16. DI KETINGGIAN 2.540 MDPL

1275 Kata
"Di bawah langit malam, angin di puncak ketinggian, mendapati keromantisan yang nyata di depan." Langit semakin menghitam, begitu pula dengan suhu di ketinggian yang kurang lebih 2.540 MDPL terbayang bagaimana dinginnya, bukan? Api unggun di tengah perkemahan menjadi penghangat. Walaupun dingin menusuk, mereka memaksakan diri tidak sampai makan di dalam tenda. Devid masih berada di samping Devita, sedangkan Acha di dekat Bram yang memperlihatkan potretan tadi sebelum pendakian. Semua orang telah curiga, bahwa Bram dan Acha memang memiliki status lain, bukan hanya teman biasa. Namun, Bram hanya menanggapinya dengan canda. Toh, nyatanya dia cuma membantu Acha menemukan Devid yang sebenarnya. Jikalau, memang Devid yang ada di sana lupa ingatan, maka perjuangannya takkan terhenti. Ia harus menyadarkan lelaki itu. Walaupun rintangan di depan, sangat penuh liku. Tatapannya beralih menatap Acha, perempuan di sampingnya itu dengan santai menyuapkan nasi yang ditemani sup sayur, pastinya buatan chef Ikhsan. Dia lelaki satu-satunya yang bisa dibiliang langka. Karena, terlihat dari postur tubuhnya biasa, terlihat lelaki jantan, tetapi di saat menikmati masakannya sangat sempurna. "Jadi leader?" tanya Acha, memecah keheningan. Bram mengangguk. "Mau pindah kelompok?" tanyanya balik. "Enggak, ngapain juga." Tangan Acha merapikan helaian rambut yang diterpa angin malam, hidungnya juga terasa tersumbat. Melihat keadaan Acha yang dipastikan sangat kedinginan, Bram pun menyodorkan selembar penghangat hidung yang biasa pendaki pakai dan ditempelkan di tulang hidung. Acha menerimanya lalu membuka pelan pembungkusnya, ia ragu menempelkan. Hingga, jemari Bram yang menggantikan. Di bawah langit malam yang gelap, sedikit bintang terang menyelinap. Acha merasakan kedekatan yang teramat membutakan, ia lupa permasalahan tentangnya dan Devid. Detik berikutnya, Bram menekan pelan plester hangat itu. "Udah, nanti gak dingin lagi." "Thanks," balas Acha, seraya menunduk entah mengapa, ia menjadi gugup. Tanpa mereka sadari, kedua bola mata hitam di ujung sana mengintai. Tangannya memang memeluk pundak temannya memberi kehangatan, tetapi mata dan pikirannya terfokus menatap adegan barusan. Jadi, mereka memang pacaran? Bram juga terkenal akan para mantan yang cantik, tetapi tidak sesering Devid berganti-ganti. Ia lebih memfokuskan diri dengan hobi, katanya untuk pacaran hanya bonus di jalan. Jangan lupakan, karisma Bram bisa dibilang lelaki idaman. Kebanyakan yang berhasil ia pacari, pastinya anak gunung yang menantang ketinggian. Setelah makan malam selesai, pak Santo memberikan pesan untuk nanti pukul dua pagi, diharuskan cepat bangun dan bersiap summit attack jangan sampai ada yang halangan. Seperti malas bangun, kecuali ada yang merasa sakit jangan dipaksakan. Selanjutnya, pak Santo meminta Devita untuk jujur kepada anggota lainnya, bagaimana keadaan kakinya sekarang. "Udah baikan, kok, cuma sedikit pegel aja," jelas Devita, pancaran bola matanya meminta agar ia bisa menaklukan puncak, ia juga menggenggam jemari Devid di sampingnya. "Serius? Jangan dipaksakan, takut kenapa-napa soalnya track di depan makin menantang bukan gampang," komentar pak Bagas, mengingat ia juga yang sering dan semua jalur telah ditaklukan masih merasakan kesulitan. Devita menyenggol bahu Devid. "Ngomong, dong ... gua mau ikuttt!" omel Devita. Devid menarik napasnya panjang. "Kaki lo masih sakit, 'kan?" "Enggak!" tegas Devita, matanya meyakinkan Devid bahwa ia baik-baik saja. "Gua janji, nanti turunnya dibantu sama ...." "Saya aja," sela kak Bubun, mengingat ia harus bertanggung jawab juga. "Eh, gak papa, Kak?" tanya Devita, lalu mencubit kecil paha Devid. Devid hanya meringis dalam diam, memang sudah kebiasaan Devita. Setiap gugup atau mencari jawaban, kodenya dengan mencubit, sialan memang, batin Devid. Pertemuan malam itu pun selesai, beberapa orang masih dengan kegiatan masing-masing, membakar jagung, minum kopi dan ada juga yang merokok. Acha memilih masuk ke dalam tendanya, di sana pula carrier milik Devita sudah tersimpan, entah siapa yang menyimpan. Tidak lama, Devita masuk juga. Ia ingin cepat tidur katanya agar bangun nanti merasa segar. Sebelum Acha menutup pintu tenda, ia sempat melirik ke dekat api unggun. Bram dan Devid sedang bercengkerama, dengan bibir yang sama-sama menggapit rokok. Devid merokok? Sejak kapan? Bukankah masa SMA dahulu lelaki itu sangat menghindari? Entahlah, mungkin karena pergaulan di Jakarta, pikir Acha lalu ia pun membuka sleaping bag miliknya. Di samping, Devita sudah memejamkan kedua matanya. Jam tangan juga telah menunjukkan pukul sepuluh malam. Di dalam lingkaran kepulan asap kayu dan rokok, pembicaraan tentang anggota baru yang bernama Acha masih berlanjut. Bram menikmati pembicaraan itu, ia berkata jujur tentang dirinya yang tidak memiliki status spesial. Dari sana pula, Devid bertanya-tanya seolah ia pernah melihat dan mengenal wajahnya. Namun, lupa entah di mana. Karena Bram hanya sebatas tahu, bahwa Acha dan Devid bersahabat sejak kecil, ia bingung, apakah harus detik ini menyatakan pertanyaan Acha? Lalu bagaimana tanggapan Devid setelahnya? "Lo asal dari Jakarta, 'kan?" "Napa nanya gitu, emang gua keliatan dari mana?" Bram menjentikkan rokoknya, melepas abu. "Ada yang bilang, lo pindahan dari Bandung?" "Bandung? Kagak, gua asli dari Jakarta," balas Devid, seraya menghirup dalam rokok yang berhasil menghangatkan. "Kelas sepuluh SMA lo di mana?" Pertanyaan barusan membuat Devid terdiam. Jika, ia menjawab di Jakarta juga, tetapi di mana kenangannya? Tidak ada satu pun potret foto awal masa putih abu. Apalagi, masa SMP yang tertinggal cuma dirinya dan kedua orangtuanya, tanpa mengabadikan momen bersama teman lainnya. Devid mengerutkan keningnya dalam, tiba-tiba kepalanya terasa sakit, otomatis ia memegang sebelah kepalanya. "Eh, lo gak papa, Bro?" tanya Bram khawatir, mengingat bisa saja Devid memang lupa ingatakan karena kecelakaan. "Gua gak papa," balas Devid, ia sedikit mengerang lalu menginjak rokoknya sampai mati. "Gua masuk tenda duluan," pamitnya. "Nanti gua nyusul," balas Bram. Ia masih memikirkan kejadian barusan. Devid memang lupa ingatan, buktinya dipastikan tadi ia berpikir keras, mencoba mengingat masa lalu dan setelah percobaan itu seolah mendobrak pintu, kepalanya menjadi pusing. Mungkin ada obat yang menghalangi atau bisa saja Devid dipaksa melupakan tentang masa lalunya. Namun, mengapa? Bram menggigit bibir bawahnya kebingungan. Ia harus mencari tahu, lewat Devita juga, pasti dia tahu. Ia pun bangkit, menuju tenda yang masing-masing berisikan tiga orang. Di sana sudah ada teman satu rombongannya, masuk ke dalam sleaping bag menghangatkan tubuh. Waktu berjalan dengan cepat, tidak ada raungan harimau ataupun hewan buas lainnya. Tidak pula kejadian hal gaib. Karena, mereka semua sudah tahu sikap di alam liar atau terbuka, di mana bukan hanya mereka saja hidup di sana. Namun, merekalah yang mengunjungi tempat orang. Sampai, waktu pun tiba, terbangun karena alarm telah berdering dengan kerasnya. Acha mengerang merasakan tubuhnya terasa beku, padahal bajunya sudah diganti dan ditambah jaket super tebal. Ia pun keluar dari sleaping bag melihat Devita yang masih tertidur lelap. Di luar, bayangan para pendaki mulai hilir mudik bersiap summit. Tidak lama, seseorang menghampiri lalu berbisik di depan pintu tenda, Acha menyadarinya, tetapi tetap diam. "Bangun, Devita ... lu mau gua tinggalin, ha?" Acha terdiam membatu, refleks menatap tubuh Devita yang masih tertidur. Ia pun segera membangunkan temannya, hingga mata yang terpejam terbelalak, menegakkan tubuhnya. Lampu di dalam tenda telah Acha nyalakan. Mereka harus cepat bersiap. "Eh, dingin banget, ini beneran keluar sekarang?" tanya Devita malas, kedua tangannya diregangkan ke atas. Acha berhenti merapikan sleaping bag-nya. "Iya, mau liat sunrise gak?" Devita mendengkus, lalu mulai merapikan penampilannya seraya membuka pintu tenda. Mendapati pendaki lain dengan headlamp terpasang. Devid juga sudah bersiap, ia mengulurkan tangannya, dengan cepat Devita menyambut dan keluar dari tenda. Acha melihat rasa senang yang terpancar nyata, mereka memang cocok berpacaran. Tidak diragukan lagi, sama-sama pecinta seni dan karisma yang sempurna, sedangkan dia? "Jangan kebanyakan melamun, oi!" Acha mendongak, mendapati lelaki yang tidak kalah sempurna karismanya. Bram menarik tangan Acha dengan cepat keluar tenda, tanpa aba-aba, ia menangkap pose Acha yang bingung menatap ke depan. Jepretan kamera Bram membuat Acha tersadar, ia terbelalak. "Hapus, gak!" "Ogah!" Bram menyentil dahi Acha dengan gemas, lalu kembali menarik tangannya untuk bersiap menaklukan track berbatu, kerikil, menanjak dan di samping kanan dan kiri adalah jurang yang curam. Sekarang, tepat pukul 02.00 WIB di hari Senin pagi, bulan Januari. Cieee, Bram jail juga orangnya, nihh.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN