BAB 8 – Sebuah Akal Bulus

1528 Kata
Saat mama membawakan nampan berisi teh panas untuk tamu tak diundang itu, aku telah mengayun langkah meninggalkan ruang tamu. "Buat aku aja tehnya Ma, dia udah mau pulang kok," kataku seraya mengambil nampan dari tangan mama. "Loh, Nak? Apa ini?" Mama tampak terkejut melihat ulahku. "Tante, terima kasih, saya harus pergi, tapi besok ke sini lagi, permisi, Tante," ucap Daffa seraya menyodorkan kedua tangannya kepada mama. Aku hanya mendengus seraya mengambil cangkir teh lalu meletakkan nampan di atas meja lalu masuk ke dalam kamarku yang kecil tapi super nyaman buatku. Sambil menghempaskan diri ke atas kasur, aku mengomel tidak karuan. Gila aja, om-om berani mengajakku ta'aruf, aku masih sembilan belas tahun dan boro-boro kepikiran menikah dengan seseorang, pacaran saja belum ada minat. Mungkin aku terlalu menyayangi Azriel, hingga kekecewaanku atas pengkhianatannya telah merubah penilaianku terhadap laki-laki. Bagaimana tidak? Dia tidak pernah memutuskan ikatan, bahkan masih jalan-jalan denganku seminggu sebelum dia menikah. Bukankah bagai ular bermuka dua? Ternyata dia telah menghamili anak orang, tragisnya perempuan itu adalah temanku sendiri. Adakah pengkhianatan yang lebih menyakitkan dari ini? Tapi, tunggu. Daffa yang notabene adalah pamannya Azriel, justru secara tidak langsung menawariku untuk menjadi pasangan dalam membalas dendam pada Azriel, tapi, tetap saja, kalau caranya dengan menikahiku, aku tidak sudi! Tok tok. Mama mengetuk pintu sebelum membukanya. Ia muncul dengan mimik wajah penuh pertanyaan. Mau tidak mau aku harus menjawab semuanya sebisaku, tapi, haruskah aku jujur tentang niat Daffa yang ingin menikah denganku? "Katakan pada mama, ada apa pamannya Azriel menemuimu?" tanya mama seraya duduk di pinggiran kasur. Nah, aku benar-benar tidak siap menghadapi pertanyaan mama, tapi sesuatu melintas di benakku. "Oh, dia minta maaf mewakili keluarganya," ujarku mengarang bebas. "Heh, sepenting itu kah sampai jauh-jauh datang hanya untuk meminta maaf sama kamu?" selidik mama seraya menatapku lekat-lekat. "Ih, Mama, terus mau ngapain lagi dong? Kan Mama tahu kalau aku mengacau di pesta perkawinan mereka," sahutku memperkuat kebohongan dengan alasan yang masuk akal. "Setahu mama, mereka justru ngamuk dan marah sama kamu, seharusnya kan kamu yang minta maaf, kok jadi kebalik?" Mamaku yang pintar memang sangat lihai kalau untuk memojokkan putri semata wayangnya ini. Aku menghela napas sambil memasang wajah memelas. Biasanya raut wajahku yang seperti ini, selalu sukses meluluhkan hati mama. "Jujur saja, ada apa?" Huft, ternyata upayaku tidak mempan, mama tetap mengejar demi memuaskan rasa kepo-nya. Tidak punya pilihan lain, selain menceritakan semuanya dari awal, dari sejak aku membuat kekacauan di depan pengantin dan Daffa yang membawaku melarikan diri dari kejaran orang-orang saat itu sampai tujuannya datang ke sini. "Ta'aruf? Sebenarnya itu hal yang bagus ketimbang bergaul bebas, buktinya Azriel saja terpaksa menikah muda akibat dari kebebasannya. Mama gak mau anak mama kaya gitu, hii amit-amit!" tegas mama seraya mengetuk pinggiran ranjang kayu. "Ya, ampun, Ma? Aku hidup di jaman modern kali, masa iya percaya menikah dengan orang yang baru dikenal? Lagi pula dia itu om-om, Ma. Masa mama mau anaknya yang cantik dan imut ini dinikahi om-om, udah pernah menikah pula, apa mama gak takut?" Aku meradang pada mamaku, bagaimana