Balas Budi

1009 Kata
"Masak cuma segini sih sisa gaji kamu, Ris! Yang lainnya mana?" "........." dengan paksa Bibik merogoh kantongku, tidak puas hanya mencari di dalam kantong kemeja dan rok spanku yang ternyata kosong, Bik Ola, Bibikku ini meraih tas selempang yang selalu aku gunakan untuk ke kantor, dan tanpa belas kasihan pada tasku yang murahan ini, beliau mengacak-ngacaknya dan tanpa belas kasihan pada barang yang nyaris putus itu, Bibik membaliknya, membuat bedak, lipstik, mini parfum, dan perintilan murahan lainnya yang aku dapatkan dari hasil berburu di toko oren, jatuh berhamburan hingga pecah menyedihkan. Jika di tanya bagaimana perasaanku sekarang saat melihat barang-barangku, tentu saja aku sedih. Harganya memang tidak seberapa, tapi untuk membuatnya lolos dari keranjang belanja, aku harus begitu berhemat. Bibik sudah melihat betapa menyedihkannya keuanganku dengan mata beliau sendiri, tapi sayangnya beliau masih tidak percaya dengan apa yang di lihatnya. "Jangan di sembunyiin, deh. Kamu harus inget ya kalau nggak ada Bibik yang udah gedein, kamu sudah mati kelaparan nggak punya orangtua." Entah yang keberapa juta kali hutang budiku di ungkit oleh Bibik, memang benar, tanpa belas kasihan beliau yang memungutku karena orangtuaku sendiri bahkan membuangku, seperti itulah Bibik menceritakan asal muasal kenapa aku tinggal dengan beliau dan mendapatkan perlakuan yang berbeda dari anak Bibik lainnya, mungkin aku akan mati di selokan atau semak-semak seperti di banyak berita kriminal. Walaupun aku hidup di bawah bayang-bayang hutang budi, hingga setiap sen yang aku hasilkan dari keringatku harus aku bayarkan pada Bibikku sebagai balasan atas setiap nafas yang aku hirup, setidaknya aku harus bersyukur aku tidak sebatang kara di dunia ini. Walaupun ragaku lelah, walaupun psikisku ingin menyerah, setidaknya aku masih mempunyai tempat yang di sebut rumah untukku pulang. Aku selalu mencoba berbesar hati setiap kali Bibik mengambil semua uang yang aku miliki, tidak pernah terbersit pun dumalan keluar dari bibir dan hatiku, karena pada dasarnya aku juga senang jika bisa membahagiakan Bibik, tapi kali ini aku benar-benar lelah dengan semua sangkalan Bibik yang tidak percaya dengan apa yang aku ucapkan. "Bulan ini gaji Risa habis buat bayar hutang Bibik, dan juga cicilan IPhone terbaru punya Melati, Bik. Risa udah nggak ada duit sama sekali." Plaaaakkkk Tamparan keras aku dapatkan di pipiku usai aku bersuara, rasanya sangat sakit, hingga membuat pipiku terasa kebas. Ini bukan pertama kalinya Bibik menamparku, tapi tetap saja hatiku terluka setiap kali Bibik memukulku, tanpa bisa aku cegah air mata menetes di pipiku. Dengan kuat aku menggigit bibirku hingga rasa besi memenuhi mulutku, mencegah suara tangisku lepas dan membuat bibik semakin murka. Tapi bukan hanya diriku yang merasakan lelah teramat sangat, sepertinya Bibik pun sedang pusing karena uang, sebisa mungkin aku tidak membuat Bibik marah tapi semuanya berakhir dengan sia-sia saat Bibik menjambak rambutku kuat hingga tertengadah. "Bagus ya sudah mulai hitung-hitungan sama Bibik! Berani buat ngungkit uang yang buat bayar hutang Bibik sama beliin hape buat Melati. Nggak ikhlas kamu sampai harus kamu ungkit? Kalau mau itung-itungan ayo, kita hitung mulai dari kamu Bibik bawa pulang ke rumah ini. Uang yang kamu berikan ke Bibik nggak ada seujung jarinya sama apa yang sudah Bibik kasih ke kamu, Arisa." Tangisku semakin menjadi seiring semakin kuatnya jambakan Bibik pada rambutku, bahkan aku merasa jika beberapa helai rambut telah rontok karena perbuatan Bibik ini. Melihatku yang menangis seperti sekarang justru membuat Bibik semakin naik pitam. "Nangis terus kerjaannya, kamu kira dengan kamu nangis duit mau turun dari langit!" "Maafin Risa, Bik." Pintaku mengiba, aku benar-benar memohon belas kasihan Bibik kali ini, rasa sakit di kepalaku sudah tidak tertahankan lagi rasanya. "Risa minta maaf, Risa benar-benar nggak ada uang, Bik. Uang Risa benar-benar sudah habis." "Alasan! Dasar nggak berguna." dengan kasar Bibik mendorongku hingga aku jatuh tersungkur di kaki beliau, dan seakan tidak puas melihat lututku yang lecet karena beradu dengan lantai semen, Bibik masih menendang kakiku tanpa segan, "seharusnya Bibik nggak mungut manusia nggak berguna kayak kamu ini, Arisa. Bukannya bantuin malah bikin susah! Kalau sekiranya gaji dari kantormu nggak cukup, ya cari tambahan apa kek, nyolong kek, jual diri kek, jadi simpenan om-om kek, atau apapun lah." Aku hanya bisa menatap nanar Bibik yang baru saja berucap dengan begitu enteng memintaku jual diri demi uang semata. Masih tidak percaya Bibik bisa begitu tega terhadapku. Kasih sayang yang selalu aku harap dari satu-satunya keluargaku ini nyatanya tidak pernah aku dapatkan. Untuk Bibikku, aku hanyalah mesin penghasil uang yang telah susah payah beliau rawat. "Bibik nggak peduli kamu dapat uang dari mana, mau uang halal mau uang haram, mau dari gaji atau dari dosa, yang penting kamu harus bisa ngasih uang buat Bibik! Paham kamu?" Di tengah tangisku yang masih sesenggukan aku hanya bisa mengangguk, mengiyakan apapun yang di ucapkan oleh Bibik. Yang aku harapkan sekarang adalah Bibik segera mereda emosinya dan berlalu dari hadapanku. Aku sudah tidak sanggup lagi mendapatkan setiap makian dan kalimat menyakitkan dari beliau. "Kalau paham, sekarang bangun. Siapin makan malam buat Melati sama Farid. Nggak usah kelamaan nangis kayak di sinetron, air matamu nggak akan berubah jadi duit." Susah payah aku menyusut air mataku yang seperti tidak bisa berhenti, aku tidak mau membuat Bibik semakin murka lagi jika aku tidak segera menghentikan tangisku. Dengan tubuh yang terseok-seok karena lelah aku berusaha bangkit, menjalankan perintah Bibik bukan hanya memasak, tapi juga melakukan pekerjaan rumah tangga seperti mencuci dan membersihkan setiap sudut rumah sederhana yang di tinggali 4 orang termasuk diriku. Sebisa mungkin aku melakukannya sebaik-baiknya, di saat Bibik dan dua sepupuku tengah menikmati makan malam, aku hanya bisa berpuas diri menghirup aroma makanan yang tadi aku masak sembari berharap, akan ada sisa untukku mengisi perut yang sudah keroncongan. "Kalau mau nyapu, jangan cuma nyapu di situ-situ saja! Liat wajahmu bikin nggak nafsu makan tahu nggak! Sengaja kamu, ya!" Aku menggeleng cepat saat Bibik kembali menegurku. Tidak hanya Bibik yang mencela, tapi Melati juga. "Sengaja pasti dia Buk, nampilin wajahnya biar kita eneg!" Kembali, tidak ingin mendapatkan kalimat yang menyakitkan hati aku memilih melipir pergi, keluar menuju teras dan berdiam diri mengistirahatkan jiwa dan ragaku yang tercabik dengan suratan takdir yang terasa tidak adil untukku. "Tuhan, kapan part bahagia untuk kisah hidupku yang menyedihkan ini di mulai?"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN