02. BERKEMAS

1184 Kata
"Tuhan, selalu tahu bagaimana kita pergi dari zona keraguan. Di mana luka terasa, apalagi senang yang tak pernah datang menyapa." Acha Sepanjang jalan, aroma wangi segar bunga yang berjejeran tertanam menjadi daya tarik—ciri khas akan Kota Kembang. Kupu-kupu dan kumbang, saling menyapa di setiap kelopak bunga. Mengantarkan pesan, malam akan tiba bersiaplah pergi dan esok kembali. Di balik kaca tebal sebuah bus seorang gadis menatap nanar jalanan luar, bersandar tak ada teman. Hidupnya berubah total, menjauh pergi dari keramaian. Memang, memiliki rahasia itu sangat menyakitkan, apalagi orang yang teramat dekat kini menghilang. Suara dering ponsel tak dihiraukan. Biarkan berteriak bising, ia dulu juga seperti itu. Menangis tak dipedulikan, maka biarkan seorang perempuan kerap dipanggil mama merasakan. Bus pun berhenti di sebuah halte, mengangkut manusia baru atau turun sampai di tujuan. Bangku kosong di samping Acha kini sudah diduduki. Seorang lelaki berparas biasa, tetapi rapi. Mereka sama-sama terdiam, sampai bus kembali berjalan. Kumandang Azan Magrib terdengar mengalun damai, begitu pula dari arah depan—pengemudi. "Kamu Acha, teman Devid?" Acha tersentak, mendapati raut wajah tanya. Dia tak pernah menangkap wajah itu. Jika, memang mereka pernah bertemu di sekolah. "Iya, tau dari mana?" Lelaki yang memiliki kumis tipis itu tertawa sumbang. "Tau atuh. Meskipun ... kelulusan udah sebulan yang lalu, tapi jangan biarkan berlalu, hehe." "Emang elo siapa?" "Kamu teh gak kenal sama saya? Aduh ... padahal dari taun ajaran pertama." Lelaki itu menggantungkan ucapannya, "sampai tiada, saya satu bangku sama Devid." Acha seolah direnggut masuk ke dalam lautan penyesalan lagi. Ia mengingat bagaimana truk oleng menabrak langsung tubuh Devid sampai terpental jauh. Dikelilingi orang di bawah guyuran hujan. "Oh, sorry gua gak pernah masuk ke kelasnya." Acha tersenyum kaku dan kembali menatap jalanan, sudah diterangi lampu temaram. "Kadang, saya juga rindu sama gelak tawanya. Apalagi kalo de—" "Cukup, gua gak mau denger apa-apa lagi." Lelaki itu terlihat sangat terkejut. Namun, ia memilih menyimpan ucapannya yang merasakan rindu kepada teman satu bangku. Teringat bagaimana Devid selalu memberikan jajanan, di mana ia tak bisa membeli karena keadaan ekonomi. Semua tergambar jelas kesetia kawanannya. Sekarang berbeda, tak ada lagi gelak tawa di kelas. Bisu adalah haru. Bus kembali berhenti dan di situ Acha harus turun pergi. "Rumah Devid juga di sini berarti, ya?" Acha tetap berjalan menuju pintu keluar, sedangkan orang yang bertanya hanya bisa menelan ludah kasar. Sampai menapaki jalan beraspal, langkah Acha kembali gontai, memang tak ada kenangan di malam hari bersama Devid. Kecuali di saat makan-makan tahun baruan. Bernyanyi di bawah sinar rembulan, diiringi petikan gitar. Semua sirna, kala lelaki pemilik senyum manis itu pergi. Bukan meninggal dunia, tetapi pergi menghilang. Jejak di Jakarta belum ditemukan, mengapa? Entahlah, setelah malam mencekam tiba. Komunikasi bersama Dinda hilang juga, mungkinkah ingin hidup tanpanya? Halaman rumah yang terbiasa kosong melompong kini didapati sebuah mobil Alpart putih. Sudah dipastikan dua manusia itu datang, siap meluncurkan nasihat bak orangtua paling sayang kepada anak. Acha ogah-ogahan berjalan, di dalam ruang tamu cahaya lampu sudah terang. Saat langkahnya menuju anak tangga, teriakan Sinta menggema memerintah agar makan malam bersama. Apakah Acha akan menurut? Tentu saja tidak. Makan di depan dua manusia itu? Ayolah, lebih baik ia tidak makan sekali pun. "Acha, mama mau bicara sebentar!" seru Sinta lagi. Namun, suara ketukan sepatu Acha sudah membuktikan bahwa ia tetap berjalan menuju kamar. Suasana sepi dan kegugupan menjadi teman, terpaksa sepasang suami istri baru itu menyuapkan nasi dengan enggan. Pengantin baru, adalah panggilan sangat cocok bagi mereka. Setelah Devid dikabarkan meninggal, semua rahasia memang telah terbongkar. Membuat mereka semakin dekat, tak peduli bagaimana keadaan Acha di rumah. Di mana perpisahan SMA Garuda berakhir, di sana pula gedung megah menjadi saksi pernikahan Sinta dan Mahendra. Tanpa manusia kecil berada di samping, apalagi Reina, tak ada kebencian kepada sahabatnya, tetapi sang ayah. Sebuah koper sudah siap dimasuki barang berharga Acha, esok hari adalah jawaban di mana ia akan mencari tahu keberadaan Devid. Takkan jauh, mereka akan sama-sama berada di kampus ternama di Jakarta. Universitas Indonesia, semua akan kembali seperti dahulu. Walaupun, mungkin Acha akan terlihat bersalah karena ulahnya. Namun, ingatlah rasa rindu akan mengalahkan semua ego, foto polaroid masih terpajang di dinding. Berayun oleh angin malam, memaksa bibir harus tersungging. Banyak harapan, ia pasti bisa menemukan. Jika, perlu menyebar orang untuk mencari nama yang dirindukan. Di saat Acha merapikan berkas pendaftaran, sedangkan orang lain memilih jalur Online, dirinya memilih akan langsung ke kampus sana, Sinta memasuki kamar. Namun, tak dapat menghentikannya berkemas. Decakan menahan emosi terdengar, memang dari jauh hari Acha tahu itu, ibunya takkan menyetujui karena di Bandung juga banyak Universitas ternama. Hal konyol menjadi alasan Acha pula, tak pernah diucapkan langsung. Karena, Devid tetap rahasia, jangan biarkan orang lain mengetahui kehidupannya. "Kamu keukeuh pengin ke sana? Kalo iya, daftar online, Cha ...." Sinta mulai geleng-geleng kepala, anaknya itu tak menghiraukan. "Di sana mau ngekos? Kamu yakin, ha? Gak tau kehidupan Jakarta sok-sokan ber—" "Ma!" Acha memotong, "Acha udah gede, ada banyak informasi yang bisa diakses di sana. Bukan berarti gak pernah ke Jakarta bodoh dalam segalanya." "Ya udah, kalo buat pendaftaran online aja! Toh, emangnya kalo kamu daftar langsung ke sana yakin di terima di UI? Percuma ke sana, ngabisin uang." Acha terdiam, menatap kedua bola mata yang warnanya sama sepertinya, cokelat gelap. Jadi, memang wanita di depan itu tak tahu banyak hal. Di mana, saat perpisahan SMA bukannya datang membawa ijazah bersama, ia memilih liburan sambil memilih gaun pernikahan. Cih, Acha enggan menganggap seorang ibu kandungnya. "Ini masih di Indonesia, Ma, padahal para guru udah menjamin kalo Acha bisa lolos pertukaran pelajar di Inggris. Tapi, Mama gak tau semuanya, Acha masih di Indo, Ma, Acha gak minta lebih mau ke sana! Acah masih di sini ...." Mereka terdiam, sampai air mata bening itu jatuh mengalir ke pipi. "Mama gak tau segalanya tentang Acha, Mama fokus dengan karier dan lelaki itu! Kurang apa Acha selama ini, ha? Uang? Oke, Acha bisa kerja di sana, tanpa mengharap trans—" Sinta memotong ucapan anaknya dengan memeluk erat, merasakan gemetar tubuh kecil satu-satunya. Tak ada rasa penyesalan di hati Sinta selama kehidupannya berjalan, tetapi kekecewaan Acha barusan tersampaikan. Lolos sudah ego mereka, keterdiaman tak menjamin bahagia terasa. Mereka sana-sama memendam luka. Namun, Sinta selalu melampiaskan dengan poya-poya. Membeli barang bermerk, hanya menunggu pujian grup sosialitanya. Melupa, ada buah hari yang mengharap kasih sayang darinya. "Mama minta maaf, Cha, selama ini selalu menentingkan hidup sendiri," lirih Sina, semakin mengeratkan pelukan hangat sebagai ibu. "Acha capek, sampe dulu pernah mau bunuh diri! Karena siapa? Kalian!!" Acha menjerit kesal. "Acha masih di sini, Ma ... Acha cuma pengin keluar dari rumah ini, gak lebih ...." Di belakang pintu kamar yang terbuka sedikit, seseorang memakai jas hitam menghirup udara tenang. Ia berharap anak dan ibu itu bisa akur lagi. Meskipun sebelum ada kehadirannya memang terlihat ragu, mengatakan mereka memiliki darah yang sama. Namun, pikirannya melayang lagi, semoga anak itu dapat menerima, semua keputusan sang ibu menjadi istri sah kedua. Walaupun berakhir anak kandungnya pergi menjauh, enggan menelan pahit kenyataan. "Jadi, kamu tetap mau ke Jakarta sendiri?" Acha melepas pelukannya, ia menatap wajah perempuan itu. "Iya, gak usah diantar. Acha bisa kok." "Bailah, mama gak bisa larang kamu lagi." Sinta tersenyum hangat, lalu mencium kening putrinya hangat. "Lanjutkan berjemasnya, mama keluar dulu." Saat Acha siap membuka lemari baju, tak salah lagi pendengarannya menangkap seseorang di balik pintu menghentikan langkah Sinta di sana. "Kita antar, itu akan menjadi permintaan terakhirku sebagai ayahnya."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN