15. HANYA DEJA VU

1246 Kata
"Semoga, di awal perkenalan ini, semua rintangan untuk kembali mengingatkan, sangat gampang." Langit telah merubah warnanya tidak lagi bersinar cerah, disertai sengatan matahari yang menyengat. Hitam, tetapi dipenuhi beberapa bintang di atas sana. Jarum jam sudah menunjukkan tepat pukul 17.40 sangat di luar dugaan. Namun, bagaimana lagi, tadi Devita yang banyak beristirahat, ia sedikit terkilir di pergelangan kaki kanannya. Jadi, cara berjalannya menghambat perjalanan. Sampai, rombongan kedua pun bisa berdekatan dengan mereka. Langit yang semakin gelap, membuat kak Bubun menghentikan perjalanan. Memerintah untuk memasang headlamp dari sekarang. Karena, takut terjadi sesuatu. Jika, menunggu langit benar-benar menghitam dan di samping kanan kiri, tidak bisa memastikan di mana jurang yang menunggu korban dan jalan landai. Setelah beristirahat sejenak mereka kembali melanjutkan pendakian. Rasanya cuaca di sana sangat benar-benar dingin, jaket telah dipasangkan, tetapi baju yang basah oleh keringat membuat beberapa pendaki masih kedinginan. Track yang dihadapi tanjakan curam dan bebatuan, mereka sangat berhati-hati apalagi sekarang malam. Acha yang mengira-ngira jalan bebatuan di depan mencoba berhati-hati. Hampir, tubuhnya oleng ke samping kiri di mana jurang diam-diam menunggu pendaki jatuh ke dalam. Kedua bahu Acha terasa ditahan dari belakang, seseorang menolongnya dari maut. Acha berbalik, mendapati Devid yang tersenyum tenang. "Hati-hati," pesannya. Hingga di depan, sudah banyak tenda yang berdiri kokoh berwarna-warni. Devita sangat tidak sabaran, ia berlarian dan sialnya, kaki yang tadi terkilir masuk ke dalam lubang. "Aaa!" jerit Devita. Devid yang berada di belakang Acha, segera membantu temannya itu. Devita dengan wajah meringis mencoba menahan tangisan. Kakinya semakin parah, di depannya Devid mencoba mengurut area paling menyakitkan itu. Seperti yang biasa dirasakan, terkilir itu tidak gampang memberikan bekasnya. Jadi, Devid hanya meraba-raba asal, sedangkan Devita memejamkan matanya kuat. Kak Bubun pun menghampiri, memerintah untuk membawa Devita ke tenda salah satu pendaki di sana. Tanpa membuang waktu, seorang Devid membopong Devita sampai masuk ke dalam tenda. Acha diam mematung, apakah ia pernah dibopong oleh Devid? Apakah Devid pernah sekhawatir itu kepadanya? Lamunan Acha terhenti, kala Wisnu mengajaknya untuk siap mendirikan tenda. Karena tahu keadaan Devita yang tidak memungkinkan membantu, dengan terpaksa Acha dibantu juga oleh kak Bubun. Lelaki itu juga sedikit pendiam, tidak banyak bicara, hanya memerintah sesuatu yang diperlukan lalu fokus dengan kegiatannya lagi. Rombongan kedua sudah datang, mereka bersyukur membawa anggota lainnya aman sampai di perkemahan. Keberuntungannya lagi, tidak banyak pendaki yang mendirikan tenda di sana. Jadi, masih muat untuk 20 orang anggota itu. Bram menghampiri Acha, menanyakan keadaannya. Apakah ada yang sakit atau ada sesuatu yang terjadi? Acha menggeleng lemah dan meyakinkan ia baik-baik saja. Lalu, lelaki itu pun mencari keberadaan Devid dan menemukan berduaan di luar tenda, sedang mengurut pergelangan kaki kanan Devita. "Kenapa, oi!" Devita dan Devid meliriknya. "Biasa, cewek gak bisa diem!" Devita mendengkus. "Kecelakaan! Emang gua pengen kayak gini, ha?" balas Devita dengan wajah jutek, tapi masih terlihat kecantikannya. "Terus mau lanjut ke puncak?" "Nah, kan, jawab!" Sekarang Devita yang terdiam, ia masih merasakan rasa ngilu. Jika, menggerakkan kakinya itu, tetapi ia ingin menaklukan puncak atap Jawa Barat. "Kalian mau ninggalin gua gitu? Matahin semangat gua dan gagal naklukin puncak Ciremai?" Bram dan Devid saling berpandangan. "Semangat ... kita selalu ada buat Putri, kok," balas Bram menyemangati Devita, dengan wajah yang dimanis-maniskan. "Gimana caranya, Bram! Si Devita kesakitan gini, udah jangan maksain nanti makin sakit," protes Devid. Kentara sekali bahwa ia mengkhawatirkan keadaan Devita, apalagi ia dipesankan untuk menjaga Devita oleh ibunya. Devita mengerucutkan bibirnya manja. Ia mencubit pinggang Devid, agar menyetujui keinginannya. Namun, Devid malah berpaling, lalu memerintah Bram untuk mengganti memijat kaki Devita. Lelaki itu terlihat sangat lelah dan pergi meninggalkan mereka berdua. Di dalam tenda yang sudah rapi, Acha mulai membereskan barangnya, jam tangannya tepat menunjukkan pukul 17.40 berada di pos 5 Sanghyang Rangkah. Setelah dirasa aman semua pembekalan, Acha keluar dari tenda dan bersirobok dengan tatapan Devid yang kosong. Lelaki itu tepat duduk di depan pintu tenda miliknya, di saat Acha berdehem Devid tersadar lalu memberikan senyuman. Acha bingung harus berbuat apa, pandangannya menyapu sekitar. Semua orang sibuk dengan kegiatannya sendiri. Tidak jauh darinya, Bram sedang memijat kaki Devita, sedangkan Devita fokus memainkan ponselnya. Jadi, mengapa tidak Devid yang berada di sana? Acha keluar tenda dengan kaku. Bingung dan terdiam membatu. Sampai, tubuh jangkung Devid tepat di depannya lalu mengulurkan tangan. "Nama gua Devid, lo Acha, ya?" Kerongkongan Acha terasa kering, ia lupa apa jawaban yang dipertanyakan barusan. Jadi, laki-laki itu masih bertanya siapa namanya? Acha menelan ludahnya kasar, lalu menjabat tangan itu. Dulu, setiap sebelum tidur, tanpa sepengetahuan Devid ia selalu memainkan telapak tangannya. Kadang, menggelitiki, tetapi Devid yang terlelap tetap diam, membuat Acha semakin memainkan tangannya. "Liatinnya biasa aja kali," kekeh Devid, semakin melebarkan senyumannya. Acha memalingkan wajahnya, terlihat bersemu merah menahan malu. Tanpa ia sadari, tangan mereka masih terjalin, Devid memanfaatkan dengan cepat, mengajak Acha ke sebelah Barat di mana, nampak senja yang siap menghilang. Tangan mereka masih mengerat dan Acha menikmati momen itu. Sedetik kemudian ia tersadar, mereka masih berada di zona tidak saling mengenal. Jadi, sangat aneh jika berprilaku seperti itu. Devid terkekeh, ia menebak Acha itu penggemarnya yang jauh dari UI dan masuk MAPALA hanya ingin bersama dengannya. Tentu saja, nama Devid dan karismanya sudah banyak dikenal wanita. Mereka tidak akan menyia-nyiakan momen. Sudah tidak biasa dikejar penggemar, batin Devid. Ia pun duduk beralaskan tanah, menikmati keindahan di depan. Meskipun tidak ada cahaya dari rumah penduduk yang menghiasi. Acha menurut saja, ia duduk di samping Devid dan berkata, "Gua dulu sempat punya sahabat, tapi sekarang hilang gak tau ke mana." Devid melirik penuh Acha, dari samping terlihat kecantikan naturalnya. "Cewek apa cowok?" "Cowok." "Kenapa bisa hilang? Pasti dia punya alasan." Bola mata Acha terasa panas, menahan air mata yang pasti akan keluar. Apakah ia sanggup menceritakan sahabat yang dicari kepada orang di sampingnya? Dan nyatanya dia yang dicari. Namun, mengapa seolah tidak mengenali? Acha diam sejenak dan pelan menatap langsung bola mata hitam legam milik Devid. Menghirup udara dalam-dalam, sebelum mengatakan sesuatu yang dapat mencairkan suasana sampai ke titik, di mana ia akan bertanya siapa nama ibunya Devid. "Dia itu mirip kayak lo, bobrok, sok ganteng, banyak ceweknya lagi." Devid tertawa keras. "Jangan bilang lo lagi ngomongin gua, ha?" "Enggak, kalo iya bukannya lo gak kenal sama gua? Berarti lo bukan sahabat kecil gua, Dev." Suasana menjadi hening. Entah mengapa, Devid terdiam mencerna ucapan Acha barusan dan panggilan dirinya yang terakhir. Terasa ada yang beda, di saat Acha hanya memanggil namanya. Namun, ia segera menolak ingatan-ingatan aneh. Kata ibunya, semua hanya Déjà vu dulu ia pernah kecelakaan, merenggut ayahnya dan dia sendiri hanya mengalami luka di kepala. Lebih tepatnya lupa ingatan. Di sanalah, Dinda membuat skenario tentang masa lalu dan Devid percaya saja. "Gua emang gak kenal sama lo, tapi semoga cepat dipertemukan sama sahabat gak tau diri itu." Balasannya membuat Acha tertawa hambar. "Devid Prabu Androno, 'kan?" Devid tidak terkejut, Acha tahu kepanjangan namanya. Toh, ia sudah terkenal semenjak duduk di bangku SMA ia pun mengangguk mengiyakan. Acha memilin jaket bawahnya, menimang pertanyaan selanjutnya, lalu ia meyakinkan harus bertanya sekarang juga. "Fotonya masih gua pe—" "Oi! Berduaan mulu, ya!" seru Devita, membuat Acha dan Devid berbalik menatapnya. Jadi, ucapan Acha terpotong. Kembali harus dipendam, sampai kak Bubun memukul panci pertanda makan malam akan dimulai. Mereka pun menghampiri Devita dan Devid segera memapah temannya. Melupakan ucapan terputus Acha, dari kejauhan Acha menatap punggung sahabatnya yang semakin menjauh. Kini, api unggun sudah menyala menghangatkan tubuhnya. Bram menghampiri, duduk bersila di sebelahnya. "Gimana track-nya?" "Lumayan." Lumayan menahan cemburu, ya :)
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN