19. HUJAN PENGHAMBAT PULANG

1267 Kata
"Harus selalu yakin bisa melewati rintangan dan jangan lupakan iringi dengan doa; ikhtiar." Tatapan mereka berdua bersirobok. Tenggelam dalam hitam dan cokelatmya warna bola mata lawan. Sampai, Acha yang pertama kali memalingkan wajahnya, Devid menyadari kegugupan teman barunya itu. Dipastikan, jarang dekat dengan laki-laki, tidak seperti Devita. Jika, saling bertatapan bukannya salah tingkah ia malah menatap lebih tajam, tetapi sekarang bukan bersama Devita, Devid menyadarinya. "Wajah lo item, banyak pasir yang nempel." Seketika Acha menyentuh pipinya, lalu balik meneliti wajah Devid yang di luar dugaannya. "Sendirinya juga, kek arang!" Acha terbahak, melupakan sejenak rasa sakit di lututnya. "Iyalah, gua, kan, penyelamat. Normal kalo ada bekasnya," ucap Devid, membanggakan dirinya berhasil menyelamatkan Acha. "Bentar, gua bawa air buat cuci muka." Di saat Devid siap bangkit, tangan Acha mencegah pergelangan tangannya, Devid pun mengerutkan keningnya. "Jangan pake air, ambilin aja tisu basah di carrier gua, sayang, mubazir kalo air." Tanpa menunggu lama, Devid pun masuk ke dalam tenda milik Acha di samping mereka, setelah didapatinya tisu, ia pun kembali keluar seraya mengeluarkan dua lembar sekaligus. Tangan Acha sudah terulur meminta, tetapi dengan tenang Devid yang membersihkan wajahnya, dari kening ke pelipis dan terus menurun. Acha menelan ludahnya kasar, apa yang dilakukn Devid kepadanya? Beberapa pendaki dari rombongan lain mulai bersiul, mendapati keuwuan yang jarang ditemukan. Devid hanya memberikan satu jempolnya lalu terkikik. Di sana pula, Acha bingung harus menghentikan perbuatan lelaki yang lama tidak dijumpainya atau membiarkan begitu saja. Bola mata mereka kembali bertemu, terpaku. "Gugup amat, napa?" Tentu saja Acha sangat gugup. Perlakuan Devid tidak ada di daftar pencariannya, itu sangat mencengangkan mengingat Devid dekat dengan Devita. Selesai membersihkan wajah Acha, Devid segera membersihkan wajahnya sendiri dengan asal. Seperti lelaki lain, seadanya asalkan sudah berusaha membersihkan. Acha terkikik melihatnya, lalu melihat lukanya yang sudah dibalut oleh perban. Sebuah botol air mineral disodorkan kepada Acha, Devid tahu teman barunya itu pasti haus apalagi setelah berguling-guling dari ketinggian. Acha pun menerima diakhiri senyuman, dilihatnya Devid tidak membawa lagi botol minum Acha menyisakan setengahnya. "Nih!" Devid mendongak. "Abisin aja, gua gak haus," tolaknya. "Gua juga udah cukup, kok, minum cepet!" Malas menolak lagi, Devid pun menerimanya lalu langsung menghabiskan air mineral itu. "Sial, gua minum bekas mulut lo lagi." "Jorok, ya?" tanya Acha, padahal dulu Devid dan dirinya tanpa canggung selalu makan dan minum bekas masing-masing. Wajah Devid ditekuk malas, seraya berkata, "Nanti gua nanggung rindu." "Ha?" Apakah pendengaran Acha yang salah? Maksudnya apa coba? "Lupain, ucapan gua gak bisa diulang!" Jeritan Devita terdengar di belakang mereka. Dia sudah sampai bersama kak Bubun yang memapahnya dari atas, dengan cepat Devid pun meminta maaf karena menjadi beban teman laknatnya. Di sana pula, Devita mengkhawatirkan keadaan Acha yang untungnya selamat, tetapi ada luka bekas di lututnya. Tidak lama kemudian, rombongan MAPALA juga sudah sampai. Mereka semua berkemas, sebelumnya sarapan dahulu dan berbincang-bincang salam perpisahan dengan pendaki lain. Selanjutnya, perjalan pulang dimulai. Namun, anehnya cuaca berubah drastis. Yang tadinya cerah, hanya sedikit kabut sekarang langit mulai menghitam, pertanda hujan datang. Semua rombongan pun dengan cepat memakai jas hujannya, gerimis mulai berdatangan, sedangkan di depan track menurun sangat mengkhawatirkan. Mengingat Acha dan Devita tidak sempurna berjalannya. Kedua gadis rekan kak Bubun juga sangat kedinginan, mereka kebanyakan beristirahat di jalur menurun. Paling parah itu Adol. Jadi, rombongan kembali dibagi dua seperti awal, terpaksa juga Bram harus bersama Acha untuk membantunya berjalan, sedangkan Devid berada di depan memapah Devita. Perjalanan menurun diiringi hujan itu terasa memperlambat waktu yang telah ditentukan. Padahal, mereka sudah bersyukur pemberangkatan aman tanpa ada hujan. Namun, siapa yang tahu? Ternyata di saat pulang, baru cuaca yang tidak diinginkan datang. Waktu baru menunjukkan pukul sebelas siang dan mereka masih di jalur pendakian menurun, mencari akhir pos 5 tetapi belum juga diketahui tandanya. Bukan lagi rintik hujan, sekarang lebat dan tajam mendarat ke tubuh lelah semua pendaki. Mereka memilih beristirahat di lahan luas yang landai. Meskipun tidak terhindar dari guyuran hujan, tetapi mengistirahatkan tenaga. Dirasa hujan itu takkan berhenti, kak Bubun mengajak kembali melanjutkan perjalanan pulang. Takut lama beristirahat dan waktu yang ditentukan semakin hilang, berakhir memaksa mereka melakukan perjalan malam. Baru disadari, Devid kehilangan headlamp miliknya, begitu pula Acha. Tadi, waktu mereka berguling dari ketinggian, semua pecah berantakan dan masuk ke jurang. Ia sampai lupa dan menahan rasa sakit di lutut karena basah oleh air hujan. Bram berada di samping Acha, mengeratkan cengkeraman menahan berat tubuh Acha. Pos 4 sudah dilalui, mereka harus sampai pos 2 sebelum waktu Asar. Namun, air langit enggan berhenti detik itu juga. Perjalanan terasa melambat, suara hewan hutan menjelang malam mulai terdengar di kejauhan. Jauh di belakang mereka, Adol digendong oleh salah satu anggota MAPALA karena keadaannya sudah tidak memungkinkan berjalan. Mereka sama-sama bekerja sama, tidak membedakan siapa pun orangnya. Saling membantu adalah kewajiban, sampai pos 2 sudah berada di depan mata. Mereka terduduk di lahan lapang, ada beberapa pendaki yang mendirikan tenda, tetapi berada di dalam karena hujan masih lebat. Acha dengan pelan meluruskan kedua kakinya, menahan erangan karena perih di area lutut yang robek. Bram memberikan botol minumnya sendiri, mengingat air minum Acha telah habis. Acha pun meminumnya, terasa segar dan tenang, Bram memberikan senyum menenangkan. "Abisin aja, gua gak haus kok." "Enggak, ah, dikit lagi buat lo, nih!" "Satu jam lagi juga turun, udah abisin cepet," tolak Bram, tangannya merapikan rambut Acha yang berantakan. Detik itu pula, gemuruh detak jantung Acha tidak beraturan. Mengapa Bram bersikap manis kepadanya? Jangan sampai, lelaki itu menyukainya? Pikir Acha, lalu ia pun terpaksa menghabiskan air minum milik Bram. Tidak lama, hujan lebat itu berubah menjadi gerimis, mereka segera melanjutkan perjalanan yang didominasi tanah becek. Pepohonan menjulang tinggi di sisi kanan dan kiri, bukan lagi turunan yang curam. Namun, harus berhati-hati, takut terpeleset. Hujan yang menjadi rintangan dan likuan, hingga berhasil dilewati oleh semua rombongan. Meninggalkan jejak, membawa potret di puncak, tidak ada satu pun yang tertinggal di antara 20 orang. Semuanya aman, hanya beberapa orang yang cedera. Sesampainya di pos 1 segeralah Adol yang keadaannya paling parah dibawa turun dengan cepat, sedangkan anggota lainnya membawa air di sana. Setelahnya, mereka kembali lanjut menuju akhir pendakian. Base camp yang ditunggu-tunggu. Pak Santo melapor ke pihak registrasi, semua aman tidak ada yang tertinggal dan menjelaskan tentang Devid dan Acha yang terpeleset, sampai kehilangan headlamp setelahnya semua sampah diserahkan. Satu per satu mulai mengantre membersihkan badan, makan kembali dan bersalaman dengan pendaki lain. Akhirnya, semua berjalan lancar, tidak ada pelanggaran, semua anggota MAPALA mendapatkan sertifikat, begitu pula kak Bubun, Atul dan Adol. Di sana pula, mereka harus berpisah. "Makasih, Dek, pokoknya enggak kecewa muncak bareng!" seru pak Santo, seraya menjabat tangan pemuda kelahiran 1998 itu. "Terima kasih juga, Bapak sudah percaya kepada saya dan maaf, rekan saya jadi membebankan anggota MAPALA," jelas kak Bubun, sambil memegang perut bawahnya seperti biasa. "Ah, gak papa, Aldo itu orangnya kuat, kok! Si adiknya juga kecil, pasti enggak membebankan," kekeh pak Santo. Pada jam lima sore, semua anggota MAPALA telah bersiap masuk ke dalam bus. Sebelumnya mereka mengabadikan momen tepat di gapura bertuliskan pendakian MT. Ciremai via Apuy, tidak lupa kak Bubun dan rekannya yang sudah terlihat segar. Awan kembali menghitam, mengantarkan semua kenangan dan perjuangan di jalur pendakian. Devita sampai memeluk kak Bubun sebagai salam perpisahan, ia merasa menjadi beban di saat turun puncak. "Sampai bertemu di lain waktu!!" seru Devita, sebelum masuk ke dalam bus. "Aamiin semoga!" seru Atul, ia juga melihat Acha yang kakinya cedera. Kak Bubun hanya melambaikan tangannya, dia memang seperti itu orangnya, berbicara seadanya dan tidak berlebihan. Sekarang, tugasnya adalah membawa dua manusia itu sampai ke rumah. "Fotbar sebelum pulang!" pinta Atul, seraya menyeret kak Bubun dan Adol untuk mengabadikan momen. Next, guysss
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN