11. LUPA INGATAN?

1150 Kata
"Satu titik telah ditemukan, ternyata ada masih banyak titik yang belum dibuka kebenaran di depan." Acha telah menjawab pertanyaan yang menegangkan bagi semua anggota MAPALA. Ia telah memutuskan untuk ikut mendaki gunung Ciremai tanpa paksaan, di sana pula perempuan yang bernama Devita, berkenalan dengannya. Namun, tanpa orang yang diharapkan Acha. Mereka bertukar sedikit cerita tentang pengalaman mendaki, ternyata Devita lebih sering diajak Devid waktu SMA ke beberapa gunung yang ketinggiannya di bawah gunung Ciremai. Melihat Devita dan Acha mulai dekat, Bram merasa lega. Karena, akan dipastikan Acha bisa pula berbicara dengan sahabat yang dicarinya. Yang anehnya seolah tidak ingat bahkan tidak pernah mengenali. Bram ingin bertanya, tetapi bukan hari itu pula. Jika, langsung ke inti pasti Devid akan menatapnya aneh. Mengingat sangat banyak penggemar, takutnya Acha mengada-ngada bahwa mereka sejak kecil bersahabat, pikir Bram. Setelah perkenalan selesai, Bram pun mengajak Acha untuk segera pulang. Dalam hati, Acha menangis dan kecewa akan sikap Devid. Mengapa lelaki itu memilih fokus dengan ponselnya? Ia tidak menyapa, lirikan matanya hanya tadi saja sewaktu Acha memperkenalkan diri. Satu per satu anggota MAPALA keluar pergi, tinggal mereka berempat, sampai Devita pun pamit tidak lupa meneriaki Devid yang masih menunduk memainkan ponsel. "Lu mau nginep di kelas ini, ha?" tanya Devita karena tubuh Devid masih diam kaku, seperti itulah anak gamer seolah tuli. Jika, di depan ada banyak musuh yang harus dibantai. "Bentar, dikit lagi," balas Devid, tidak mempedulikan ajakan Devita. Kedua tangan Devita menarik cepat bahu Devid. "Pulang!" Devid berpaling, menatap kesal kepada temannya. Ia pun bangkit seraya menjinjing ranselnya malas. Sebelum keluar dari ruangan, ia sempat melirik anggota baru itu. Dari tatapannya seolah menyimpan ribuan tanya, Devid pun berbalik. "Duluan, Bram!" Karena lupa dengan nama perempuan di samping Bram, Devid hanya mengangguk di akhiri senyuman. "Iya," balas Bram, seraya berdiri lalu melirik Acha di sampingnya yang diam membatu. "Itu sahabat lo?" Acha mengalihkan pandangannya dari depan, di mana tadi punggung tegap Devid semakin menjauh hilang. "Gua gak ngerti, sumpah! Dia kenapa?" "Kok, nanya ke gua," protes Bram. Sampai ia pun berucap, "Lo bisa ceritain gak, kenapa kalian bisa pisah? Kalo emang sahabatan?" Sekarang Acha yang terdiam. Apakah ia harus menceritakan dari awal tentang Devid? Di mana lelaki itu mengungkapkan rasa suka hingga berakhir luka? Acha menunduk dalam, sambil menghirup udara dalam-dalam. Tahu, tidak sanggup menceritakan masa lalu, Bram pun mengajak Acha untuk pergi cepat dari sana. Lalu melupakan permintaannya barusan. Sesampainya di dalam mobil, kebisuan menyelimuti. Namun, Bram segera menyalakan radio dengan lagu-lagu melow. Jalanan terlihat padat tidak lenggang, seperti di Bandung. Cuanya masih sama saja, gersang. Jika, hujan akan ada banyak air yang naik ke jalan. Beginilah keadaan Ibu Kota, sangat memprihatinkan. Andaikan, seenak pandangan orang. Bersih tertata begitupula generasi mudanya. Acha sempat berpikir keras. Jika, ia terlalu memikirkan Devid, akan tidak baik otak fokusnya mencerna pelajaran. Jadi, haruskah menyadarkan, mencari kebenaran Devid melupakan ditinggalkan? Itu tidak mungkin. Masih jauh kosan Acha dari jalanan sana. Daripada sepi, ia pun menceritakan tentang Devid dan Bram adalah orang pertama yang tahu Acha mendorong Devid keras di bawah guyuran hujan sampai dari arah lain, sebuah truk oleng dan menghempas tubuh berlumuran dari dari hidungnya. Sejenak, Bram mencerna baik-baik. Ia bingung, juga ada banyak kecewa yang terpendam di dalam lubuk hati Acha. Bulir air mata menjadi bukti, Acha benar-benar kehilangan sosok sahabat sebenarnya. Tidak lupa, soal mati suri yang dirahasiakan. Bram menepikan mobilnya, ia memberi sandaran bagi Acha yang rapuh. Dielusnya penuh perasaan bahu Acha, padahal mereka baru mengenal kemarin sore. Setelah Acha merasa baik, mereka saling berpandangan. "Gua bakal bantuin lo, Cha, tenang aja, apa yang lo bilang. Devid itu humoris, lelaki yang gampang deket sama cewek. Jadi, nggak bakal kaku," jelas Bram, menguatkan tekad Acha untuk mencari Devid yang dulu. Acha mengangguk cepat. "Makasih, tanpa lo mungkin gua gak akan pernah ketemu dia." Bram tersenyum lembut. "Jadi, lo siap taklukan atap Jawa Barat?" "Siap, dong!" Mobil kembali berjalan, sekarang perjalanan itu terasa cepat. Acha melangkah pergi ke dalam kosan, sedangkan Bram melanjutkan perjalanan pulang yang tidak terlalu jauh dari sana. Bertepatan Acha membuka gerbang, Ardila sedang memainkan bola basket entah milik siapa, dengan senyuman geli melirik Acha. "Ciee, udah gak jalan kaki, nih!" "Iya, gua nebeng!" balas Acha, lalu duduk santai di sebuah bangku, tepat di samping Ardila. "Sayangnya, gua gak liat wajah tuh horang. Ganteng, Cha?" Acha melipat kedua tangannya di d**a. "Gitu, deh, cuma temen kok." Ardila memgangkat kedua bahunya. "Gak lama juga, nanti kebiasaan dianter jemput," kikiknya. Wajah Acha mulai bersemu merah. Apa katanya? Jika, memang ada kumpulan MAPALA ya dipastikan, Bram akan menjemputnya lagi. Namun, bukankah minggu ini diadakan latihan fisik? Acha menepuk keningnya sendiri. Ok, kehidupannya akan diikuti oleh Bram sekarang. Menyadari Ardila sibuk dengan bola basketnya, Acha pun memiih naik ke lantai atas. Di dalam, rasanya berbeda dengan hari lainnya. Satu rahasia yang dijaga telah terbagi kepada seseorang yang baru dikenal dan satu manusia yang dicari, telah ditemukan, tetapi seolah lupa ingatan bahwa mereka pernah dekat. Bahkan bisa dibilang anggota keluarga dari satu kepala. Namun, mengapa pertemuan tadi sekaku itu? Hanya dua tahun berpisah, langsung lupa begitu saja? Acha membaringkan tubuh lelahnya, sambil memejamkan kedua matanya. Besok, ia akan berlatih siap mendaki. Karena, ada banyak kesempatan dekat dengan Devid di sana. Apalagi Devita sudah sangat baik bertukar nomor w******p tadi, dengan cepat Acha mengecek status apa yang diposting teman barunya itu. Tubuh Acha menegang, Devid masih berada di samping Devita. Mereka sedang memainkan gitar di sebuah ruangan. Terlihat dari video itu, hanya mereka berdua saja. Dibantingnya ponsel itu ke belakang, hingga mendarat di atas bantal. Jadi, mereka sangat dekat bahkan terlalu dekat? Acha memutuskan pergi ke kamar mandi, membersihkan badan penuh keringat. Sekarang, cukup mengetahui kebenaran saja. Biarkan nanti, mengungkap mengapa Devid berubah total dan tidak mengenalinya. Di dalam kamar mandi, Acha merangkai jalan strategi mencari tahu tentang Devid. Ingatannya tertuju kepada ucapan Bram. Ada banyak perempuan yang menggilai Devid. Jadi, ia akan berpura-pura menjadi salah satu penggemarnya setelah dekat. Acha akan bertanya tentang masa lalu dan siapa orang tua lelaki itu. Setelah selesai mencuci muka, kumandang Azan Magrib terdengar, dengan cepat Acha pun berwudu lalu dilanjutkan dengan solat. Tidak lupa, membaca beberapa ayat Al-Qur'an dengan tenang. Di malam itu. Rangkain strategi telah disimpan rapat dalam ingatan. Jadi, Acha diharuskan di saat berhadapan dengan Devid seolah sangat urakan. Ingin berfoto atau memaksa bertanya-tanya. Di bawah langit hitam, penuh bintang bertebaran, cahaya lampu penerang jalan, juga bisikan hewan malam. Menjadi teman meninju mimpi yang tidak terasa datang, di balik dinding berwarna abu cerah, tangannya kembali memetik gitar. Meskipun malam dan waktu menunjukkan kenyataan harus diam, tetapi lelaki dengan alis tebal hitam itu tetap asik dengan gitarnya. Kedua lubang telinga disumpal sebuah earphone, sedangkan pikirannya melayang jauh tidak menentu. Mencoba menghayati lirik dari sebuah lagu ciptaannya, sesekali menghirup napas panjang lalu terdiam. "Entah, untuk ... siapa hati ini, Kasih ...." "Kupendam dalam, hingga terdiam bingung kuberikan ...." Ya ampun lagunya buat siapa, ya? Membingungkann. Ikuti kelanjutannya, besok.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN