"Belum tentu kamu sama pacar kamu itu bakalan nikah, jadi sama aja gitu buang-buang waktu," lanjut Dellia lagi.
Rio hanya memberi respon dengan mengangguk pelan.
"Tapi kan, aku cinta sama dia Kak."
"Cinta apaan, palingan kamu tu cuman nafsu," sahut Dellia lagi.
Rio hanya menatap kesal Dellia, dan pria itu memilih kembali memainkan ponselnya. Kali ini Rio bermain game.
Pandangan Dellia yang fokus ke tv langsung buyar saat suara panggilan telepon. Terpampang nomor tidak dikenal, hal ini malah membuat Dellia ragu untuk mengangkat. Karena asik ragu ingin mengangkat, panggilan telpon itu langsung mati seketika. Dellia kembali hendak menaruh ponselnya, lagi-lagi ponselnya berbunyi, dengan terpaksa, Dellia mengangkatnya.
"Assalamualaikum Dellia cantik," sapaan di sana membuat Dellia tertegun. Siapa ini? Tapi suaranya seperti pernah Dellia dengar.
"Waalaikumsalam, ini siapa?" tanya Dellia dengan cicitan pelan. Rio yang sedang memain game melirik sekilas ke arah Kakaknya.
"Adam," jawaban disembrang sana membuat Dellia berpikir keras, seingatnya ia tidak pernah memberi tau nomornya pada Adam.
"Oh, ada apa?" tanya Dellia setelah lama terdiam."
"Hm rindu, kamu lagi ngapain?"
"Lagi nonton, kamu dapat nomor aku dari mana?"
"Dari Rio."
Dellia langsung melirik Rio tajam, sedangkan Rio yang emang dapat mendengar pembicaraan, ia hanya terkekeh pelan.
"Besok kamu mau nggak ke cafe bareng aku?"
"Hm, ngapain?"
"Buat perkenalan lebih lanjut aja."
"Besok aku kabarin ya. Yaudah aku tutup ya teleponnya, wassalamualaikum.
"Waalaikumsalam."
Setelah mendengar jawaban salam dari Adam, Dellia langsung memutuskan sambungan telepon itu.
"Ih Rio, kenapa kamu kasih nomor Kakak?"
"Ya nggak enak aja gitu, masa Kakak ipar minta nomor Kakak aku nggak kasih."
"Tapi ya nggak gitu juga. Kakak ipar apaan, aku sama dia itu belum nikah!"
"Udah deh Kak terima aja, aku aja kemarin di kasih skin lagend sama Kak Adam karena udah kasih nomor Kakak."
"Jadi dia nyogok kamu? Ya ampun Rio!" Dellia menatap kesal adik satu-satunya ini.
"Jangan-jangan kamu kasih tau juga ke Kak Adam kalau aku suka boba?" dan lagi lagi Rio mengangguk pelan. Dellia yang sudah terlanjur kesal, memilih untuk memasuki kamarnya saja.
"JANGAN MARAH KAK," teriak Rio.
"De, kenapa?" tanya Siti yang sekarang sudah berdiri di depan Dellia. Siti yang tadi sedang melipat baju langsung terkejut mendengar teriakkan Rio.
"Itu dia kasih nomor De ke Adam," Siti hanya mengangguk mengerti.
"Yasudah tidak masalah, lagi pula kalian emang harus berkomunikasi kan." Siti tersenyum hangat ke arah Dellia. Apa ini pertanda baik? Sepertinya penikahan anak pertamanya akan segera terjadi. " Emang Rio bilang apa?"
"Dia ngajak aku buat ketemu di Cafe. Tapi Dellia malas Bu, keluar sama Adam. Bukan nggak suka, tapi Dellia nggak biasa ketemu sama cowok nggak kenal."
Siti mengangguk pelan. Ia mengusap bahu Dellia pelan, ia sadar Dellia pasti banyak pikiran akhir-akhir ini. Emang perempuan akan sangat banyak pikiran saat berhubungan dengan penikahan.
"Ibu saranin kamu ikut aja De, tapi ajak Billa sama Intan ya."
"Iya Bu."
"Ibu harap kamu cepat kasih keputusan, jangan bikin anak orang berharap sama kamu. Ini juga nggak baik karena Adam tampaknya suka berkomunikasi sama kamu padahal kalian belum menikah. Cepat kasih kepastian, jika kamu menolak kamu bisa segera untuk tidak berhubungan lagi dengan Adam."
Entah kenapa mendengar kata tidak berhubungan lagi dengan Adam membuat Dellia sedih. Apa bisa perasaannya bisa tumbuh hanya dengan pertemuan singkat mereka?
"Iya Bu, doain Dellia ya."
"Tanpa kamu suruh pun Ibu akan selalu doain kamu, yasudah Ibu mau ke kamar dulu," Dellia mengangguk dan terdiam sambil terus melihat pergerakan Siti.
***
Keesokkan harinya tepatnya setelah selesai waktu dzuhur, Dellia tiba di Cafe yang disarankan oleh Adam. Setelah izin dari Ibunya Dellia emang langsung memilih untuk menerima ajakan Adam untuk bertemu, tentu saja dengan ditemani dengan Intan dan Billa. Tapi mereka berdua duduk di kursi yang agak berjarak dengan tempat Dellia.
Sebelum benar-benar masuk, Dellia berdoa terlebih dahulu, ia harap semua yang akan ia bicarakan dengan Adam tidak akan menghasilkan penyesalan nantinya.
Indra penglihatannya menangkap wajah Adam yang saat ini sedang menyesap air putih biasa. Rasa gugup menghampiri rasanya untuk melangkah ke arah Adam saja itu akan sangat memalukan.
Dellia melirik ke arah temannya yang sejak tadi terpaku penglihatan mereka ke arah Adam. Bahkan mereka berdua terlihat sangat memuja Adam. Ya Dellia akui Adam emang tampan, tapi rupa seseorang tidak menjamin kebahagiaan.
Dengan menelan rasa tekad, Dellia langsung melangkah mendekat ke arah Adam.
"Adam," panggil Dellia dan pria itu langsung meliriknya dan memberikan Dellia sebuah senyuman manis.
Sungguh Dellia baru tau jika mereka terpaut tujuh tahun dan Dellia kira Adam juga masih kuliah dan ternyata Adam sudah tamat. Hal ini membuat Dellia merasa tidak sopan dengan memanggil nama pada orang yang lebih tua, tapi Dellia malu jika harus memanggil Kakak.
"Duduk De," lihat bahkan Adam berdiri melangkah ke kursi yang berada di hadapannya dan mengeser kursi itu lalu mempersihkan Dellia untuk duduk.
Ya ampun Dellia pasti sudah menebak jika Intan dan Billa pasti sekarang melihat ke arah Dellia, dan hal ini semakin membuatnya malu.
"Makasih."
Dellia ingin segera pulang. Sungguh berlama-lama di sini bisa membuat Dellia jantungan. Apalagi dengan penampilan Adam yang sangat memukau hari ini.
Mereka diam untuk beberapa saat.
Adam menatap Dellia canggung, Adam sendiri bingung ingin membuka pembicaraan bagaimana, ia tidak biasa membuka obrolan pada wanita sebelumnya dan tentu saja ia mengajak Dellia ke sini juga karena saran dari Hito.
"Kamu naik apa ke sini?" tanya Adam, sungguh ia yakin ini adalah pertanyaan yang menjijikan.
"Naik motor," Adam mengangguk.
"Jadi kamu mau pesan apa?" tanya Adam sambil memanggil pelayan Cafe.
Pelayan itu memberikan Dellia sebuah menu dan Dellia memilih memesan lemon tea.
"Ada yang mau kamu tanyaain ma aku? Mungkin dengan gini kita bisa lebih mengenal satu sama lain," ujar Adam saat pelayan itu pergi dari sekitar meja mereka.
Sungguh ada banyak sekali pertanyaan yang berada dipikiran Dellia saat ini, "hm kita pernah ketemukan di kampus? Itu kamu kan?" dan lagi Dellia masih mengigat pertemuan mereka yang tidak mengenakan.
"Iya, maaf ya kalau aku bikin kamu kesal saat itu," Dellia mengangguk paham.
"Kamu ada keperluan apa disitu?" tanya Dellia lagi.
"Oh itu ketemu sama rekan kerja Papa aku," Dellia mengangguk paham. "kamu tau kan masih banyak kesalahan yang aku perbuat. Aku pengen berubah, aku pengen memantaskan diri dengan kamu. Tolong, tolong bimbing aku," ucapan Adam membuat Dellia terpana. Ia sadar tidak seharusnya ia berpikir negatif terhadap orang lain. Dan ia yakin semua orang bisa untuk berubah menjadi lebih baik.