"Kenangannya sekarang sudah tertinggal, cukup melepaskan saja. Karena detik ini, laju mobil akan mengantarkan, di mana penyembuh luka berada."
Acha
Semilir angin pagi berhasil masuk ke lubang kecil di atas jendela kamar, mencoba membangunkan begitu segarnya hari di mana matahari siap menyapa dunia. Tak ada jam beker menjadi penanda siang, apalagi teriakan seorang ibu membangunkan buah hatinya. Semua membisu, sampai selimut tebal membalut tubuh yang ramping menggeliat. Sinar matahari memang tak tembus, tetapi terasa saja bahwa pagi telah tiba. Salat, bukannya enggan mengerjakan, hanya saja ada rasa menjanggal dan malas untuk melaksanakan.
Tubuh ramping itu merangkak, menatap jam kecil di atas nakas menunjukkan pukul 07.15 sudah waktunya bangkit dan masuk ke dalam kamar mandi. Dentingan alat dapur terdengar, itu adalah hal baru setelah sekian lama tinggal sendiri di rumah. Sinta dan Mahendra masih di sana, menunggu anak yang akan diantar ke luar kota. Tinggal sendiri lagi. Namun, ia percaya di sana lebih baik, daripada tertanam di rumah penuh masa lalu dan rahasia.
Langkahnya memasuki kamar mandi, tanpa semangat mengguyur tubuh telanjangnya dengan air dingin. Tidak ada niatan untuk kehangatan di pagi hari, ia ingin merasakan guyuran seolah air hujan. Sekali pun sedang sakit menyapa. Selesai membersihkan diri ala kadarnya, setelan baju sudah tergantung di balik lemari kayu. Tatapannya kembali menangkap lamunan lama. Waktu itu, mengendap di malam hari hanya untuk membawa sweater, tetapi berujung menjatuhkan sesuatu.
Bukan permen ataupun cemilan cokelat. Itu adalah obat, rahasia yang terpendam lama. Acha menyandarkan tubuhnya setelah menutup pintu lemari, menghirup udara panjang. Siapkah ia memulai pencarian? Lalu meminta maaf atas dorongan mengakhiri semua penglihatan? Tidak semudah itu. Siapa pun manusia di dunia, takkan lupa akan rasa sakit yang dialami Devid, termasuk dirinya. Rasa benci, akan diberikan lelaki itu.
"Cha ... sarapan, yuk!" Suara Sinta terdengar dari arah tangga, sandal berhak tingginya menggema, Acha pun menghapus bulir air mata yang menggenang lalu memakai bajunya cepat.
Pintu kamar yang tak terkunci terbuka, menampilkan wajah itu lagi dipenuhi beberapa sentuhan alat kecantikan dari merk ternama. Didapati Acha sudah siap, Sinta pun kembali menutup pintunya. Koper dan tas kecil sudah ada di tangan. Sekali lagi, Acha menatap semua penjuru kamarnya. Dulu, sangat dulu, semua terkenang jelas di sana, semua nyata gelak tawa mereka. Sekarang, haruskah benar-benar meninggalkan tempat kelahiran? Acha menunduk, merasakan air mata kembali turun.
"D—def ... demi elo, gua bakal tinggalin semua kenangan yang ada di sini." Acha berjalan perlahan, menuju puluhan polaroid yang menggantung indah.
Senyuman ceria masih terpampang jelas, menertawakan orang-orang di lapangan, menatap kamera dengan wajah konyol. Sampai, waktu perpisahan SMP tinggal kenangan semua. Ia tak mampu membawa foto itu masuk ke dalam koper, lalu terpajang di rumah baru di Jakarta. Jangan, biarkan semua tangkapan di ponsel saja yang terbawa. Terasa pilu untuk menggenggamnya juga, sudahlah, semua akan terjawab karena sekarang siap berangkat.
Meja makan telah dipenuhi hidangan, hal baru pula, Acha pun duduk dengan terpaksa di antara Sinta dan Mahendra. Lelaki memakai jas berwarna abu itu tersenyum kecil, tetapi Acha tak peduli ia ingin cepat menyelesaikan semua. Tak ada percakapan, mereka khusyuk sarapan, hanya sedikit perbincangan. Sampai Acha harus mengakhiri, semua sangat basi membicarakan pekerjaan, rapat, dan pendapatan.
"Ya udah, kita berangkat, ya?" Mahendra bangkit, mengikuti Acha yang sudah tak tahan ingin pergi.
"Aku bereskan dulu, kamu duluan ajak ngobrol dia," balas Sinta, Mahendra pun mengangguk sambil mengekor di belakang Acha.
Di luar suasana sangat damai, bising kendaraan di pagi hari menjadi pemandangan biasa. Namun, tak ada harum wangi berasal dari rumah sebelah. Di mana, Dinda membuat kue pesanan pelanggan setiap hari, rasa durian paling diminati sampai wanginya terbawa angin. Acha meletakkan koper, tetapi segera tangan besar itu menariknya cepat dan memasukkannya ke bagasi. Ia mengiyakan saja, seraya menghirup udara dalam-dalam.
Langkahnya mendekati pagar rumah. Berakhir mendekati halaman rumah yang memiliki ring basket. Kenangan lama itu kembali datang, ia berlarian bersama Devid, sedangkan Reina mencoba memasukkan bola. Tak lupa, lelaki yang memiliki bola mata biru tua menatapnya datar di sana, di balik jendela, seolah menghindar akan kedatangan yang tak diharapkan. Sampai di sini semua, apakah ia akan kembali hanya untuk berkunjung? Acha ragu. Jika, Sinta memilih mempertahankan rumah ini, sedangkan ia tinggal bersama Mahendra.
Kakinya kembali melangkah, mendekati pagar rumah berwarna putih. Bukan lagi teriakan memanggil 'Changcuters' dari teras rumah. Namun, celotehan anak kecil berusia tiga tahun di sana, ya, mereka keluarga baru yang menempati rumah itu. Rumah penuh kenangan, likuan, dan tawa riang. Acha menunduk dalam, biarkan semua sirna, ia akan menyapa orang yang tinggal di sana. Suara pagar didorong mengagetkan Acha, Sinta tersenyum kaku lalu mengangguk mengiyakan untuk masuk.
Acha pun masuk ke dalam mobil, sedangkan Sinta berada di samping Mahendra. Mobil melaju cepat, menerbangkan dedaunan kering, melewati pedagang kaki lima di trotoar jalan. Bunga-bunga jalanan mulai bermekaran, kapan lagi ia bisa melihat semua ini? Apakah di Jakarta akan sama? Acha menggeleng lemah, menyandarkan kepalanya ke jendela. Tangannya merogoh ponsel, lalu menyumpal lubang telinga dengan sebuah iringan musik.
Sepanjang perjalanan hanya diisi dengan pembicaraan dua orang di depan. Perjalanan menuju Depok masih lancar, kecuali sekarang kemacetan melanda. Kini sore telah menanti, Acha meregangkan kedua tangan tebangun dari tidur lelap. Mobil pun menepi di sebuah parkiran restoran ternama. Ah, ia lupa kedua orang itu memang penyuka hura-hura. Membuang uang adalah hobi. Jadi, Acha bisa pasrah saja mengikuti keinginan mereka.
"Pesan apa yang kamu mau, Nak, jangan sungkan." Mahendra mempersilakan Acha terlebih dahulu, setelah seorang pelayan menghampiri mereka.
Acha berucap malas, "Nasi goreng sama teh manis aja."
Sinta tersenyum kaku. "Ya udah, a—"
"Acha suka apa, Ma? Masa nasi goreng doang?" potong Mahendra karena ia merasa agak aneh dengan anak tirinya itu.
"Ah, Acha kamu suka apa?" Bukannya menjawab pertanyaan dari Mahendra, Sinta malah bertanya balik kepada Acha. Tentu saja ia tak tahu, dengan nilai saja tak peduli apalagi dengan kesukaan?
"Udah, nasgor aja," balas Acha, terlihat malas untuk menjawab.
Si pelayan hanya tersenyum kecil lalu menuliskan pesanan di catatan kecilnya. Setelah pesanan disampaikan, kecanggungan dirasakan oleh tiga manusia itu. Untuk mencairkan suasana, Mahendra kembali mengungkit Acha yang memilih nge-kos bukannya menerima tawarannya membeli apartemen. Namun, ditolak mentah-mentah, dengan alasan ingin belajar dan bersosialisasi. Aneh memang alasannya, tetapi ia tak bisa memaksa, selagi tak menimbulkan masalah besar.
"Kamu gak punya apa kenalan di depok?"
Sinta mengerutkan keningnya dalam. "Kurang tahu, sih, kebanyakan di Bandung. Palingan, kalo ada pindah ngikut sama suaminya."
"Aku khawatir, Acha 'kan perempuan ...," lirih Mahendra sambil melirik wajah Acha yang ditekuk.
Gadis yang memiliki mata cokelat itu meliriknya dan menimpal, "Bakal aman kok, di sana khusus perempuan doang. Ada yang campuran, tapi fasilitasnya gak menguntungkan."
"Emang kamu udah survei ke sana?" tanya Sinta.
"Ya ampun, Ma ... emangnya harus survei doang menentukan kosan? Ada internet sekarang, kemarin Acha video call sama yang punya," jelas Acha, menahan emosi.
"Kalo itu memang baik, ya, baiklah," putus Mahendra.
Acha mendelik sebal, dasar padahal lekaki itu yang memancing percakapan ke sana lagi. Bukannya sudah dipastikan aman dari jauh hari? Ah, mereka hanya beradu akting sebagai orangtua, nyatanya hanya bohongan belaka. Pesanan pun datang menyajikan harum masakan paling mahal. Acha tahu, nasi goreng yang dipesan dua kali lipat harganya dibanding langganan di pinggir jalan sana. Di setiap malam, tanpa seseorang menemani luka dalam.