mungkin mama bisa menerima hal yang nantinya akan menyulitkanku? "Mama juga gak bilang setuju, cuma bilang kalau itu adalah hal yang bagus, selebihnya ya tetap harus saling mengenal dulu. Terus kenapa besok dia mau datang lagi?" tanya mama tampak heran. "Ya, gak tahu. Aku cuma pengen dia pergi saja makanya bilang besok aja datang lagi." Aku mengangkat kedua bahuku, merasa tidak bersalah. "Kalau besok datang lagi?" desak mama. "Mama aja yang terima dan ngobrol sama dia," sahutku tak acuh. "Lah, kok mama? Aneh-aneh saja kamu ini." "Menurut Mama gimana?" tanyaku ingin segera mengakhiri pembicaraan kami. "Menurut mama, kamu kenali dia dulu, baru kasih jawaban. Bagaimanapun, kita tidak boleh menolak niat baik orang secara sembarangan," ujar mama. "Apa kamu sudah ingin menikah?" Pertanyaan mama sungguh iseng sekali. "Gak mau, aku kan pengen kuliah, Ma. Masa iya aku nikah muda sementara teman-temanku kuliah semua," jawabku merasa kesal. "Walaupun begitu, penolakan kamu harus ada proses lebih dulu. Besok kalau dia datang, ajak bicaralah baik-baik, katakan kalau kamu tidak ingin menikah, ungkapkan alasan yang kuat dan masuk akal," ujar mama seraya berdiri dan melangkah ke luar kamar. Aku tercenung, aku paham maksud mama agar aku tidak gegabah menyakiti orang lain yang berniat baik padaku, tapi bagiku, bagaimana besok saja, semua hal bisa berubah tergantung situasinya saat itu. Iseng-iseng aku membuka sosial media setelah mama pergi, dari ponselku. Muncul poto-poto Azriel bersama istrinya, hampir memenuhi ruang berandaku. "Aih, apaan ini? Kok dia semua?" kesalku seraya ke luar dari sana lalu membuka media sosial lain. Hasilnya sama saja, aku melihat sesuatu yang seharusnya tidak kulihat. Berandaku nyaris penuh oleh postingan Azriel. Dengan kesal, aku lempar ponselku ke atas kasur, tapi sejurus kemudian aku ambil lagi. Aku harus memutuskan memblokir semua hal yang terkait dengan Azriel meski hati kecilku merasa berat. Kalau aku blokir dia, bagaimana ketika aku merindukannya? Atau, bagaimana jika semua postingannya hanya makin menambah luka hatiku? Perlahan aku menguatkan hatiku. Cara yang sehat buatku adalah mulai menghilangkan jejak-jejaknya di hidupku. Aku membuka setiap akun media sosial dan memblokir Azriel sekaligus istrinya. "Kehilangan dua orang dari hidupku, tidak berpengaruh apa-apa kok," ucapku menghibur diri. Meski rasanya pedih. Aku tidak lagi ke luar kamar dari sejak pagi, sampai pagi keesokan harinya. Aku sedang menikmati kehancuran hatiku di kamar ini, kamar yang menjadi saksi aku tumbuh dan berkembang. Ketika mama mengetuk pintu dan masuk kamar, aku baru saja bangun dari tidurku yang cuma beberapa jam. "Kamu menangis lagi? Ya, ampun matanya sampai bengkak kaya gini sih," tegur mama sambil menggelengkan kepalanya. Aku hanya diam saja, tidak berminat mengangkat tubuhku dari atas kasur, sebaliknya, aku hanya ingin tidur lagi karena masih mengantuk. "Kamu harus bangun, mandi terus sarapan. Tamu yang kemarin sudah datang lagi," kata mama dengan wajah khawatir. "Hah? Daffa maksud Mama?" "Jangan sebut namanya langsung, gak sopan. Panggil mas atau kakak, atau abang, apapun lah," tegur mama tidak suka. "Ya, ya ya, tapi kan ini masih pagi, Ma," protesku dengan malas. "Jam delapan, kamu pikir masih pagi untuk bangun? Ayo, mandi!" titah mama dengan nada yang tidak ingin kubantah. Bergerak dengan malas, akhirnya aku turun dari atas ranjang dan melangkah perlahan ke kamar mandi. Mau tidak mau, aku memang harus menemui Daffa sebab kemarin, aku yang menyuruhnya datang lagi. "Huh, dasar bodoh!" rutukku pada diri sendiri. Berlama-lama di kamar mandi, sampai mama yang takut aku masuk angin, harus mengetuk pintu berulang-ulang. Begitu juga berlama-lama mengganti baju, bahkan aku asik main game sampai mama harus menjewer kupingku saking kesalnya. Memang aku sengaja mengulur waktu panjang, dengan harapan, Daffa akan kesal menunggu lalu pamit pulang pada mamaku, nyatanya itu tidak terjadi. "Huh, seandainya papa sudah pulang, pasti dia yang ngadepin Daffa," keluhku. Papa sudah lima hari tugas ke luar kota dari kantornya, harusnya nanti sore sudah kembali, berarti, aku yang harus menghadapi Daffa sendirian. Hampir tiga jam aku membuat Daffa menunggu, dan saat aku menemuinya, lelaki itu tersenyum lebar seolah-olah tidak merasakan kesal sedikitpun. "Halo, apa kabar?" sapanya sambil berdiri menyambutku. "Hm, biasa aja," sahutku seraya menghempaskan diri ke atas kursi. "Kata mama, kamu melewatkan sarapan. Bagaimana kalau siang ini aku ajak kamu makan di luar? Terserah kamu mau makan di mana, kamu yang tentuin," kata Daffa menatapku dengan tatapan lembut. Aku memutar mataku pertanda malas berkegiatan apapun hari itu terutama berkegiatan dengan om-om. "Malas." "Bagaimana kalau belanja ke Mal? Apapun yang kamu mau, kita beli," bujuk Daffa. "Kamu pikir aku bisa di–," ucapanku tidak berlanjut sebab ada ide yang tiba-tiba saja melintas, lalu mantapnya lekat-lekat. "Apapun?" tanyaku. "Apapun," jawab Daffa dengan yakin. "Baiklah, ayo kita berangkat," kataku cepat. "Hm, gak ganti baju dulu?" tanya Daffa seraya menatap baju yang sedang kupakai. Aku mengenakan daster lusuh yang warnanya sudah memudar. Daster itu dulunya punya mama dan umurnya sudah dua puluh tahun, pastinya sudah tipis dan mudah sobek. "Kenapa memang? Malu membawaku ke mal karena pakai daster?" "Oh, enggak sih, apa atasnya pakai jaket? Soalnya … itu agak kelihatan," ujar Daffa menunjuk ke arah dadaku. "Heh! Jadi dari tadi merhatiin dadaku?!" Aku memekik sambil menutupnya dengan kedua tanganku. "Siapapun akan melihat, apalagi di keramaian," sahut Daffa dengan sikap yang tenang. "Ya sudah, aku ambil jaket dulu," kataku seraya menghambur ke kamarku, diikuti oleh mama yang rupanya dari tadi menguping dari balik tembok. "Nak, benar kata dia, masa iya kamu mau ke mal pakai daster? Eh, ini akal-akalan kamu kan supaya Daffa ilfeel sama kamu?" tuduh mama. Tuduhan yang tepat, seperti biasa, mamaku memang sangat pintar, dia hampir tahu semua apa yang akan aku lakukan dalam hal apapun. "Ma, kalau dia mau jadiin aku istri, biarlah dia lihat jeleknya aku dulu. Tahan banting gak?" kilahku dengan kesal. Setelah menyambar jaket yang biasa aku pakai ke sekolah, aku pun bergegas kembali ke ruang tamu, mengenakan jaketku sambil jalan. "Ayo," ajakku sambil membuka pintu ruang tamu yang menuju ke teras luar. Daffa berpamitan pada mama saat aku sudah berdiri di samping pintu mobilnya dengan mengenakan sandal jepit. Penampilanku luar biasa keren, sepintas, mana cocok dengan penampilan seperti ini masuk ke dalam mobil sedan bagus, duduk di depan pula. Rencana mendadak mulai dijalankan, aku bertaruh pada diriku sendiri bahwa hanya dalam beberapa jam ke depan, Daffa akan memutuskan untuk tidak pernah menemuiku lagi. Aku senyam-senyum membayangkan hasil akhir dari rencanaku.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN