Bab 7

1060 Kata
Hito menundukkan kepalanya saat matanya berhadapan langsung dengan mata Adam. Hito memukul mulutnya pelan, seharusnya Adam tidak berkata seperti itu. Jika begini Hito sudah membangunkan harimau yang sedang tidur. "Oh karena si Bapak tua itu udah nyekolahin lo makanya lo ngerasa harus balas budi? Jadi lo sekarang udah di pihak dia? Lo harus sadar To!!!" bentak Adam keras membuat seisi Cafe melihat ke arah mereka. "Lo itu disekolahin sampai jadi Dokter gini karena gue! Jadi lo jangan kepedean deh, kalau nggak gue yang nyuruh, si Bapak tua juga nggak mau nyekolahin lo." "Sorry Dam," balas Hito pelan. Adam yang sudah terlanjur kesal mengambil sendok garpu yang berada di sampingnya, lalu melempar garpu itu ke arah wajah Hito dan tepat mengenai dahi Hito hingga mengeluarkan darah. "Muak gue dengar orang minta maaf," ucap Adam yang bangun dari duduknya, berniat untuk kembali ke Kantor. Sebelum benar-benar pergi, Adam menyepak kursi yang di duduki Hito. Hito hanya diam dengan tangan kanan yang mengusap darah yang berada di keningnya. Sedangkan tangan kiri memukul kepalanya sendiri. Seharusnya Hito bisa menjaga omongannya tadi. *** Selepas selesai melakukan kewajibannya, Dellia langsung turun ke bawah dengan setelah yang rapi. Dellia memeluk Ibunya dari belakang yang saat ini sedang memotong cabai. Syukur tadi malam Dellia tidak terlalu lelah jadi pagi ini Dellia masih bisa membantu Ibunya memasak. "Sana De, Ibu susah gerak." Siti mengoyangkan pelan badannya agar Dellia melepaskan pelukan mereka. "Hehehe," Dellia terkekeh pelan ia melepasakan pelukan itu dan membantu Ibunya dengan membalik-balikkan nasi goreng yang berada di atas wajah. "De, nanti pas pulang kuliah langsung pulang ya. Jangan kelayapan." "Kenapa Bu?" tanya Dellia penasaran. " Adeh deh, makanya cepat pulang," Deliia mengangguk pelan, jika begini Dellia jadi terpikir untuk tidak masuk kampus. Dellia sangat penasaran dengan apa yang akan Ibunya bicarakan. "Dellia nggak kuliah Buk hari ini," balas Dellia yang sekarang memilih duduk di meja makan. Di dapur hanya ada Dellia dan Ibunya, Ayah dan Adik nakalnya itu entah kemana. "Loh kenapa?" tanya Siti dengan tangan yang sedang sibuk menata nasi goreng ke piring. "Dellia penasaran dengan apa yang bakalan Ibu bilang," Siti mengeleng-gelengkan kepalanya tidak habis. "Kalau Ibu bilang sekarang yang nanti kamu telat ke kampus," Dellia melirik jam dengan wajah cemberut. "Nggak loh Bu, masih tinggal dua jam lagi ke kampus." "Yaudah habis makan kita bicarakan," Dellia mengangguk dengan semangat. "AYAH, RIO," teriakkan Siti membuat Dellia menutup kedua telingannya. Suara Siti sangat membengkakkan telinga. Tidak lama dari teriakkan itu Rio dan Ayah tiba di meja dapur. "Nggak usah teriak kali Bu, tadi aku sama Ayah lagi nonton di ruang TV," ujar Rio yang akan mengambil start untuk makan lebih dahulu. "Udah baca doa belum?" ucapan Wisnu membuat nasi dengan lauk ikan itu tidak jadi masuk ke dalam mulut Rio. "Belum Yah," Rio tersenyum malu, dan mengangkat tangannya untuk berdoa begitupun dengan Wisnu, Dellia dan Siti. "Ibu mau bilang apa?" tanya Dellia saat ia sudah selesai makan begitupun dengan yang lain. "Kita ke ruang keluarga aja," Dellia mengangguk dan berjalan lebih dahulu ke depan diikuti oleh keluarganya di belakang tubuhnya. "Jadi gini, Ayah yang bakalan bilang apa yang sebarnya ingin Ibu kamu sampaikan," Dellia mengangguk dengan ragu. Entah kenapa sekarang perasaannya jadi tidak tenang, entahlah Dellia merasakan akan ada sesuatu hal yang bisa mengubah hidupnya setelah ini. Dellia menatap Ayah dan Ibunya dengan perasaan campur aduk, sedangkan Rio sudah pergi ke dalam kamarnya katanya sih mau main game. "Ayah bakalan ngejodohin kamu sama salah satu teman bisnis Ayah," ujar Wisnu dengan senyuman hangatnya. Ia sangat berharap jika anaknya menerima perjodohan ini. "Tapi Yah, aku kan," ucapan Dellia terputus saat ia sendiri bingung ingin mengucapkan apa. Ini sungguh mendadak, rasa-rasanya seperti Dellia baru saja diberi seribu tugas makalah. "Tapi kenapa? Dellia masih kecil," ujar Dellia yang membuat Siti tertawa pelan. "Kecil apanya? Kamu udah diumur yang legal untuk menikah," Dellia hanya cemberut, tetap saja rasa-rasanya Dellia masih saja seperti anak kecil yang barus saja masuk ke TK. "Apa Ibu dan Ayah menjodohkan Dellia karena takut Dellia masuk kedalam pergaulan bebas?" tanya Dellia dengan mata yang sudah berkaca-kaca. Dellia masih sangat betah dengan apa yang sudah selama ini dijalaninya. Seperti tinggal di rumah orang taunya, karena Dellia tau pasti jika dia menikaah, pasti akan dibawa pergi oleh suaminya kelak dan juga masa-masa bermain dengan temannya juga akan sangat terbatas. Dellia paham jika sudah menikah ia tidak bisa lagi sebebas sekarang. "Bukan sayang, tapi karena ini permintaan dari seseorang yang membantu kita sampai sejauh ini," Dellia mengernyit bingung. "Bantu apa?" "Kamu ingat saat dulu keadaan ekonomi kita sangat susah?" Dellia mengangguk pelan. Apa Dellia di jual? Dellia menggeleng, tidak-tidak mungkin kedua orang taunya tega melakukan hal seperti itu. "Mereka yang ngebantu kita De, awalnya mereka tidak mau membantu karena saat itu karena sangat besar biaya yang harus dikeluarkan agar perusahaan Ayah tidak bangkrut. Tapi saat melihat kamu yang tiba-tiba datang kepangkuaan Ayah saat itu, teman Ayah langsung menyetujui untuk mrmbantu Ayah dengan syarat setuju untuk menikahkan kamu dengan anaknya," jelas Wisnu. "Dan Ayah ngenyerahin gitu aja aku ke pria yang nggak aku nggak kenal?" air mata mengalir di kedua matanya. Dellia menghapus air matanya dengan kasar. "Jangan salah paham De, Ayah tidak langsung menyetujui. Ayah sudah bilang sama teman Ayah itu, jika semua keputusan akan kamu sendiri yang menentukan. Setelah ini kamu bisa dengan bebas untuk memilih," Dellia mengangguk dengan kaku. "Tapi apa alasannya Yah? Mereka orang kaya, kenapa nggak ngejodohin anak mereka dengan yang sama kayanya," Dellia tidak habis pikir, ia merasa orang kaya itu pasti ada maksud tersembunyi dan hal ini membuat Dellia takut. "Ayah pernah nanya dan Pak Alva mengatakan jika kamu cocok dengan anaknya." "Ibu harap kamu juga harus perpikir dengan serius masalah ini ya De. Ibu dan Ayah berharap kamu menerima perjodohan ini, tapi Ayah dan Ibu juga nggak memaksa," pungkas Siti. Dellia mengangguk pelan. "Yah, Bu, Dellia ke kamar dulu," Wisnu dan Siti mengangguk. *** "Astagfirullah, aku telat," Dellia merutuki kebodahannya sendiri, Dellia yang terlalu memikirkan tentang masalah perjodohan itu membuat Dellia jadi telat sekarang. Dellia menghapus air mata kasar, lalu menganti bajunya dengan baju berwarna pink dengan khimar berwarna maroon. Dellia sebenanya tidak ingin boros dalam berpakaian karena nanti ia bisa kelelahan dalam mencuci, tapi sayangnya bajunya sudah basah karena air mata. Tidak ingin membuang waktu Dellia berlari dengan cepat menuju kampus, dan jangan lupakan dengan wajahnya yang saat ini hanya memakai bedak baby dan liptin saja karena ia tadi sangat terburu-buru.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN