bahuku dan memelukku. "Eh, eh, lepas, Mas. Aku malu tahu, ini kan tempat umum," kataku seraya mendorong halus tubuhnya yang menempel padaku. "Gak ada orang kok," bantah Daffa seenaknya. "Pelayan sini banyak dan Mas gak anggap mereka orang?" Aku berhasil melepaskan diri lalu merubah posisi dudukku jadi menghadap meja. "Maaf, kalau itu telah membuatmu merasa malu, tapi aku akan tetap menempel padamu," ucap Daffa, kali ini sambil melingkarkan tangannya pada bahuku. Jujur aku suka dengan sikap hangat dan mesranya padaku, rasa nyaman dan tenang telah diciptakannya untukku. Diam-diam aku tersenyum sambil menundukkan wajahku dalam-dalam. Kami menghabiskan waktu bersama sambil ngobrol hal-hal ringan. Aku lebih banyak bercerita pengalamanku selama sekolah bersama teman-temanku yang konyol. Daffa menjadi pendengar yang baik sambil sesekali menceritakan tentang keluarganya, ayah dan ibunya serta adik perempuannya. Aku bisa mencium tujuan Daffa dengan sangat jelas saat menceritakan secara detail bagaimana keluarganya agar aku lebih mengenal mereka sebelum bertemu lagi. Muncul pertanyaan dalam benakku, apakah aku akan diboyongnya ke rumah keluarganya? Jika iya, ada perasaan takut menyelinap di hatiku, aku akan berdampingan setiap hari dengan orang-orang asing, apakah aku akan merasa nyaman? Terlebih dengan cerita-cerita yang sering kudengar, terutama tentang ibu mertua yang akan terus merasa tersaingi oleh menantu perempuannya. Aku merinding memikirkan hal itu. "Hei, melamun lagi kan?" Daffa mencolek pinggangku yang langsung merasa geli. "Iih, apaan sih?" protesku sambil menahan tawa dengan wajah yang pasti memerah karena kurasakan panas menjalari kulit wajahku. "Apa kamu sudah siap mengikuti suamimu ini ke mana pun?" tanya Daffa dengan mimik wajah serius. "Maksudnya, kalau lagi tugas luar kota atau luar negeri, aku ikut? Iih, mau dong …," jawabku dengan manja sambil melabuhkan kepalaku pada bahunya. Terasa indah dan melenakan. "He he, boleh dong kamu ikut, tapi saat kerja kamu aku tinggal di hotel, apa gak bakal bosan?" tanya Daffa. Aku menggeleng cepat-cepat sambil menarik kepalaku dari bahunya. "Aku justru lebih baik sendiri daripada bersama orang asing, lagian kan aku bisa jalan-jalan kalau suntuk," sahutku cepat. "Tergantung daerah yang dituju, kalau kotanya kurang aman, baiknya kamu tunggu di kamar saja," kata Daffa yang terlihat mulai merasa khawatir padaku. "Baiklah, abis ini kita ke mana lagi?" tanyaku. Daffa melirik jam tangannya, lalu menjawab, "Sekarang ke hotel dulu, udah waktunya check in sambil taro barang kita, setelah itu terserah kamu mau ke mana, aku siap mengantar istriku yang cantik ini," kata Daffa sambil menjawil daguku. Lagi-lagi aku tersipu malu lalu menundukkan wajahku. "Kalau gitu, ayo jalan," sahutku. Aku menunggu di lobby saat Daffa menenteng travel bag berukuran besar yang diambilnya dari bagasi mobil, kemudian kami melangkah bersama menaiki lift dan tiba di lantai tiga, menuju kamar kami. Kamar itu sangat luas dengan ruang makan, dapur bersih, ruang TV dan dua kamar tidur. "Kenapa sewa kamar sebesar ini? Apakah ini suite room?" tanyaku sambil melangkah masuk dan berkeliling tiap ruang. Tentu saja aku merasa senang sekali dan mengkhayal kalau rumahku nanti bersama Daffa, cukup seperti ini saja. "Aku mau mandi," ujar Daffa seraya masuk ke kamar utama yang menyajikan pemandangan sangat indah. "Aku juga," kataku tanpa sadar. "Hem, mau mandi bareng kah?" tanya Daffa dalam tatapan genit dan jahil. "Iih enggak kok! Gak mau mandi bareng! Malu ih," elakku seraya berlari ke luar dari kamar. Setelah Daffa masuk ke dalam kamar mandi aku pun segera mengambil peralatan mandiku dan mandi di kamar mandi lain sebelah kamar kosong. Rasanya, siang itu aku ingin sekali menghabiskan waktu hanya di dalam kamar saja, aku merasa betah berada di tempat yang nyaman dan menyenangkan seperti itu. Daffa telah duduk di depan TV saat aku ke luar dari kamar mandi. Aku yang telah berganti pakaian menghampirinya. "Sini, Sayang …," kata Daffa seraya merentangkan kedua tangannya sambil tetap duduk di atas sofa. Aku menghampirinya sambil tersenyum kecil malu-malu. Tiba-tiba saja, Daffa menarik tanganku dan dengan lembut, aku jatuh terduduk di atas pangkuannya. Aku nyaris pingsan karena terkejut serta serangan jantung yang tidak karuan. "Sayang …," panggil Daffa seraya mengangkat daguku yang menunduk dengan dua jarinya. "Kamu begitu cantik dan polos, aku sangat menyukainya," ujar Daffa dalam nada suara yang bergetar. Seketika seluruh tubuhku bergetar melihat wajahnya dalam jarak yang sangat dekat dan tatapan mata Daffa terasa asing saat itu. "M …. Mas?" tegurku ragu-ragu. "Kenapa, hem?" Tangan Daffa merapikan rambutku yang tergerai ke balik telinga. "E-enggak kok, Mas," jawabku sambil menikmati deburan jantung dan berdesirnya darahku dengan cepat terasa bolak balik dari kaki ke kepala. Entah bagaimana kejadian selanjutnya, tahu-tahu bibir Daffa telah melumat bibirku. Aku sangat terkejut karena belum pernah melakukan hal intim seperti itu sebelumnya. Tubuhku tegang dan kaku, pikiranku mendadak buntu dan aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan. "Lemaskan tubuhmu, Sayang … kamu harus rileks menerima kemesraanku padamu," ujar Daffa dalam suara seperti desahan, terdengar seksi dan melenakan di telingaku. Dibopongnya aku dengan satu gerakan, berpindah tempat dari sofa di ruang TV menuju kamar, ia merebahkanku dengan hati-hati lalu melumat bibirku kembali dengan satu tangannya menjelajahi bagian depan tubuhku dengan gerakan lembut dan memabukkan. Di sinilah aku, antara perasaan malu dan menikmati setiap sentuhan tangan serta kecupan bibir Daffa yang merayapi setiap inci tubuhku dari balik baju yang kukenakan, aku pun sangat terlena karenanya. Sampai aku benar-benar tidak sadar kalau kami berdua telah lolos tanpa benang sehelai pun yang membungkus tubuh kami. Daffa menuntaskan kewajiban batinnya padaku meski terasa sakit dan nyeri hingga aku meneteskan air mata. Namun di atas semuanya aku begitu ikhlas dan rela, menyerahkan mahkotaku yang berharga pada suamiku. Ketika semua usai, satu-satunya yang tersisa adalah bercak merah di atas sprei, aku menatapnya lekat-lekat sebagai sesuatu yang tak akan bisa kembali lagi pada ragaku, aku telah tidak perawan lagi, bukan di malam pertama tapi di siang pertama dalam babak baru perkawinanku. Kami beristirahat sambil merebahkan diri berdampingan, satu tangan Daffa melingkari bahuku dan wajahku melekat erat pada kulit dadanya. Dunia terasa begitu indah bagiku apalagi ketika aku merasakan semburat kebahagiaan pada wajah suamiku. Kami tertidur dengan tenang selama beberapa jam kemudian, saat bangun pun, kami terbangun bersamaan. "Sayang, aku akan menggendongmu ke kamar mandi, kita berendam berdua ya di bathtub," kata Daffa dengan lirih. Aku mengangguk dan tiba-tiba terpikir bagaimana kelanjutan hidup kami? Akan tinggal di mana setelah ini? Tidak mungkin aku meminta Daffa tinggal di rumah orang tuaku, tidur di lantai beralas kasur lipat tipis dengan papaku yang mendiamkan kami seolah-olah kami tidak berada di sana. "Mas, kita akan tinggal di mana?" Akhirnya, tercetus juga pertanyaanku padanya. "Sementara di rumah orang tuaku dulu ya, di sana kamarku cukup besar dan memiliki dapur kecil, kamu boleh tinggal kalau enggan ke luar bertemu mereka," ucap Daffa seolah-olah dia bisa membaca pikiranku. Aku tercenung sebentar. Kalau sudah begini, tidak ada alasan bagiku untuk menentang dan membantah Daffa. Aku harus menuruti dan menerima apa yang diputuskan oleh Daffa. "Kita di sini berapa lama?" tanyaku kemudian. "Lusa harus pulang ke Jakarta karena besoknya aku mulai kerja," sahut Daffa. "Lalu, apa kita jadi bulan madu ke luar negeri?" desakku. "Jadi, dong … kita akan sama-sama cari waktunya yah," jawab Daffa seraya mengecup keningku. Aku tidak pernah tahu apa yang akan terjadi padaku di masa yang akan datang, tapi aku merasakan sebuah firasat yang tidak enak.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN