"Risa... Tolong fokopikan ini, dong!"
"........ "
"Risa, tolong anterin dokumen ini ke divisi marketing yang sudah mau rapat, ya!"
"......... "
"Risa, makan siang ntar tolong beliin dulu, ya. Nggak ada waktu, nih!"
"......... "
"Risa, minta tolong ini kerjain sekalian, ya. Pacarku ngajakin nonton nih, nggak bisa lembur. Minta tolong, ya!"
"..........."
Kira-kira sederet ucapan itulah yang mewarnai hari-hariku di dalam kantor, tidak jauh berbeda dengan di rumah, di kantor pun aku di jadikan Babu. Di suruh ini itu mulai dari yang ringan dan wajar, sampai tugas mereka yang harus di selesaikan hanya karena alasan yang menurutku tidak terlalu penting di bandingkan pekerjaan.
Jika kalian bertanya kenapa aku diam saja dan tidak melawan, memangnya aku bisa apa? Seorang yang sama sekali tidak good looking sepertiku akan selalu di salahkan jika tidak mau menuruti 'permintaan tolong' mereka ini. Dalam jenjang hidup bermasyarakat, manusia jenis sepertiku ini ada di dalam kasta terbawah karena aku tidak good looking dan juga punya uang yang banyak atau jenjang karier yang mapan sekeras apapun aku berusaha karena aku hanyalah lulusan SMA.
Niat hatiku untuk berkuliah sembari bekerja harus aku simpan dalam-dalam karena nyaris semua gajiku di pakai untuk menyokong hidup Bibik. Melati, anak pertama Bibik yang seusia denganku memang bekerja, tapi gaya hidupnya yang glamour membuatnya selalu minus, bahkan iPhone terbaru yang dia miliki dan bernilai 3 kali lipat lebih mahal dari motor bututku harus aku yang membayar cicilannya. Sekeras apapun aku menolak tuntutan Bibik kembali lagi saat hutang budi nafas yang aku miliki di ungkit, aku tidak punya pilihan lain, mau tidak mau dengan tuntutan balas budi tersebut, nyaris semua biaya hidup Bibik dan keluarga aku yang menanggung.
Banyak yang mengatakan seharusnya aku lari saat aku sudah mapan memiliki gaji dari pada di jadikan sapi perah oleh Bibikku, tapi jika kalian di posisiku dan hanya sebatang kara bahkan di buang oleh orangtuaku sendiri, dan hanya Bibik yang aku miliki, maka seburuk apapun tempat yang kalian sebut rumah dan keluarga, maka kalian tidak akan bisa meninggalkannya.
Itulah yang terjadi padaku.
Rasanya begitu lelah menjalani hidup ini.
Di rumah aku tersiksa dengan pekerjaan rumah dan masalah ekonomi yang tidak pernah cukup.
Dan saat di kantor aku tersisa dengan seleksi alam di mana keadilan sosial hanya untuk kaum good looking.
Memilih untuk tidak membuat masalah dengan rekan kerjaku, aku hanya bisa pasrah menuruti apa 'permintaan tolong' mereka.
"Ris, mau kemana kamu?"
Aku yang hendak keluar dari ruangan administrasi sembari memegang cangkir kopiku hanya bisa menghela nafas saat tanya tersebut terlontar dari Isni, pentolan divisi administrasi yang perintahnya tidak bisa di tolak siapa pun. Termasuk diriku.
Dengan senyum terpaksa aku berbalik ke arahnya, "mau bikin kopi di pantry, Is."
Tanpa perlu aku menawarkan diri, wanita cantik dengan rambut yang dia highlight model peek a boo tersebut langsung memberikan cangkirnya kepadaku. "Sekalian, ya. Kopi buatanmu enak, sih!" dan musibah pun di mulai jika mulut wanita cantik ini terbuka. "Ayo yang lainnya yang mau kopi, Risa mau buat kopi nih, sekalian!"
Tuh, kan apa aku bilang.
Nggak masalah jika hanya Isni yang meminta secangkir kopi. Tapi dia dengan besar hatinya menawarkan kebaikanku ini kepada orang lain.
Ingin mengumpat? ooo tidak bisa, aturan pertama dalam masyarakat. Semua yang good looking nggak pernah salah. Jadi kembali lagi, aku hanya bisa pasrah membawa 6 cangkir di tanganku menuju Pantry di mana para karyawan bisa bebas membuat kopi dan juga memasak makanan instan sepuasnya.
"Waaah, lama-lama saya makan gaji buta, Mbak Risa. Hampir nggak pernah saya bikinin kopi buat divisi, Mbak. Lebih favorit kopinya Mbak dari pada bikinan saya."
Mendengar teguran dari Mas Abbas, OB lantai divisi aku berada, aku hanya bisa tersenyum masam. Bagaimana lagi, entah karena kopi buatanku memang enak, atau mereka hanya ingin membuatku kesusahan. Hanya hati mereka dan Tuhan yang tahu.
"Nggak apa-apa, Mas Abbas. Biar Mas Abbas juga bisa istirahat." jawabku tenang sembari menunggu mesin kopi yang mulai bergemericik.
Sebenarnya di suruh membuat banyak kopi seperti ini juga tidak sepenuhnya buruk, dengan hal ini aku bisa mempunyai waktu mengistirahatkan diri di tempat paling nyaman yang pernah aku temui di muka bumi yang tidak adil ini.
Seperti yang aku bilang di atas, pantry menyediakan kopi, teh, dan juga makanan instan untuk karyawan, tentu saja hal ini adalah surga untuk karyawan yang kantungnya kembang kempis sepertiku. Jika bukan karena ada pantry ini, mungkin aku akan mati kelaparan karena tidak cukup uang untuk makan siang.
Seperti sekarang, sembari menunggu kopi yang aku sajikan jadi, menyeduh sebungkus mi instan cukup mengobati penatku dari lelahnya hidup.
"Kita lihat makan siang apa kita kali ini, soto, sop ayam, sop buntut, bakso, atau mungkin agak mewah, rendang?" ucapku pada diri sendiri saat melihat deretan mie instan yang ada di kabinet. Setiap kali aku berbicara seperti ini sungguh aku ingin menertawakan diriku sendiri yang begitu menyedihkan. "aaah, yang simpel saja, rasa soto."
Dan akhirnya pilihanku jatuh pada mie gelas rasa soto yang langsung aku ambil dua bungkus. Tanpa berlama-lama aku menyantapnya, menikmati segarnya kuah hangat mengisi lambungku yang kekeringan karena belum sarapan.
"Brunch, Ris?"
"Uhuukkk!!" sapaan dari salah satu asisten CEO perusahaan ini, Pak Utama, yang merupakan idola para perempuan lajang kantorku membuatku tersedak, nyaris saja mie gelas yang baru saja aku telan melompat ke hidungku. Aku sama sekali tidak menyangka, Pak Utama yang sering kali bertemu denganku di saat pagi hari untuk membuat kopi bertemu di jam tanggung seperti ini.
Dan yanglebih memalukan selain ketahuan curi-curi waktu makan di tengah jam kerja oleh salah satu atasanku ini adalah Pak Utama yang langsung menepuk-nepuk tengkukku agar batuk hebohku mereda.
Astaga, mau di taruh mana wajahku yang buruk ini di depan atasanku, malang sekali nasibmu, Ris. Sekalinya bertemu atasan yang mengenalmu dengan baik sikapmu sungguh memalukan.
"Santai saja, Ris. Saya nggak mau marahin kamu hanya karena makan." Sembari mentertawakan kebodohanku, Pak Utama, pria berusia awal 30an tersebut menyodorkan cup yang memang sengaja di sediakan, "Kebetulan kamu ada di sini, bisa minta tolong racikan kopi buatanmu yang paling enak? Pak Boss kita sedang dalam mode angry bird, siapa tahu kopi buatanmu bisa menurunkan emosinya."
Dengan ragu aku meraih cup yang di berikan Pak Utama, beliau pernah sekali aku buatkan kopi dan sekarang beliau memintaku untuk membuatkan lagi, khusus untuk menenangkan CEO kita yang sedang badmood, aku khawatir kopiku justru membuatnya semakin marah.
Seperti tahu apa yang aku resahkan, pria memikat yang tampak matang dan dewasa ini berujar lagi. "Cobalah untuk percaya diri, Arisa. Jangan terlalu sering menundukkan kepala dan mengatakan iya pada orang lain."