Entah bagaimana Ganindra mengekspresikan perasaannya saat ini. Perjalanan dari Jakarta menuju Surabaya terasa singkat ataukah dia yang masih ingin berlama-lama dengan posisi Amelia yang tertidur lelap di bahunya.
“Amelia, kita sudah tiba,” lirih Ganindra membangunkan Amelia yang masih bersandar dengan nyaman di bahunya.
“Eungh…” Amelia meregangkan sejenak ototnya, membuka matanya perlahan-lahan.
“Eh…maaf,” ucap Amelia lagi yang tersadar sudah tertidur dengan lelap di bahu Ganindra.
“Tidak masalah,” Ganindra memalingkan wajahnya menghadap jendela pesawat. Sedangkan Ayodia di depan mereka terlihat mengulum senyum.
Ganindra mempersilahkan kedua wanita cantik itu untuk menuruni tangga pesawat terlebih dahulu. Persis saat mereka turun, sudah ada sebuah mobil hitam sama seperti kepunyaan Ganindra di Jakarta telah terparkir, bersiap untuk mengantarkan mereka menuju pekuburan keluarga Adiwiguna.
Kompleks pekuburan orangtua juga kakek dan nenek Ganindra berada di lokasi yang sama dan tidak bisa didatangi oleh sembarangan orang.
Ayodia dan Amelia melangkah duluan ke masing-masing makam kakek dan nenek kemudian melanjutkan ke orang tua Ganindra yang juga berdampingan. Sepintas Amelia melihat nama-nama tertera di pusara tersematkan nama Adiwiguna di belakangnya. Nama yang ternyata juga melekat pada namanya saat ini.
“Mba Amelia, bisa kita menyingkir sejenak,” bisik Ayodia yang membuyarkan lamunan Amelia.
“Ah!? Apa?” ulang Amelia.
“Bisa berikan Mas Ganindra waktu sejenak. Dia biasanya ingin sendiri. Jadi biarkan saja. Kita sebaiknya menjauh,” ucapan Ayodia ini membuat tanya dalam benak Amelia. Memang, Ganindra sejak turun dari kendaraan terlihat berubah menjadi lebih pendiam dan banyak tertunduk. Kacamata hitam yang bertengger di hidungnya itu bahkan mencoba untuk menutupi raut wajahnya yang sebenarnya.
Ayodia dan Amelia berdiri dari kejauhan menatap Ganindra yang mendatangi setiap makam namun saat dia duduk di antara dua makam orangtuanya. Dia terlihat menunduk lama bahkan sesekali tangannya menghapus sesuatu di pipinya entah itu peluh ataukah air mata. Ayodia ikut tertunduk tetapi dia terlihat jelas menghapus air mata yang mengalir di pipinya. Amelia sebagai orang yang baru di kehidupan mereka mungkin tidak mengetahui kesakitan apa yang mereka alami tetapi dia cukup paham akan situasi bahwa kehilangan orang tua adalah hal yang paling menyakitkan, dia bahkan tidak ingin berkhayal tentang itu.
Seperti perkataan dokter Handoko saat prosesi ijab Kabul selesai tadi, Ganindra terlihat kuat di luar namun rapuh di dalam. Kerapuhan yang terasa misterius dan sulit untuk dibagikan Ganindra ke siapapun.
“Apa Ganindra baik-baik saja?” tanya Amelia yang melihat langit mulai menggelap, setidaknya sudah sejam Ganindra terlihat berbicara denga pusara kedua orangtuanya.
“Tunggu sebentar lagi,” ucap Ayodia.
Tepat setelah perkataan Amelia, Ganindra bangkit dan menuju mobil. Ayodia menyusul dan Amelia mengikutinya. Tidak ada ucapan apapun ketiganya di dalam mobil terasa hening sama seperti di pekuburan.
Setibanya mereka di hotel, mereka sudah diberi kamar masing-masing yang letaknya bersebelahan. Kamar yang sangat besar untuk ditempati oleh Amelia sendirian.
Tok…tok…tok
Suara pintu ketukan membuat Amelia yang sudah merebahkan diri di ranjang yang empuk kembali bangkit dan menuju pintu.
“Mba Amelia, mari kita keluar makan malam,” ajak Ayodia.
“Oh iya, bagaimana dengan Ganindra?” tanya Amelia yang mencari sosok Ganindra yang tidak kelihatan lagi sejak di pekuburan.
“Hmm…Mas Ganindra meminta makanannya dibawa ke kamar. Tetapi…jika Mba Amelia juga ingin seperti itu tidak masalah, aku bisa sendiri kok,” lanjut Ayodia lagi.
“Oh gak, ayo kita makan bersama. Aku sangat tidak suka makan sendirian,”
“Baiklah,” Ayodia mengangguk dan tersenyum ramah.
Keduanya masih berjalan dengan diam menuju restoran hotel yang berada di lantai dasar. Ternyata Ayodia sosok yang juga dikenali oleh semua pelayan hotel. Semuanya tersenyum dan menunduk hormat saat Ayodia melewatinya, semua tertangkap jelas oleh Amelia.
“Maafkan sikap Mas Ganindra tadi yah Mba Amelia,” ucap Ayodia.
“Sikap yang mana?” tanya Amelia tidak mengerti.
“Tadi saat di pekuburan,”
“Oh gak kok. Aku ngerti, Ganindra pasti bersedih kan kehilangan orangtua,”
“Yah anggaplah seperti itu atau mungkin seperti ingin menyusulnya,” celetuk lirih Ayodia. Amelia yang tidak mendengar terlalu jelas, sejenak memikirkan celetukan Ayodia itu. Ingin bertanya tetapi takut bahwa pertanyaannya itu adalah hal yang sensitive bagi Ayodia dan juga Ganindra.
“Mba Amelia, aku seneng kok melihat interaksi kamu dan Mas Ganindra. Dia sangat bahagia di dekatmu,” ucapan Ayodia ini malah terlihat aneh di pendengaran Amelia, dia bahkan refleks mengernyitkan alisnya. Sejak kapan wajah Ganindra terlihat bahagia saat di dekatnya.
“Tetapi saat bersamamu dia juga berada di antara jurang kehidupan dan kematian. Resiko ini semakin menghantuiku,” lanjut Ayodia lagi.
“Maaf aku kok gak ngerti yah?”
“Iya cukup kamu dengerin aja dan gak usah dipahami. Setidaknya….aku udah ngeluarin uneg-unegku,” sudut bibir Ayodia terangkat sedikit sembari meneguk minumannya.
“Ah iya makannya sudah datang, silahkan dinikmati Mba Amelia,” ucap Ayodia mengalihkan pembicaraan.
Keduanya kemudian tidak berbicara lagi dan hanya sibuk menghabiskan makanan di hadapannya.
“Nona…Nona,” salah seorang pelayan mendatangi Ayodia dengan napas terengah-engah.
“Kenapa?” tanya Ayodia heran.
“Tuan…” belum sempat pelayan itu berbicara, Ayodia langsung bangkit dan berlari meninggalkan Amelia yang hanya menatap bingung.
“Kenapa pak?” tanya Amelia kepada orang itu yang juga masih berdiri diam mematung.
“Ah tidak, Tuan Ganindra memanggil Nona Ayodia, Nyonya,” jawab pelayan itu tersenyum namun terasa dipaksakan belum lagi bola matanya berputar-putar seolah menutupi sesuatu.
Amelia kembali ke kamarnya setelah dirinya menyelesaikan makanannya tetapi selama dia menghabiskan makanannya dirinya terus diliputi rasa penasaran, apa yang sebenarnya terjadi.
Terdengar derap langkah setengah berlari dari arah belakang Amelia. Seorang pria, ah dia adalah dokter Handoko, melewatinya dengan tergesa-gesa menuju kamar Ganindra. Dokter Handoko bahkan tidak menyapanya karena terlalu fokus menatap ke depan.
Rasa penasaran semakin bertambah, mengapa dokter Handoko bisa di sini. Amelia berjalan mendekati kamar Ganindra untuk mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi.
“Maaf Nyonya, silahkan kembali ke kamar anda, mungkin anda butuh istirahat” tegur salah seorang pria layaknya pengawal berdiri di depan kamar Ganindra.
“Oh iya, apakah ada masalah?” Amelia mencoba peruntungannya kali ini. Mungkin saja pria itu akan memberitahukan hal yang sebenarnya terjadi.
“Tidak ada Nyonya, semuanya sudah teratasi. Tuan hanya butuh istirahat,” ternyata Amelia lagi-lagi hanya mendapat jawaban yang terkesan seragam. Entahlah, dia mungkin saja harus percaya apa yang mereka sampaikan. Sekuat apapun dirinya mengorek kebenaran dia akan tersudutkan pada jawaban yang sama.
***
Pagi hari Amelia sudah bersiap untuk kembali ke Jakarta. Dia bahkan sudah merias diri seadanya.
Tok…tok…tok…
Amelia kembali membuka pintu.
“Mba Amelia sudah bersiap?” tanya Ayodia dan Amelia hanya mengangguk
“Oh baik. Kita sarapan dulu yah sebelum ke bandara,” saran Ayodia lagi dengan wajah yang sembab. Ada bayangan hitam di bawah matanya menandakan dia terjaga semalaman.
“Ganindra juga?” tanya Amelia memastikan sekaligus mencari tahu. Pertanyaan berulang kembali dilontarkan Amelia.
“Tidak, dia ternyata masih butuh istirahat” jawab Ayodia dan berbalik mengawali langkahnya.
“Mba Amelia, kayaknya kamu harus pulang kembali ke Jakarta sendirian. Maaf, kami ternyata harus menginap beberapa hari lagi,”
“Apa betul Ganindra baik-baik saja?”
“Ya,” jawab Ayodia singkat dan membuang muka.
“Kamu tidak bohong kan?” cecar Amelia lagi.
“Sebagai istri karena perjanjian kotnrak, Mba Amelia tidak perlu tahu apakah itu kebohongan atau kebenaran,” ucapan Ayodia ini terasa menohok hati Amelia. Ayodia bahkan harus mengungkapkan perjanjiannya dnegan Ganindra. Ini bukti bahwa pertanyaan itu adalah pertanyaan yang haram untuk diungkapkan.
“Oh maaf. Terima kasih telah mengingatkan batasan saya,” ucap Amelia sopan, Ayodia yang menyadari bahwa dia juga terlalu keras hingga nyaris membentak Amelia seketika merasa bersalah.
“Maafkan aku juga mba, tadi kelewat emosi,” ucap Ayodia tidak enak.
“Iya aku juga, aku minta maaf,”
“Baiklah Mba Amelia, biar nanti supir yang mengantarkan mba ke Bandara, semua sudah diurus oleh staf kami,”
“Tapi setelah tiba, boleh gak aku ke rumah orangtuaku saja,” usul Amelia.
“Iya gak masalah mba. Terserah mba,”
“Baiklah, mungkin aku harus berangkat sekarang,”
“Iya mba. Hati-hati,” Ayodia memeluk erat Amelia sesaat.
***
Tepat tiga hari Amelia meninggalkan Ayodia dan Ganindra di Surabaya. Tidak ada kabar ataupun pesan dari Ganindra kepadanya.
Tok...tok…tok…
“Amelia, buka nak. Suamimu datang,” teriak Ibu Amelia dari balik pintu. Amelia yang hanya berbaring sembari membaca n****+ di ponselnya terkejut dan bangkit setengah berlari menuju pintu.
“Apa bu? Ganindra dateng?” tanya Amelia lagi saat pintunya terbuka.
“Iya,” Ibu Amelia mengangguk, “Bahagia banget kamu,” goda Ibu Amelia.
“Ah!? Gak kok Bu,” Amelia menyelipkan rambutnya ke belakang terlinga untuk menyembunyikan rasa canggungnya.
“Ya udah, nyusul gih ke bawah kasihan dia,”
“Baik bu,”
Setelah menutup pintu, Amelia kembali ke kamar. Tadi dia hanya memakai hot pants dan baju kaos longgar tetapi kali ini dia bingung pakaian apa yang pantas digunakan saat bertemu dengan Ganindra.
Astaga, kenapa aku harus bersemangat seperti ini sih, batin Amelia.
“Hai apa kabar?” sapa Ganindra saat asyik berbicara dengan Ayah dan Ibunya, Amelia datang menghampiri.
“Baik, kamu?”
“Sehat seperti biasa,” Ganindra mengulas senyum yang terlihat tulus tidak ada ditutupi sama sekali. Terasa aneh bagi Amelia padahal dia melihat dengan jelas ada sesuatu yang terjadi di Surabaya.
“Nak, masa panggil suaminya kayak gitu. Panggil Mas dong, hormatin suami,” tegur Ibu Amelia.
“Gak masalah kok Bu senyaman Amelia saja,” ucap Ganindra.
“Oh iya ini bunga untuk ibu, sampai lupa keasyikan ngobrol,” ucap Ganindra lagi dan menyodorkan buket mawar berwarna pink.
“Wah terima kasih nak Ganin, aku kira setelah menikah kamu hanya bawain bunga untuk Amel,”
“Buat ibu kok,”
“Terus buat Amelia gak ada?” tanya Ibu Amelia sedangkan Amelia hanya terdiam salah tingkah.
“Ada bu,” Ganindra mengeluarkan sekuntum mawar merah dari balik jasnya.
“Ini buat kamu,” Ganindra memberikan bunga mawar merah itu untuk Amelia, membuat kedua orangtua Amelia mengulum senyum. Mereka tahu bahwa masih ada rasa canggung keduanya. Oleh karena itu mereka berinsiatif agar Ganindra dan Amelia benar-benar menjadi pasangan suami istri. Orangtua Amelia tahu bahwa anaknya masih belum bisa melupakan Baskara, pria yang selama 7 tahun bersama putrinya.
“Maaf bu kedatangan saya kesini untuk mengajak pulang Amelia kembali ke rumah kami. Kemarin saya terpaksa harus tinggal di Surabaya karena mendadak ada klien yang harus saya temui, saya merasa tidak enak pada Amelia karena harus mengijinkannya pulang sendirian” ucap Ganindra. Berbeda dengan yang ditangkap oleh Amelia, ucapan itu malah terkesan mengada-ada. Bagaimana mungkin bahkan dokter Handoko menyusul Ganindra. Apakah Ganindra mengidap penyakit yang berbahaya, itulah kemungkinan satu-satunya yang menghinggap di pikiran Amelia.
Sejak kedatangan Amelia dari Surabaya, Amelia juga mendapat pertanyaan yang sama dari kedua orang tuanya. Untung saja tanpa dia dan Ganindra bersepakat, dia juga mengeluarkan alasan yang sama, sebuah keberuntungan untuk menepis rasa curiga. Ganindra harus tinggal karena urusan bisnis yang mendadak. Hal yang paling rasional untuk diungkapkannya.
“Tidak masalah Nak, bagaimanapun setelah menikah rumah ini harus menjadi rumah kedua Amelia,”
Setelah pembicaraan itu, Amelia membereskan beberapa pakaiannya dimasukkan ke dalam koper untuk dibawanya ke kediaman Ganindra. Rasa cemas dan entah ada perasaan asing yang seketika menyergapnya mengetahui hari ini dia akan pindah ke rumah suaminya, yah suaminya Ganindra Perkasa Adiwiguna.
“Baik Bu, Pak, kami pamit,” Ganindra bangkit dan Amelia menyusul diapit oleh kedua orangtuanya. Supir Ganindra dengan sigap mengambil koper milik Amelia untuk dimasukkan ke dalam bagasi. Pelukan perpisahan kedua orangtua Amelia, pelukan erat disertai tangis haru melepas kepergian putri mereka satu-satunya. Ganindra menyusul mencium punggung tangan ke dua orang tua Amelia yang disambut senyum sumringah orangtua Amelia.
Perjalanan dari kediaman Amelia menuju kediaman Ganindra dilalui dengan kemacetan yang lumayan panjang. Tidak ada pembicaraan keduanya, hanya sibuk menyelami pikiran masing-masing.
“Kam…,” mendadak keduanya berbicara bersamaan.
“Kamu aja,” usul Ganindra.
“Gak kamu aja dulu,” usul Amelia. Terasa lucu situasi canggung diantara mereka bahkan sulit untuk memutuskan siapa yang akan berbicara.
“Ya ud…,” kembali mereka berbicara bersamaan. Keduanya menghela napas panjang. Semakin mereka berbicara malah terasa semakin canggung.
“Apa benar kamu tinggal di Surabaya hanya karena urusan bisnis, aku melihat Dokter Handoko kemarin tergesa-gesa masuk ke kamarmu?” Amelia mengambil langkah pertama setelah keheningan dan Ganindra terlihat menunggu Amelia yang berbicara.
“Oh iya, kemarin aku mengalami keracunan makanan. Ada makanan hotel yang tidak cocok aku konsumsi,” jawab Ganindra.
“Sepenting itu hingga dokter Handoko harus datang?”
“Dokter Handoko kebetulan menghadiri seminar kedokteran di sana, dia memang memberitahuku bahwa dia tidak bisa lama saat menghadiri pernikahan kita kemarin. Jadi yah seperti yang kamu lihat”
“Kebetulan yang melegakan, dokter pribadimu ada di kota yang sama saat kamu sedang sakit,” senyum sinis terbit di sudut bibir Amelia. Entah dia merasa alasan yang diungkapkan oleh Ganindra itu hanyalah alasan yang mengada-ada.
“Yah begitulah kira-kira,” jawab Ganindra acuh.
“Tetapi…karena keracunan makanan kamu sampai lupa untuk menghubungiku,” entah apa makna dibalik pertanyaan Amelia ini, apakah rasa penasaran ataukah rasa kehilangan karena selama tiga hari Ganindra hilang tanpa kabar yang membuatnya resah.
“Ah!?” Ganindra ingin memastikan pendengarannya sekali lagi atas ucapan Amelia tadi, apakah hubungan mereka sudah pada tahap saling memberi kabar.
Astaga, aku salah ngomong, batin Amelia.
“Maksudku setidaknya kamu memberitahuku keadaanmu agar aku punya alasan kepada kedua orangtuaku,” sebuah alasan yang mungkin bisa menyelamatkan Amelia dari anggapan yang mungkin ditangkap berbeda oleh Ganindra.
Pertanyaan dan rasa penasaranmu itu akan membuatnya terasa sulit ke depannya Amelia, batin Ganindra.
“Tetapi ternyata kita mengeluarkan alasan yang sama kan?” tanya Ganindra kembali.
“Yah untungnya begitu,” ucap Amelia seolah lega.
“Iya aku minta maaf. Aku tidak ingin membuatmu khawatir dan maaf jika aku terlalu percaya diri bahwa kamu khawatir. Aku terbiasa untuk tidak membagi rasa sakitku kepada siapapun. Jadi untuk kamu yang baru saja datang ke kehidupanku, aku minta maaf,”
“Tidak masalah, memang kita tidak sedekat itu,” ucap Amelia setengah menyindir.
“Yah begitulah,” ucap Ganindra menimpali.
Keduanya sontak membuang muka ke masing-masing jendela di sampingnya. Keduanya sadar bahwa kata-kata terakhir mereka ternyata hal yang menyakitkan. Mereka seolah menyadari bahwa hubungan ini tidaklah nyata ada sekat yang tak kasat mata atas nama perjanjian pernikahan.
Untung saja tidak lama mobil Ganindra sudah memasuki pelataran kediaman keluarga Adiwiguna. Ganindra dan Amelia bersamaan turun dari kendaraan disambut oleh beberapa pelayan yang sudah tersenyum majikan mereka yang baru, Nyonya Adiwiguna.
“Selamat sore Nyonya,” sapa mereka kompak.
“Ah iy-iya,” ucap Amelia risih dan kikuk.
“Ayo Amelia kita masuk,” ajak Ganindra yang menunggu Amelia agar berjalan di sisiannya.
“Ah iya Ayodia kemana? Aku lupa bertanya soal keberadaannya tadi.”
“Dia sudah ke New York kemarin malam,”
“Ah!?”
“Iya dia memang seperti itu. Dia tidak pernah betah untuk tinggal di Indonesia,” ucap Ganindra mengulas senyum kemudian kembali melangkah.
Rumah Ganindra terasa lengang dan kosong, untung saja keberadaan banyaknya pelayan membuat rumah itu terasa hidup. Sebuah tangga besar terletak di tengah-tengah rumah sebagai pemisah bagian kiri dan kanan rumah.
“Amelia ini kamarmu dan jangan khawatir terhadap pandangan semua pelayan, mereka tidak akan bertanya sesuatu yang mereka anggap sebagai kelancangan,” Ganindra mungkin tahu kegusaran hati Amelia akan pandangan para pelayan bagaimana bisa pasangan suami istri harus tidur terpisah.
***
Tok…tok…tok…
Suara ketukan terdengar di balik pintu kamar Amelia.
“Maaf Nyonya, sekedar mengingatkan ini sudah jam makan malam. Tuan sudah mewanti-wanti agar kami tepat waktu memberitahukan Nyonya,”
“Oh baiklah. Terima kasih,”
Amelia menyisir sejenak rambutnya dan mengikuti pelayan yang turun ke lantai bawah menuju ruang makan.
“Gan…maksud saya Tuan tidak makan malam?”
“Tidak Nyonya, kami tidak berani saat Tuan berada di ruang kerja biasanya dia tidak ingin diganggu,”
“Oh baiklah,”
Pelayan terkejut mengira bahwa Amelia tetap akan melanjutkan makan malamnya tetapi dia berbalik dan bertanya, “Dimana ruang kerja Tuan?”
“Ke-ke arah sini Nona,” tunjuk pelayan itu hormat.
Setibanya ruang kerja Ganindra, Amelia berhenti sejenak mengambil napas. Apakah mungkin jika dirinya yang mengajak Gnindra dia juga akan merasa terganggu.
Tok…tok…tok…
“Masuk!” suara berat Ganindra di balik pintur.
Krek
“Amel…Amelia…kamu disini? Kamu belum makan malam?” Ganindra terkejut dan sontak bangkit dari kursinya menyapa Amelia yang berdiri di depan pintu.
“Silahkan masuk,” ucap Ganindra lagi.
Amelia menutup pintu ruang kerja Ganindra, setidaknya mereka butuh pembicaraan yang private walaupun hanya sebatas membahas makan malam.
“Apa bisa aku menghabiskan makan malam saat Tuan rumah tidak ikut makan?”
“Oh astaga, aku minta maaf. Ada berkas yang harus aku periksa karena pekerjaaan yang sempat tertunda kemarin,”
“Apa sudah selesai? Apa kita bisa makan malam bersama? Aku tidak suka makan sendirian,”
“B-baik lah,” Ganindra sebisa mungkin menyembunyikan senyum bahagianya mendengar ajakan Amelia itu.
Amelia berjalan lebih dahulu dan Ganindra menyusul layaknya bocah yang dituntun ibunya kemana dirinya harus melangkah.
“Semoga kamu suka masakan di rumah ini,” ucap Ganindra saat pelayan satu persatu datang menyuguhkan hidangan. Anehnya semua masakan itu adalah masakan kesukaan Amelia.
“Apa kamu bertanya makanan kesukaanku pada ibu?’
“Ah ketahuan yah,” Ganindra mengelus tengkuknya salah tingkah.
“Aku hanya mencoba agar kamu nyaman dan betah di rumah ini,” lanjut Ganindra lagi.
Bagaimana jika itu benar-benar terjadi bukankah nantinya akan terasa sulit bagi kita berdua, batin Amelia.