PART. 1 JANJI SAKTI

1805 Kata
Sakti terlempar ke tepi jalan, sesorang mendorong kuat tubuhnya, suara benturan keras, cicitan suara rem mobil, teriakan orang-orang yang memekakkan telinga membuat Sakti cepat berdiri dari jatuhnya. Mata Sakti nanar menatap ke arah jalan, ada tubuh yang terkapar bersimbah darah di sana. Mobil yang menabrak kabur begitu saja, tanpa ada yang sempat mencegahnya. "Pak Rustam!" Sakti berlari menerobos orang-orang yang mulai berkerumun. "Pak Rustam, tolong ... tolong cari mobil! Kita harus membawanya ke rumah sakit!" teriak Sakti. Kebetulan ada ambulans lewat dari mengantar pasien yang meninggal, warga langsung menaikkan Rustam ke ambulans itu. Rustam ternyata masih sadar, tangannya menggenggam erat tangan Sakti, saat Sakti mendampinginya dalam ambulans. "Pak Sakti, boleh Saya minta tolong?" tanya Rustam lemah, matanya yang menatap Sakti, kadang terbuka, kadang terpejam. Tarikan nafasnya terdengar sangat berat. "Ya Pak, katakanlah. Apapun yang Bapak minta akan saya penuhi semampu saya, saya sudah berhutang nyawa pada Bapak," jawab Sakti. Sakti menggenggam salah satu telapak tangan Rustam. "Kalau Saya ...." Sakti mendekatkan tekingan ke mulut Rustam, karena suara Rustam yang semakin lirih saja. "Kalau saya akhirnya meninggal saat ini Pak Sakti, saya minta tolong, jaga dan rawat, juga didik anak saya satu-satunya, tolong berikan pendidikan yang layak untuknya. Dia tidak punya siapa-siapa selain saya, bisakan, Pak Sakti?" mohon Rustam dengan suara terbata, bergetar, dan sangat lirih. Sakti menarik kepala dari wajah Rustam, ia menganggukkan kepala berulang kali. Untuk menegaskan kalau ia sanggup melaksanakan amanah Rustam. "Bapak akan sembuh, Pak. Yakinlah .... " "Berjanjilah, Pak Sakti akan menjaga anak saya, agar saya pergi dengan tenang," mohon Rustam lagi, tangannya semakin erat menggenggam tangan Sakti. Sakti kembali mengangguk. "Ya, Pak saya berjanji akan menjaga, merawat, dan mendidik anak Bapak." Sakti sesungguhnya hanya ingin menyenangkan hati Rustam, Sakti tidak terpikir resiko yang akan dihadapinya, jika Rustam benar-benar pergi. Sakti yakin Rustam bisa pulih dari luka-lukanya. "Terima kasih, Pak Sakti, saya pegang janji Bapak. Jika saya pergi, bawalah anak saya bersama Bapak." Suara Rustam semakin lemah. Sakti mengangguk lagi. Samar didengarnya suara Rustam mengucapkan dua kalimah Syahadat, ditarik telapak tangannya dari genggaman tangan Sakti, lalu ditangkup sendiri kedua tangannya di atas d**a, matanya rapat terpejam. Sakti merasa jantungnya berdetak tak tenang, hatinya bergetar, bulu tubuhnya meremang, saat mendengar tarikan nafas Rustam yang terdengar sangat pelan, dan semakin pelan, sebelum akhirnya menghilang. "Innalillahi wainnailaihi roji'un .... " perawat yang mendampingi di ambulans, mengusap pelan wajah Rustam, setelah memastikan Rustam sudah menghembuskan nafas terakhirnya. Perawat laki-laki itu  menutup wajah Rustam dengan selimut rumah sakit yang mereka bawa. Sakti terdiam tak bisa lagi bersuara. Rustam salah seorang pegawai terbaik di peternakan miliknya, meninggal karena menyelamatkannya. Rasa bersalah saat ini menguasai perasaannya. Sejak pagi tadi Sakti berkeliling peternakan sapi, dan kambing miliknya. Meski usianya baru 23 tahun, dan baru saja bergelar Sarjana Ekonomi, tapi Sakti sudah mampu merintis usahanya sendiri sejak kuliah, ide peternakan sapi ini muncul karena depot bakso kakeknya yang kini dikelola pamannya, Satrio, semakin maju. Memiliki banyak cabang dimana-mana. Tantenya, Tata, juga punya restoran sate yang sangat terkenal, yang juga perlu pasokan daging sapi, dan kambing. Modal awal membangun peternakan, dari tabungan, hasil mengumpulkan gajinya bekerja di perusahaan milik ayahnya. Sakti kuliah sambil bekerja. Mamahnya membiasakan Sakti sejak dari kecil, jika ingin sesuatu harus berusaha dengan kemampuan sendiri. Awalnya Sakti menabung karena ingin mempunyai apartemen, tapi kemudian muncul ide usaha ini, Sakti berpikir jika usaha maju, dia bisa membeli apartemen nanti dari hasil usahanya. Meski ayahnya pasti mampu membelikannya apa saja jika ia meminta, tapi Sakti lebih suka mendapatkan dengan usahanya. -- Usai pemakaman, Sakti menemui pengelola peternakan, Asep namanya.  Saat SMA, Asep jadi tukang kebun di rumah orang tuanya. Asep dibiayai kuliah oleh orang tua Sakti, sampai menjadi sarjana. Dan kini, Asep sudah menjadi tangan kanan Sakti di peternakan. "Pak Asep, saya mengemban amanah dari Pak Rustam untuk merawat, dan menyekolahkan anaknya, bisa Pak Asep antar saya menemui anak almarhum sekarang?" tanya Sakti. "Ooh bisa Mas ... bisa," jawab Asep. Asep membawa Sakti mendekati seorang gadis kecil yang berdiri bersisian dengan seorang wanita usia sekitar tiga puluh tahun. "Ini putri almarhum, namanya Sekar, baru lulus SD, mau masuk SMP. Yang ini, Teh Euis, dia yang selama ini digaji pak Rustam untuk merawat Sekar. Sekar, Teh Euis, ini Mas Sakti yang punya peternakan ini." Asep memperkenalkan mereka. Sekar, dan Euis mengangguk ke arah Sakti. "Sekar, Teteh, saya sudah janji pada almarhum, untuk menjaga dan menyekolahkan Sekar. Almarhum juga meminta saya, untuk membawa kalian bersama saya. Sekar, dan Teteh mau kan ikut dengan saya? Tidak sekarang, mungkin nanti setelah tujuh hari kepergian almarhum, mau'kan?" tanya Sakti, mata Sakti menatap wajah mungil Sekar dengan perasaan bersalah. Karena Rustam menyelamatkannya dari kecelakaan itu, Sekar harus kehilangan ayahnya, sekarang Sekar yatim piatu, karena ibunya meninggal saat melahirkannya. 'Aku berhutang nyawa pada Sekar, berhutang janji pada Pak Rustam, hutang yang harus dibayar.' "Mau'kan, Teteh, Sekar?" tanya Sakti lagi. "Ikut saja, Teh, Sekar. Mas Sakti sekeluarga ini orang baik, saya dulu disekolahkan sampai jadi sarjana peternakan sama orang tua Mas Sakti, padahal saya cuma tukang kebun di rumah mereka," bujuk Asep. Euis, dan Sekar saling pandang lalu mengangguk. Asep, dan Sakti menarik napas lega. "Saya akan pulang lebih dulu, karena saya harus mendaftarkan Sekar sekolah, dan mencarikan tempat tinggal untuk kalian." "Jadi Sekar, dan Teh Euis tidak tinggal di rumah Mas Sakti?" tanya Asep. "Tidak, Pak, mereka tanggung jawab saya, saya tidak ingin melibatkan orang tua saya. Pak Asep tolong jangan beritahu hal ini keorang tua saya ya," pinta Sakti. Asep mengangguk. "Ya Mas saya mengerti," jawab Asep. ------- Sakti mengemudikan mobilnya dengan kecepatan sedang, pikirannya tengah merencanakan apa saja yang harus dilakukan setibanya nanti. Pertama, tentu harus mencari sekolah SMP untuk Sekar. Kedua, mencari rumah yang dekat dengan sekolah, agar Sekar mudah pulang pergi. 'Kedua hal ini pastinya akan mengurangi isi tabunganku, tapi tak apalah, toh tabungan yang dipakai hasil jerih payahku sendiri. Yang ketiga memangkas kebutuhanku. Yang bisa dipangkas harus dipangkas, demi membiayai hidup Sekar, dan Teh Euis, juga menggaji Teh Euis. Ini tanggung jawabku, aku tidak ingin melibatkan Ayah, dan Mamah dalam hal ini. Mamah selalu mengatakan,  jadilah lelaki yang bertanggung jawab, jangan plin plan dalam mengambil keputusan, harus mandiri juga.' Sakti memarkir mobil di parkiran kantor ayahnya, perusahaan ayahnya sudah diserahkan sepenuhnya pada Sakti, sejak ia lulus kuliah. Sakti harus pintar membagi waktu, antara usaha ayahnya, dan usahanya sendiri. Untuk di perusahaan ayahnya, Sakti mengandalkan Randi sahabatnya sejak SMP, seperti ia mengandalkan Asep di peternakannya. Suara ponsel di saku kemejanya mengagetkan Sakti. "Hallo, Bi." Sakti menyapa dengan suara lembut. "Kamu di mana, Beb?" suara manja wanita di seberang sana. "Baru tiba di kantor, habis dari peternakan, ada apa?" tanya Sakti. "Aku tadi ke kantormu, kamu nggak ada, ponselmu nggak aktif juga. Aku bawa oleh-oleh dari Paris buat kamu, aku titipkan sekretarismu, soalnya aku harus terbang ke singapura sekarang." "Ke Singapur, ada apa, Bi?" tanya Sakti penasaran. "Oma aku sakit, doakan cepet sembuh ya, Beb," suara manja Bianca, membuat Sakti membayangkan wajah cantik teman dekatnya itu. "Oke, hati-hati ya, Bi, semoga omamu cepet sembuh, salam buat semuanya. Bye, Bi" "Bye, Beb." Baru saja Sakti mematikan ponselnya, ponsel itu sudah berbunyi lagi. "Hallo, Di," sapanya. "Kamu di mana, Sayang?" tanya suara ketus di seberang sana. "Di kantor, ada apa?" Suara Sakti terdengar datar, menanggapi suara ketus wanita yang ia panggil 'Di'. "Tadi pagi aku ke kantormu, kamu nggak ada, ponselmu juga nggak aktif, dari mana sih!" "Dari peternakan, Di. Kamu ada apa mencari aku?" tanya Sakti. "Aku mau mengajak kamu nonton, sama makan malam, malam ini, Sayang, mau ya ...." bujuk Diana di seberang sana. Sakti mengangguk, seakan Diana bisa melihat anggukannya "Oke, jam berapa aku harus jemput kamu?" "Nggak usah nanti aku yang jemput kamu, sekalian mau bawa oleh-oleh dari Jepang buat orang tuamu," jawab Diana. "Ooh ... ya sudah, terserah kamu Di. Sampai ketemu nanti malam ya, bye." Sakti menutup ponselnya. Sakti tahu benar, pesonanya luar biasa di mata para wanita. Tampilan bulenya dengan wajah mirip Tom cruise, jiplakan wajah ayahnya, selalu jadi magnet kemanapun dia melangkah. Jadi jangan heran, kalau hidupnya dikelilingi banyak wanita. Tapi, jangan berpikir kalau ia menghamburkan uang untuk memanjakan mereka, karena kenyataannya, para wanita itulah yang menghamburkan uangnya untuk Sakti. Sakti tidak mau dianggap tukang porot harta para wanita. Karena Sakti tak pernah meminta, bahkan sering menolak hadiah-hadiah mewah dari mereka. Kelemahannya adalah, Sakti tak pernah tega menolak, jika mereka mulai merajuk di hadapannya, karena keinginan para wanita itu ia tolak. Plin plan dalam urusan wanita, begitu kata mamahnya, menurun dari  sikap plin plan, Steven Adams, ayahnya. Sakti melangkah ke dalam kantornya. "Siang Pak Sakti, ini tadi ada titipan dari ibu Bianca." Ami sekretarisnya menyodorkan tas yang cukup besar sambil tersenyum. "Terima kasih, bisa tolong panggilkan Randi, saya tunggu di ruangan saya ya," Sakti melangkah diiringi pandangan penuh kekaguman dari Ami. Sakti bukannya tidak tahu, kalau sekretarisnya itu suka mengamatinya, tapi selama kinerjanya tetap baik, Sakti tidak merasa terganggu. Tak berapa lama setelah Sakti masuk ke dalam ruangannya. "Lu manggil gue, Boss?" Randi muncul di ambang pintu ruangan Sakti. Dulu jaman SMP, Randi kakak kelas Sakti, tapi kecintaan mereka pada olahraga basket jaman sekolah dulu, yang menjadikan mereka sahabat hingga saat ini. Bahkan Sakti masuk di SMA tempat Randi sekolah. Dan juga pada saat kuliah, mereka kuliah di fakultas ekonomi di universitas yang sama juga. Mereka sudah seperti saudara. "Duduk, Ran." Sakti menunjuk kursi di depan mejanya. "Gue perlu bantuan, Ran" "Bantuan apa, Boss?" Randi mengernyitkan dahinya. "Bisa tidak, carikan sekolah SMP yang tidak begitu jauh dari sini. Carikan juga kontrakan yang dekat dengan sekolah itu." Randi menatap Sakti bingung. "SMP? Rumah kontrakan?" tanyanya bingung. "Bisa tolong dijelaskan, Boss," pinta Randi. Sakti menjelaskan, dari A sampai Z tanpa ada yang ditutupi. "Jangan sampai orang tua gue tahu, Ran. Lu jangan cerita ke Emi, mulut pacar lu itu persis ember bocor." Sakti mengingatkan Randi. "Aduh jangan menyebut pacar gue gitu dong, Boss. Tapi gue janji tidak akan cerita kesiapa-siapa." Randi mengangkat dua jarinya. "Bagaimana, bisa'kan?" tanya Sakti. "Gue usahakan," jawab Randi. "Harus bisa, mereka datang seminggu lagi Ran. Ini berkas-berkas yang diperlukan untuk pendaftaran masuk sekolah. Begitu dapat rumahnya, lu langsung aja buatkan KK, dan KTP untuk Teh Euis. Untuk berkas pindahan dari sana akan segera dikirim Pak Asep." Sakti menyerahkan map plastik warna merah ke hadapan Randi. "Oke Boss, doakan berhasil, tapi gue minta bayaran dimuka bisa tidak?" tanya Randi. Sakti mengernyitkan keningnya, menatap Randi tak mengerti. Randi terkekeh. "Keponakan lu lagi ngambek sama gue, karena gue lupa anniv ke lima bulan jadian." Randi menjelaskan. "Anniv jadian ke lima bulan, baru tahu gue, kalau yang begitu dirayain juga. Berarti tiap bulan lu harus beli kado dong?" tanya Sakti Randi mengangkat bahu. "Lu kan tahu, keponakan lu itu ngambekan," jawab Randi. "Deal tidak nih, lu bantuin gue ,gue bantuin lu?" Randi melihat Sakti masih berpikir. Merayu Emi bukan hal mudah bagi Sakti. Randi menyodorkan tangannya. "Deal tidak, Boss?" tanya Randi lagi. "Oke deal" Sakti menyambut uluran tangan Randi. BERSAMBUNG
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN