BAB 9 – Sebuah Upaya

1681 Kata
Di sinilah aku, di dalam mobil yang sejuk dan wangi serta bersih, rasanya ingin kembali tidur tanpa khawatir leher berkeringat sebagaimana tidur di kamarku sendiri yang hanya menggunakan baling-baling yang tergantung di langit-langit kamar. "Hoam … aku jadi ngantuk, ah, enak sekali ada AC, dingin," kataku seraya mengangkat kaki dan menaruh kedua kakiku di atas dashboard. Sikapku ini sangatlah kurang ajar dan tidak sopan, tapi aku harus melakukannya. Lelaki di sebelahku hanya menoleh dan tersenyum. "Nikmatilah, lakukan apa yang kamu ingin lakukan, anggap saja hari ini adalah hari kebebasanmu," ujarnya dengan nada yang lembut. Aku membuang muka ke jendela, sebenarnya ada perasaan malu tapi aku terlanjur melakukannya. 'Huh, sekarang masih pura-pura gak apa-apa, lihat saja nanti apa yang akan aku lakukan, moga-moga langsung kabur!' pikirku. "Apapun katamu, aku gak peduli," sahutku padanya sambil memejamkan mata. Kedua kakiku bertengger dengan manis di atas dashboard dan menempel pada kaca hingga meninggalkan bekas lemak kulit saat digeser ke kiri dan ke kanan. Musik instrumental mengalun, memenuhi rongga ruang dalam mobil, serta merta aku pun protes padanya, "Udah ngantuk tambah ngantuk dong. Ganti ah, pake lagu kesukaanku." "Oke, lagu kesukaanmu apa? Barangkali ada di laci sana," jawabnya sambil menunjuk ke arah laci di depanku. "Hm, gak yakin. Selera om-om kan beda," sambarku seraya mengambil ponselku dari saku daster. "Ada bluetooth kan? Sambungin!" Daffa mengutak atik panel touch screen lalu berkata, "Sudah nyala, mau setel lagu apa?" "Yang bikin semangat pokoknya," kataku yang telah berada di channel youtube dan mencari kata kunci 'Musik rock keras' dan asal pilih lalu … klik! Musik pun mulai terdengar. Meskipun aku tidak suka jenis musik yang hingar bingar, tapi aku harus bergerak mengikuti musik itu, kepalaku langsung bergerak ke kiri dan ke kanan dengan cukup keras sampai rambutku terbanting-banting dan tidak lama, kepalaku mulai pusing, akhirnya aku berganti gaya dengan mengangguk-anggukkan kepalaku. Aku mengintip Daffa dengan sudut mataku, dan terkejut, ternyata lelaki itu sedang menggoyangkan kepalanya mengikuti irama musik rock keras yang sebenarnya sulit untuk bisa dinikmati. Aku pun jelas-jelas tidak suka. 'Huh, ini orang kapan protesnya sih?' batinku mulai meradang. Akhirnya aku bosan dan lelah dengan musik rock itu, aku pun segera menggantinya dengan pop barat terbaru, demi mengobati kekesalanku. Kami sampai di depan mal, aku tersenyum lebar, melihat ada banyak resto cafe yang menggiurkan dan ingin segera berada di sana, mengisi perutku yang lapar. "Kamu mau makan?" tanya Daffa sambil memarkirkan mobilnya. "Kok tahu?" Aku balik bertanya dengn ketus. "Matamu berbinar melihat resto cafe di sana. Kamu mau makan apa?" tanyanya. "Mau semuanya, sana icip, sini icip," kataku sejujurnya. "Kalau begitu ayo, kita masukin satu-satu sampai kamu kenyang," ajak Daffa sambil mengangguk. "Ah, yakin gak apa-apa?" tanyaku mulai tidak enak hati, tapi aku tepis jauh-jauh rasa tidak enak itu. Bukankah aku harus mengerjainya habis-habisan? Aku turun dari mobil, berdampingan dengan sosok lelaki yang penampilannya rapi serta perlente dan … sumpah deh, ganteng banget! Kami melangkah menuju pintu lobby utama dan aku sendiri? Sangat sukses membuat orang-orang menatap aneh pada diriku. Mereka menatap daster lusuh yang kupakai dengan tatapan aneh dan merendahkan. Namun, sudah terlanjur berada di sini, aku harus melanjutkan rencanaku, hanya saja sampai detik itu, Daffa terlihat tidak keberatan sama sekali. Dia pun tidak tampak malu melangkah berdampingan denganku. Aku mulai meragukan rencanaku melihat betapa santainya sikap Daffa dengan senyum yang terus menghiasi wajahnya. "Ah, jangan sampai jadi petaka buat diriku," gumamku tanpa sadar. "Kamu bilang apa?" tanya Daffa. "Enggak bilang apa-apa kok," sahutku sambil menunduk, melihat kakiku yang hanya beralas sandal jepit. "Ayo masuk sini dulu," kata Daffa mendorong punggungku dengan lembut, memasuki resto cafe pertama. Aku memilih tempat duduk yang dekat dengan keramaian, lalu memesan makanan yang sudah lama kuinginkan, yaitu steak sapi, sambil melihat ke sekeliling. Aku sadar kalau diriku adalah satu-satunya makhluk paling aneh dari semua pengunjung mal. Sedangkan Daffa? Dia terus memasang senyum sambil menatapku lekat-lekat. Membuatku merasa risi dan salah tingkah. Kenapa jadi aku yang gugup dan gelisah seperti ini sih? Steak pesananku akhirnya datang dan terhidang dengan manis di depanku, ada sayuran serta kentang goreng di sampingnya. Aku menelan salivaku berulang-ulang, ingin segera melahap steak yang tampak lezat itu, tapi hidangannya masih panas. "Ayo dimakan," kata Daffa. "Perlu bantuan untuk memotong dagingnya?" tanyanya dengan nada yang tulus. "Uh, gak butuh dipotong-potong, aku biasa makan pakai tangan tanpa garpu dan pisau. Seperti ini," jawabku seraya mengambil daging dengan tanganku dan mengarahkannya ke mulutku. Betapa konyol apa yang aku lakukan tapi ini adalah bagian dari rencana. Aku memakan steak langsung memotongnya dengan gigiku. Bumbu barbeque tentu saja memenuhi luar bibirku, menempel ke pipi bahkan hidungku, karena agak sulit menggigit daging langsung. Lagi-lagi Daffa tersenyum melihat tingkahku, berbanding terbalik dengan orang-orang disekelilingku yang menatapku dengan pandangan jijik, tapi aku terlanjur berakting, maka aku harus meneruskan aktingku. Daging yang sulit kugigit itu akhirnya aku letakkan di piring saji, lalu mengambil tissue untuk mengelap sekitar mulutku. "Ayo ke tempat lain," kataku pada Daffa. Lelaki itu mengangguk sambil memanggil pelayan untuk meminta nota p********n. Setelah membayar apa yang kupesan dan akhirnya tidak kumakan, kami pun beranjak berdampingan diiringi tatapan orang-orang yang tampak ingin muntah melihatku. Masuk ke resto cafe yang menyediakan makanan cepat saji, aku memesan burger dengan double daging, aku memang sangat suka daging-dagingan. Kali itu, aku makan burger dengan lahap dan mulutku penuh saat berbicara padanya, "Pesenin lagi satu." Burger kedua datang, aku yang masih melahap burger pada gigitan terakhir, langsung menyambar burger yang baru datang, tanpa rasa malu, tanpa ingat etika yang diajarkan papa dan mamaku, tujuanku adalah mempermalukan Daffa hingga dia tidak tahan. Sayangnya, lelaki itu justru bersikap santai, bahkan ketika aku bersendawa keras-keras hingga membuat orang-orang menoleh dengan terkejut padaku. Daffa hanya tersenyum. "Pelan-pelan makannya." Astaga! Lelaki ini memang sama sekali tidak terganggu dengan ulahku, padahal, aku sendiri benar-benar sedang menahan rasa malu. "Mau makan apa lagi?" tanya Daffa dengan sikap santainya. "Jeda dulu tiga puluh menit baru makan lagi," kataku sambil cemberut. "Ok, kita ke toko dulu, kamu mau beli baju?" "Maksudnya apa? Kamu malu karena aku pakai daster makanya mau beli baju?" tanyaku merasa mulai berhasil membuatnya malu di depan umum. "Kamu gak perlu ganti kok, lagi pula, baju yang dibeli kan gak boleh langsung dipakai, karena kotor, harus dilaundry dulu," jawab Daffa. Sialan memang, omongannya tidak salah, aku malah yang salah. Untuk menutup rasa maluku padanya aku mengalihkan perhatianku pada konter toko tas mewah. "Aku justru pengen tas itu untuk mama," kataku asal tunjuk. "Ayo, kita beli," kata Daffa sambil berdiri dan jalan ke kasir resto membayar dua burger dan minuman yang kupesan. Aku ikut berdiri lalu mendekat ke arah Daffa sambil menyelipkan tanganku pada lengannya yang kokoh. Bukankah dengan begitu akan terlihat jelas perbedaan penampilan kami? Daffa pasti malu dan menolakku. Ternyata apa yang aku pikirkan jauh meleset. Daffa memang melepaskan lengannya dari tanganku, sebagai gantinya, ia meraih bahuku dan menariknya hingga tubuhku menempel pada tubuhnya lalu mengajakku melangkah kaki ke luar dari resto cafe. Aku mungkin sedang sial karena apa yang aku lakukan tidak membuat Daffa bersikap menolakku sedikit pun. Ia membawaku ke toko tas bermerk yang aku asal tunjuk tadi. "Yang mana yang buat mama?" tanyanya seraya menggamit pinggangku dengan tangan satu lagi hingga tampak seperti sedang memelukku. Terlanjur berada di sana, aku menunjuk tas yang pada etalasenya tertulis 'New Arrival' tepat pada satu model yang memang disukai ibuku. "Warnanya?" tanya Daffa. "Itu saja," sahutku pendek dengan jantung yang berdebar-debar. Aku melotot pada papan harga yang tertera di sana, tas yang aku tunjuk itu harganya 23.890.000. Tubuhku gemetar karena merasa telah keterlaluan mengerjai Daffa. Aku tidak bermaksud merugikannya. Namun, Daffa terlihat biasa saja. Tanpa melepaskan rengkuhannya dari bahuku, kami berjalan ke kasir dan Daffa mengeluarkan salah satu kartu dari dalam dompetnya, membayar tas yang kutunjuk dengan alasan untuk mama. Aku menundukkan kepalaku, merasa tidak enak hati, senilai itu adalah gaji papaku selama empat bulan, aku sungguh keterlaluan. "Ayo, mau beli apa lagi?" tanya Daffa sambil membawaku ke luar dari toko dengan tatapan aneh dari orang-orang. "Pulang," kataku dengan nada kecewa. "Aku akan membawamu ke suatu tempat. Tempat favoritku untuk membunuh waktu, di sana minuman coklatnya enak banget, bahkan kamu bisa pilih mau dari coklat apa," kata Daffa. Aku hanya bisa mengangguk. Keceriaanku sirna, berganti rasa menyesal, eh, tapi menyesalnya dikit saja sih, cuma masih terbayang harga tas yang super mahal buatku, itu yang membuat aku merasa tidak enak hati. Kami ke luar mal menuju mobil dan pergi dari sana menuju tempat lain yang katanya tempat favorit Daffa. Ternyata tempat itu semacam cafe hanya saja di lokasi yang cukup terpencil tapi tampak mewah. Mobil-mobil yang parkir di halaman parkir cafe adalah mobil bagus-bagus semua. Kedatangan Daffa disambut dengan ramah oleh para pekerja di sana, tapi mereka membelalakkan matanya saat melihatku. "VIP ada yang kosong?" "Ada, Pak, tapi tinggal yang super, Pak. VIP biasa penuh." Percakapan lainnya sama sekali tidak aku dengar karena aku sibuk dengan pikiranku sendiri. Daffa tidak merasa malu atas penampilanku, tapi justru aku yang merasa malu dengan diriku sendiri. Bukanlah itu ironis? Aku digandeng menaiki tangga, kami tampak aneh dan kali ini aku sudah tidak bisa mempertahankan diri dari rasa maluku, aku terus menundukkan kepalaku sampai akhirnya masuk ke dalam ruang VIP yang luas dengan kursi sofa lingkar, ada televisi dan kulkas satu pintu, mirip dengan ruang keluarga di sebuah rumah. Daffa membawaku ke tengah-tengah sofa. "Duduk sini, aku minta mereka bawa daftar coklatnya dan ini, bunga segar untukmu," kata Daffa yang menyerahkan satu buket bunga yang sangat bagus kepadaku. "Ini, kapan belinya?" tanyaku sambil mengernyitkan dahi. "Aku sudah pesan melalui pelayan di sini," kata Daffa. "Berarti bukan kamu yang beli, tapi orang lain," ujarku seraya mendorong buket itu agar menjauh dariku. Artinya, aku menolak pemberian bunga itu. "Tak apa kalau kamu gak suka," ucap Daffa sambil menyerahkan kembali buket bunganya kepada pelayan. Daffa menatapku lekat-lekat setelah para pelayan meninggalkan ruangan. "Nazwa, hentikan kepura-puraanmu, karena itu hanya membuatku semakin cepat ingin menikahimu. Serius! Kamu malah terlihat sangat menggemaskan dan semakin menarik," ucap Daffa seraya mengelus rambutku. "Menikah cepat?!" seruku tanpa sadar, merasakan kengerian yang sangat membayangkan aku bersanding di kursi pengantin dengan om-om, meskipun sangat tampan. Aku telah gagal total, tapi bukan berarti aku akan menyerah begitu saja, aku harus menyusun rencana baru!
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN