10. PERTEMUAN DI MARKAS MAPALA

1362 Kata
"Sudah dilalui rintangannya, sampai menjadi temu yang diharapkan. Namun, tidak berhenti di sana tantangan. Jika, dia yang dicari tidak mengenali." Berbeda dengan hari yang sudah berlalu. Biasanya jam pulang dihabiskan berbincang terlebih dahulu dengan dosen, hanya mempersingkat menunggu seseorang yang tidak pasti bubar. Padahal, nyatanya orang itu tidak ada di sana. Disayangkan memang, tetapi Acha juga bersyukur bisa bertemu dengan Bram. Orang yang kenal, bahkan dekat dengan Devid, lelaki yang dicarinya itu. Mereka sudah kenal lama, lewat kumpulan anak MAPALA, di mana katanya Devid memang suka pendakian yang tidak biasa, sedangkan Bram seseorang yang digilai wanita, mengapa? Tentu saja, dia mahir memberikan hasil tangkapan kameranya. Selain dari MAPALA, Bram juga sering dibayar oleh Devid atas jasa pemotretan. Jika, Devid dan Devita diundang menjadi penyanyi di kafe. Tidak sekali dua kali saja, sejak SMA mereka pula sering mendapati undangan. Jadi, siapa pun akan mengenal Devid yang selalu bersama Devita. Mereka sempat digosipkan berpacaran, tetapi nyatanya hanya sahabatan. Namun, anehnya Devita enggan membenarkan, ia selalu tersenyum kecil menanggapi. Seolah, memang mereka itu pacaran, tetapi dirahasiakan. Tepat dosen keluar, Acha pula langsung berkemas. Tadi, sempat pula ditanya apakah Acha belum mengerti dengan materi yang disampaikan? Dengan cepat Acha menjawab ia paham. Kenyataannya dia itu selalu paham, hanya membuang waktu saja memang. Selesai berkemas, ia melesat pergi menuju sebuah bangunan yang berada di seberang. Di mana Bram sudah menunggunya, sudah biasa sebuah kamera tergantung di leher. Mereka bertukar senyum, lalu tanpa menunggu lama, Bram mengajak Acha ke parkiran, di mana mobil hitam miliknya terparkir. Mobil pun berjalan pelan, jantung Acha pula berdebar tak karuan. Sekarang? Dia akan bertemu dengan Devid yang lama tidak dijumpainya? Ya, sekarang. Kedua jemari Acha saling bertautan. Terasa dingin menusuk. Padahal cuaca di luar sangat panas. Butuh waktu sekitar setengah jam menuju Sekretarit UKM MAPALA, sedangkan Acha seolah dipermainkan oleh waktu. Di antara ingin cepat bertemu dan enggan menemui lelaki itu. Di depan, sebuah gedung berdiri dengan kokohnya. Beberapa motor dan mobil terparkir teratur. Sebuah bendera dan slogan anak MAPALA terbentang di depan. Bram pun menghentikan laju mobil tepat di samping mobil lain yang terparkir. Mereka keluar, langsung disambut matahari yang terik. Bram melirik jam tangan miliknya, ternyata telat lima menit. Ia pun bergegas mengajak Acha masuk, mereka melewati beberapa ruangan yang tertutup rapat. Sampai, mendapati pintu yang sedikit terbuka. "Mereka udah masuk, kita telat lima menit," ucap Bram, sebelum tangannya mendorong pintu. Acha terdiam menelan ludahnya susah payah. "Jadi, udah ada banyak orang di dalam?" Bram mengangguk. "Iya, gua lupa harusnya jam datang sekarang lebih awal dari minggu kemarin," gerutunya, sambil menatap layar ponsel. Tadi, Bram tidak memainkan ponsel di kampus. Jadi, tidak sempat menerima pesan, bahwa pertemuan sekarang dipercepat waktunya. "Ya udah, daripada makin telat, masuk, yuk!" lanjut Bram. Namun, tangan Acha segera mencekalnya. Mereka saling bertatapan. Bram pun terdiam, mencoba mengartikan tatapan Acha yang sangat membingungkan. "Gua takut," bisik Acha. "Takut kenapa? Bukannya elo yang mau masuk MAPALA?" "Devi—" Brak! Pintu di depan mereka terbuka lebar. Langsung berpandangan dengan lelaki berjaket hitam dan tubuh besar. Bram pun menyalami lelaki itu, dengan cepat Acha pula mengikuti. Ia adalah ketua organisasi MAPALA namanya, Santosa Jailani atau biasa dipanggil, Pak Santo. Mereka pun diperintah masuk, jangan bisik-bisik di balik pintu. Namun, lelaki dengan sedikit rambut beruban itu menatap Acha. Ia tidak mengenali perempuan bersama Bram, lalu Bram pun memperkenalkan bahwa Acha anggota baru. "Kita kedatangan teman baru, silakan masuk," ucap pak Santo, seraya memundurkan dirinya. Bram mengajak Acha untuk masuk, sedangkan tatapan Acha ragu untuk memandang semua orang yang berada di dalam ruangan. Sesampainya di depan semua orang. Barulah, Acha berani mendongakkan kepalanya, dengan lantang Bram memperkenalkan Acha, bahwa dia teman di kampus, tetapi beda fakultas. Semua orang di sana, menyambut Acha senang, setelahnya pak Santo memerintah untuk duduk di bangku paling belakang. Karena memang, itu bangku satu-satunya yang kosong. Bram sedikit bingung, biasanya setiap pertemuan tidak sepenuh itu. Langkahnya terus maju ke depan, sedangkan Acha berada di belakang membuntutinya. Sejak berdiri di depan, tatapan Acha behasil mendapati lelaki dengan alis tebal, senyuman kecil yang duduk di samping seorang perempuan. Mereka sedang memperebutkan sebuah kipas tangan. Di mana perempuan di samping enggan meminjamkan, tetapi si lelaki memaksa karena merasa kegerahan. Sampai di samping bangku yang kosong, Bram berbalik mendapati Acha berkaca-kaca. "Cha," panggil Bram, pelan. Acha mendongak, lalu tersenyum kaku seraya duduk bersandar ke dinding. Bram pun menyusul. Setelah keadaan seperti rapat biasa, hening dan kaku, pak Santo kembali mrlanjutkan. "Untuk anggota baru, nanti saya berikan waktu perkenalan, ya, untuk sekarang kita membahas niat yang Insya Allah akan dilaksanakan." Hening. "Kembali saya ulang, kalian semua datang dari beberapa kampus dan SMA yang berbeda-beda. Di sini, saya ingin memaparkan akan ada petualangan baru. Kemarin ada libur semester, ya? Kita pergi ke pantai, bersosialisasi. Namun, untuk tahun ini. Meskipun bukan libur semester. Saya, ingin mengajak anak MAPALA untuk menginjak puncak tertinggi atau biasa disebut atap Jawa Barat. Ada yang tahu?" Seketika keadaan menjadi ribut, mengingat siapa saja yang pernah ke sana. Sampai, tatapan Acha kembali diam-diam menatap lelaki di depan. Hanya terhalangi satu bangku saja. Jadi, Acha tetap bisa leluasa memandang paras dari samping yang masih sama. Dirasa Acha telah mendapati seseorang yang dicari, Bram tersenyum lembut. Ia mencuri pandang juga, di sana ada Devita. "Itu yang lo cari?" Acha melirik Bram. "Iya, tapi kok, kayak gak kenal gitu sama gua." Terbukti karena Devid tidak menyapanya. Sampai, perempuan di samping lelaki itu berteriak. Memberitahu bahwa temannya, bernama Devid pernah mendaki gunung yang dimaksud. Atau Biasa disebut gunung Ciremai. Suasana kembali berisik. Sudah dipastikan memang, apalagi untuk kaum perempuan yang suka dengan pemandangan di atas puncak, dipastikan telah melihat deretan hasil foto orang yang telah menjejak puncaknya. Setelah diketahui tujuannya. Hal yang paling ditunggu pun datang. Dua minggu lagi, mereka akan berangkat. Seminggu dihabiskan persiapan fisik dan seminggu lagi persiapan meminta izin kepada orang tua dan segala macam peralatan, jangan lupakan pula keinginan sebenarnya. Karena, jika dipaksakan akan berakibat fatal. Acha sebagai pemula dan baru masuk MAPALA hanya bisa diam membatu, sedangkan Bram jangan ditanyakan ikut tidaknya. Ia lelaki yang diharuskan ikut, sudah ditugaskan sebagai kameramen handal. "Lo mau ikut?" tanya Bram, tangannya memainkan kamera milik temannya. Acha ragu untuk menjawab, tetapi mendapati Devid dan teman sebangkunya siap ikut. Ia tak mau membuang kesempatan itu, dengan cepat Acha menjawab ya. Namun, di luar dugaan, di saat perhitungan siapa yang akan siap ikut. Semua anak perempuan diam membisu, menggelengkan kepala memberikan jawaban yang tidak diinginkan. Mulai dari tidak diizinkan orang tua, mudah lelah, memiliki penyakit, bahkan ada janji dengan pacar. Hingga, di antara perempuan yang belum ditanya adalah Devita dan Acha. "Saya mau ikut, Pak!" teriak Devita, membuat semua orang menatapnya. Sebaliknya, pak Santo terlihat biasa saja. Karena, jika hanya satu wanita di pendakian takut terjadi apa-apa, bisa saja dia mengalami hipotermia? Lalu siapa yang akan menolongnya? Pak Santo menatap satu per satu anggota perempuan di sana. Sampai, tatapannya terhenti menatap seseorang yang berada di samping Bram. Kepalanya menunduk, pantas saja dilupakan, dia kan anggota baru. "Kamu bisa ikut dan tidak Devita, harus ada satu teman perempuan saja. Jika, tidak kamu harus diam di rumah." Devita melirik Devid, tetapi lelaki itu malah tersenyum lebar mengejek. Acha yang merasa belum tercatat mengacungkan tangannya. Sekarang dia yang menjadi tontonan, juga penentu Devita ikut atau tidak. "Kamu anggota baru, ya? Perkenalkan dirimu dahulu, lalu tentukan ikut mendaki atau tidak," titah pak Santo. Bram mengangguk menyemangati Acha. "Ayo, kita liat reaksi Devid," bisiknya. Acha pun bangkit, menyapu semua orang yang berada di ruangan. "Nama saya Acha, dari kampus UI fakultas Sastra, salam kenal semua." Beberapa mengangguk mengiyakan, ada juga yang langsung berbisik-bisik. Setelah mempekenalkan diri. Di sinilah, semua orang menunggu jawaban Acha. "Tanpa memaksa, saya persilakan kamu memilih ingin ikut dan tidaknya mendaki gunung Ciremai." Tangan Acha gemetar, sampai tatapannya bersirobok dengan bola mata hitam yang dihiasi bulu mata lentik itu. Ia diam sangat lama, menunggu lelaki itu menyapa. Namun, tidak ada, semua sepi sampai tatapan Devid kembali ke buku catatannya. Mengapa? Mengapa lelaki itu seolah tidak mengenali Acha yang berdiri di antara orang yang duduk? Ia masih sama, dengan penampilan biasa, tetapi mengapa Devid tidak merasa terkejut? Ada apa sebenarnya? Lah, kok Devid gitu, sih? Ya ampun, ada apa denganmu Devid Kucrut.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN