PART. 2 SAKTI SANG PLAYBOY

1904 Kata
Sakti meraih ponselnya usai Randi ke luar dari ruangannya. "Hallo, assalamualaikum, Kak Em, Emi dirumah nggak?" tanya Sakti pada kakak satu ayah dengannya. "Walaikum salam, Emi di rumah Mamah, Sakti," jawab Emira di seberang sana. "Oh ...." "Ada apa?" "Nggak apa-apa, ada perlu sedikit, terima kasih, Kak. Assalamualaikum." "Walaikum salam." Pulang dari kantor, Sakti mampir dulu ke toko boneka, Sakti membeli boneka teddy bear paling besar. Tidak lupa juga mampir ke toko bunga. Ia membeli seikat mawar merah muda. Diletakan teddy bear di jok di sampingnya dengan bunga mawar di pangkuan teddy bear itu. Klik Difoto Teddy bear, dan bunga, lalu ia kirim foto ke Randi. Suara ponsel membuat Sakti membatalkan niat untuk meletakan ponselnya. "Assalamualaikum, Ran." "Walaikum salam. Apa ini maksudnya, Boss, gue nggak paham." "Gue beli ini buat pacar lo, nanti kalau gue sudah sampai rumah, sudah meletakkan ini boneka di depan pintu kamarnya Emi, gue telpon lo, lo kirim pesan ke dia suruh buka pintu, karena lo punya kejutan buat dia, lo paham nggak maksud gue?" "Oh my God, gue nggak terpikir yang begini. Lo romantis sekali, Boss. Wajar saja cewek-cewek menempel sama lo, persis paku jalanan menempel di magnet." "Gila lo, masa cewek-cewek berkelas gue lo samakan paku jalanan, Ran," protes Sakti. Randi terkekeh. "Sorry, Boss!!" "Jadi, lo ngerti nggak maksud gue tadi Ran?" "Iya gue ngerti, Boss" "Nanti gue telpon lagi, assalamualaikum." "Walaikum salam." *** Tiba di rumah orang tuanya. Sakti memarkir mobil di dalam garasi. Lalu ia masuk ke dalam rumah tanpa membawa teddy bear tadi. Di ruang tengah ada orang tuanya duduk berdua. Ayahnya menyuapkan goreng pisang ke mulut mamahnya. "Assalamuallaikum, Ayah, Mam," sapa Sakti, sambil meraih, dan mencium punggung tangan kedua orang tuanya. "Walaikumsalam, tumben pulang cepat?" tanya Tiara. "Iya, Mam, nanti malam dijemput teman, mau nonton, juga makan di luar," jawab Sakti. "Cewek?" tanya Tiara, Mamah Sakti, matanya menatap mata Sakti. Sakti mengangguk "Jangan memberi harapan pada mereka semua Sakti, pilih satu yang benar-benar kamu cintai." "Aku nggak memberi harapan, Mah, tapi mereka yang mengejar-ngejar terus. Soal pilihan, aku masih ingin fokus bekerja dulu, baru memilih satu yang akan aku beri kalimat sakti, I love you," jawab Sakti sambil terkekeh, agar mamahnya tidak marah. "Sudahlah, Sayang, Sakti masih muda, biarkan ia menikmati hidupnya." Steven berusaha melunakkan Tiara. "Dua lawan satu, selalu begitu, hhhh ...." wajah Tiara cemberut karena merasa dikeroyok Sakti, dan Steven. "Mamah kalo cemberut begitu tambah manis loh, Mah," goda Sakti. "Sudah Sakti jangan menggoda Mamahmu!" tegur Steven. "Emi disini ya, Mam?" tanya Sakti. "Iya di kamar atas, jangan ganggu dia, Sakti. Dia lagi bad mood." Tiara mengingatkan Sakti. "Siip, Mam." Sakti berbalik menuju garasi, ia mengambil teddy bear, dan bunga mawar yang tadi dibelinya. Steven, dan Tiara sama kagetnya melihat apa yang dibawa Sakti. "Buat Emi dari Randi, mereka lagi berantem, ini buat sogokan, biar Emi berenti ngambek." Sakti menjelaskan sebelum ditanya. "Duuhh so sweetnya ... romantisnya ... kapan aku diberi begitu kalau ngambek, Aay?" tanya Tiara, sembari kepalanya mendongak manja ke arah Steven. Steven tersenyum lalu menurunkan wajahnya ingin mengecup dahi Tiara tapi.... "Stop! Adegan 18+nya nanti menunggu aku pergi dulu!" goda Sakti sambil melangkah menaiki tangga, dan meninggalkan suara tawanya. Sakti menggeser vas besar berisi rangkaian bunga kering, milik mamahnya dengan hati-hati. Vas itu, untuk tempat menyandarkan teddy bear, bunga mawar diletakan di atas pangkuan teddy bear yang duduk menghadap ke pintu kamar Emi. Diraih ponselnya. "Ran, semua sudah siap, lo kasih tahu Emi sekarang." "Oke, thanks, Boss." Sakti masuk ke dalam kamarnya, ia mengintip dari balik pintu, terdengar suara pintu kamar sebelah dibuka lalu. "Aaahhhhhhh!" teriakan nyaring, dan cempreng Emi membahana ke seluruh penjuru rumah. Sakti sampai menutup kedua telinganya. Steven, dan Tiara tergopoh menaiki anak tangga. "Ada apa Emi?"tanya Steven cemas. "Opa, Oma, lihat! Mas Randi romantis banget ya. Aaaah ... i love you Mas Randi!" pekik Emi tertahan. Steven, dan Tiara menggeleng-gelengkan kepala mereka. "Eeh Mas Randinya nggak ada di sini ya, terus siapa yang meletakkan ini, Oma, Opa?" tanya Emi tak sabar. "Uncle mu," jawab Steven. Bergegas Emi menerobos masuk kamar Sakti, ia memeluk Sakti yang baru saja ingin melepas bajunya, karena Sakti ingin mandi. "Terima kasih ya, Uncle. I love you" Emi mengecup kedua pipi Sakti. Sakti mendorong Emi, berusaha melepaskan pelukan keponakannya itu.. "Sudah dua puluh tahun, tapi kelakuan masih seperti bocah SD," gerutu Sakti. "Biarin!" jawab Emi, matanya mendelik ke arah Sakti. "Bingung gue, kok Randi bisa tahan punya pacar kaya lo." "Oma, Opa, Uncle nih!" Emilia mengadu pada kedua orang tua Sakti. "Mulai ... mulai, kalian ini dari kecil sampai setua ini masih saja bertengkar!" gumam Tiara sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. "Uncle nih, Oma" tunjuk Emi ke arah Sakti. "Sudah, sudah, kamu ke luar dari kamar Uncle mu, Uncle mu mau mandi tuh!" perintah Steven ke Emi. "Iya, hush ... sana." Sakti mendorong punggung Emi dengan dua tangannya. "Aah, Uncle aku bisa jalan sendiri, jangan didorong-dorong," protes Emi. "Eeeh Sakti, itu vas bunga Mamah kembalikan dulu ke tempatnya, baru mandi."Tiara menunjuk vas berisi rangkaian bunga kering miliknya. Sakti berjalan keluar kamar, lalu mengangkat tangan di dahinya "Siap, Boss!" hormat pada mamahnya. Emi sendiri langsung sibuk dengan ponselnya, sebentar-sebentar manyun manja,lantas terkikik geli. Steven, dan Tiara saling pandang sambil geleng-geleng kepala. --------- Sekar sudah mulai masuk sekolah. Sesuai janji, Sakti tak hanya membiayai kehidupannya, tapi juga berlaku sebagai mana Ayah bagi Sekar. Sore pulang dari bekerja, Sakti menyempatkan mampir ke rumah yang di kontrak untuk tempat tinggal Sekar, dan Euis. Di tangannya, Sakti membawa bungkusan berisi kotak makanan, dari rumah makan ayam bakar yang cukup terkenal di seantero Indonesia. Sekar terlihat masih agak malu pada Sakti. "Sekar duduk sini," Sakti menepuk tempat di sebelahnya, di sofa yang dibelikan Randi untuk rumah kontrakan ini. Sekar patuh, ia duduk di sebelah Sakti. "Sekar biasa memanggil almarhum Pak Rustam apa?" tanya Sakti lembut. "Bapak," jawab Sekar singkat, sambil matanya menatap jari-jarinya yang dipilin dipinggiran kaos lengan panjang yang ia pakai. "Hmm ... kalau begitu, karena aku mengemban amanah Bapakmu untuk jadi orang tuamu, Sekar panggil saja aku Ayah, biar aku selalu ingat janjiku pada Bapakmu untuk membesarkanmu. Sekar tidak keberatan kan, aku anggap anak angkat ku? Tidak keberatan, kalau aku jadi Ayahmu?" tanya Sakti lembut, matanya menatap kepala Sekar yang tertunduk. Sekar mengangguk tanpa mengangkat wajahnya. "Coba panggil aku Ayah, aku mau dengar." Sakti memancing Sekar agar bersuara, dan mengangkat kepalanya. Sekar mengangkat kepala, ia menatap malu pada Sakti dengan mata beningnya. "Ayah ...." panggilnya pelan. Sakti tersenyum "Mulai sekarang, jangan segan bercerita apapun kepadaku, karena dari sekarang aku Ayahmu paham Sekar?" Sekar mengangguk tanpa bersuara. Berharap apa yang diucapkan Sakti tidak hanya sekedar menghiburnya. Ponsel Sakti bergetar, Sakti meraih ponselnya, lalu berdiri dari duduknya. Sekar menatap Sakti yang seperti menjulang tinggi di hadapannya. Sakti berjalan agak menjauh dari Sekar, sesekali terdengar tawanya. "Teh, teh Euis!" panggil Sakti setelah selesai menelpon. Euis ke luar dari dalam "Ya Mas Sakti." "Saya pulang dulu ya, titip Sekar, kalau ada apa-apa telpon saya, sudah punyakan nomer saya dari zpak Asep?" tanya Sakti. Euis menganggukkan kepala. "Iya, sudah ada Mas," jawab Euis. "Sekar, Ayah pulang dulu ya, sekolah yang rajin." Sakti mengelus kepala Sekar lembut. Sekar mengangguk diraih tangan Sakti dicium punggung tangan ayah angkatnya itu. ------- Dalam perjalanan pulang, Sakti tersenyum sendiri. Heran pada dirinya sendiri kenapa minta dipanggil Ayah. 'Hhah, apa kata dunia? Apa kata Randi? Apa kata para wanita yang dekat denganku. Tapi, permintaan itu terlontar begitu saja dari mulutku. Hanya agar aku selalu mengingat tanggung jawabku, bahwa ada seseorang yang harus aku perhatikan. Karena pesan Pak Rustam adalah menjaga, dan mendidik Sekar, bukan sekedar memenuhi kebutuhan ekonominya. Tanggung jawab yang cukup besar, yaa anggap saja latihan sebelum punya anak sendiri. Anak sendiri? Ya Tuhan, berpikir menikah saja tidak, bagaimana bisa punya anak ....' Sakti memarkir mobilnya disalah satu bangunan apartemen mewah. Sakti menaiki lift menuju tempat yang ingin didatangi. Ia berdiri di depan salah satu pintu di apartemen itu. Pintu terbuka, Bianca muncul dengan pakaian menggoda, belahan dadanya terlihat menantang, belahan di pahanya juga. Begitu pintu tertutup. Bibir Bianca langsung menyerang bibir Sakti, melumatinya dengan ganas. Lidah Bianca memilin lidah Sakti, tangannya melingkar erat di leher Sakti, dadanya rapat menekan d**a Sakti. Tangan Sakti melingkari punggung, dan pinggang Bianca, memberikan elusan yang memabukan Bianca. Tinggi mereka yang hampir sama, membuat Bianca mudah menelusuri leher Sakti dengan bibirnya, ingin sekali Bianca meninggalkan jejak ciumannya di sana, tapi Sakti pasti akan memarahinya, dan tak mau menemuinya lagi. Karena Sakti sudah mengatakan, ia tidak suka Bianca meninggalkan jejak kecupan di tubuhnya, ataupun meninggalkan jejak darinya di tubuh Bianca. Sakti melepaskan pelukan, dan ciuman Bianca. Selalu begitu, Sakti tak mau lebih dari itu, terkadang Bianca kesal, karena usahanya dengan segenap cara untuk membuat Sakti mau melakukan lebih dari sekedar ciuman, tidak pernah berhasil. Sedangkan dirinya sendiri, hanya dengan sentuhan ujung jari Sakti dikulitnya, sudah membuatnya merasa terbakar. "Boleh aku duduk dan minta minum, Bi?"tanya Sakti. Bianca mengangguk, ia melangkah berlenggak lenggok, mempertontonkan pinggulnya pada Sakti, tapi Sakti hanya tersenyum melihatnya. Bianca datang dengan sebotol kecil air mineral yang belum dibuka, dan cangkir yang masih kosong. Sakti membuka air mineral itu, lalu meneguknya langsung dari botolnya. Bianca meyandarkan kepala di bahu Sakti. "Kamu nggak rindu sama aku, Beb? Aku rindu banget loh sama kamu." Bianca memasukan tangan lewat sela kancing kemeja Sakti, ia merabai perut Sakti. "Gimana keadaan Omamu, sudah sembuh?"tanya Sakti tanpa menjawab pertanyaan Bianca. Bianca mengangguk "Kamu kenapa sih nggak mau jawab pertanyaanku?" rungut Bianca manja. "Pertanyaan apa?" tanya Sakti, seraya tangannya menangkap tangan Bianca di balik bajunya, yang mulai merayap ingin melewati gesper celananya. Bianca menarik tangannya malas. Mulutnya mengeluarkan hembusan nafas kekecewaan. "Kita sudah janji kan, Bi, hubungan kita hanya teman, kalaupun tindakan kita terkadang melewati batas sebagai teman, itu karena kita suka sama suka melakukannya. Tapi aku tidak bisa memberi lebih dari sekedar ciuman, aku tidak ingin ada ikatan, apa lagi menikah terpaksa karena kamu hamil. Kalau kamu ingin aku masih di sini, tolong hargai kesepakatan kita." Sakti menatap tajam mata Bianca, ia tau ini menyiksa Bianca, tapi harus ada batasan yang tak boleh dilangkahinya. Sakti membiasakan diri mengontrol dirinya, mengontrol nafsunya, mengontrol amarahnya, dan selama ini ia sukses melakukannya, belum pernah ia bertindak lepas kontrol. Ia berlaku sama pada semua gadis yang mengharapkan dirinya, dan anehnya, gadis-gadis itu walau merasa kecewa, tapi tak mau meninggalkannya, salah satunya Bianca. "Apa aku tak boleh berharap dari sekedar teman? Kau tahu aku ...." "Nggak, Bi, maafkan aku, kalau kau menginginkan seorang kekasih, kau bisa cari pria lain. Aku sudah katakan, saat ini aku tidak ingin terikat pada hubungan lebih dari sekedar teman." Sakti memotong perkataan Bianca. "Aku akan menunggumu, sampai waktu di mana kamu mau terikat, Sakti." Bianca menatap Sakti, entah mengapa ia tak bisa lepas dari pesona Sakti, padahal banyak pria di luar sana yang ingin memanjakannya dengan cinta, dan harta mereka, tapi sayang cintanya mentok di Sakti. Bukannya Bianca tidak tahu, kalau bukan cuma dirinya wanita yang mengharapkan Sakti, tapi masih banyak lagi. Ingin marah saat melihat Sakti dengan wanita lain, hubungan mereka tanpa status, belum lagi resiko bakal ditinggal Sakti, sesuatu yang sangat sulit ditanggungnya. aingin terus bersabar, sampai kapan tak tahu ujungnya, sungguh dilema bagi Bianca. "Aku tidak bisa menjanjikan apa-apa, Bi, menurutku sebaiknya ku cari pria lain, untuk kamu jadikan pendampingmu. Aku tidak ingin penantiamu sia-sia nantinya, kamu tahu aku menyayangimu, tapi hanya itu yang bisa kuberi untukmu." Sakti meraih kepala Bianca yang mulai tersedu ke dadanya. "Maafkan aku Bi," bisiknya. ***bersambung***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN