18. HILANG PIJAKAN

1284 Kata
"Tuhan, selalu memberikan skenario yang tidak bisa ditebak. Yang awalnya memaki, tiba-tiba tersadar, bahwa kenyataan tadi memang terbaik bagi diri ini." Pesona alam waktu fajar sangat menghipnotis mata, enggan berpaling barang sedetik pun. Terbukti, dari tatapan Devid yang menatap matahari berwarna jingga dengan pelan, mulai memberikan kehangatan ditaburi keindahan menakjubkan. Kedua tangannya berada di saku masing-masing jaket hangatnya, menghirup napas panjang, merasakan beban di jalur pendakian yang sangat membebankan. Mengingat Devita, orang yang harus ia jaga. Acha dengan kaku mendekat, beruntungnya Devid memang sendirian di sana. Jadi, ia bisa leluasa berduaan membuka percakapan. Mendapati Acha yang berada di sampingnya, Devid melirik lalu memberikan senyum simpul dan kembali menatap awan bergelung. Suara kebahagiaan terdengar di belakang, tidak mampu memecah waktu senyap sendirian, tetapi tidak masalah ada seseorang yang menemaninya. "Dingin banget," ucap Acha, seraya mengeratkan kedua tangan memeluk tubuhnya sendiri. "Mau gua peluk?" tanya Devid, menghapus kecanggungan. Acha terkikik. "Boleh emangnya?" Devid mengangguk. "Kayaknya boleh kalo emang kedinginan, kecuali buat yang kegatelan itu harus disingkirkan." Mereka berdua sama-sama terbahak. Ah, rindunya dengan lelucon Devid, batin Acha. Diam-diam juga, ia memerhatikan wajah sahabatnya itu, tetap sama, sama gantengnya. "Ini pendakian pertama buat lo?" "Yaps dan gua, gak percaya bisa sampe puncak." Tatapan Acha berhenti di satu titik, ke depan yang penuh gulungan awan putih tersinari matahari pagi. "Semuanya berkat, Bram, dia orang yang patut dipertahanin!" Diliriknya Devid, lalu berkata, "Sayangnya, gua masih berharap dipertemukan sama sahabat kecil gua." "Sahabat? Siapa namanya, mungkin gua kenal atau fotonya?" Dada Acha terasa sesak. Jadi, sekaranglah kebenaran harus terungkap? Lalu mengetahui bahwa ia orang yang mendorong Devid sampai berakhir kecelakaan? Tidak, Acha belum mampu mengungkapkan kebenaran. Ia menggeleng lemah, matanya berkaca-kaca menahan tangis. Devid menepuk bahunya menenangkan, ia tahu pasti Acha merasa kehilangan sekali. Juga, sahabat yang belum ia tahu siapa namanya, dipastikan sangat berarti. "Lo ...," lirih Acha. Sebelum bibirnya kembali berucap, ia melangkah pergi, tubuhnya terasa bergetar akibat menahan tangis juga dinginnya udara. Di seberang, Devita masih asik mengabadikan momennya bersama pendaki lain, sedangkan Devid menatap kepergian Acha dengan kening mengerut dalam. Dirasa ia sendiri yang terdiam menyaksikan keindahan alam, Devid pun mengikuti Acha sampai terlihat, perempuan itu siap turun ke bawah. Beberapa pendaki lain sangat jauh dari jalur turun. Karena takut terjadi apa-apa, Devid memerhatikan Acha yang mulai menuruni turunan curam, disertai pasir dan bebatuan. Terlihat aman, tetapi Devid ragu meninggalkan Acha yang turun sendirian. Meskipun di bawah sana ada beberapa pendaki yang telah sampai, siap menuju perkemahan. Detik berikutnya Devid berbalik, berniat menghampiri Devita yang melambaikan tangan kepadanya, sedangkan di bawah jalur pendakian yang menurun, Acha melangkahkan kakinya gemetar. Terasa sesak dadanya mengingat beberapa menit lalu, hampir saja ia memperlihatkan potret dirinya dan Devid waktu lalu. Jika, ia benar-benar mengungkapkan kebenaran, bahwa sahabatnya adalah orang yang bertanya, Devid pasti memandangnya aneh. Acha menjejakkan kakinya di salah satu batu paling besar, ia terdiam sebentar melihat turunan yang sangat curam dan bebatuan sebagai pegangan membuatnya bergidik ngeri. Ia berbalik menatap bayang pendaki yang masih berada di puncak, hingga tatapannya menangkap tubuh menjulang Devid memunggunginya. Seketika Acha refleks melangkahkan kakinya asal, sampai hilang pijakan. "Aaa!!" Jeritan Acha tidak mampu menyadarkan semua pendaki di sana, kecuali orang-orang yang berada di bawah, melihat tubuh terguling dari atas. Telinga Devid menyadari, ia berbalik mendapati sosok mungil yang tadi berbincang dengannya hilang pijakan sampai terguling-guling menurun, sedangkan di sisi kanan dan kiri jurang yang menunggu korban. Secepat mungkin ia berlari menuruni turunan curam itu, rasa dingin dan angin ditepisnya tanpa ragu. Sampai, sebuah batu besar menjadi cara agar dirinya bisa menghentikan tubuh tidak berdaya itu semakin berguling ke bawah atau lembah kematian. Menyadari suara teriakan dari bawah, rombongan MAPALA segera berlarian menuju jalur menurun. Sayangnya, kabut menghalangi pandangan, tetapi mereka sudah memastikan seseorang jatuh dari jalur pendakian. Devita menyadari Devid yang tadi lari menurun. Pertanyaannya siapa yang terjatuh? Bram datang dengan wajah tegang, tidak didapati Acha di sekelilingnya. Hingga, dua remaja rekan kak Bubun yang ikut rombongan mengatakan, tadi Acha pamit untuk turun ke bawah sendirian. "Sial!" maki Bram, seraya beranjak pergi menuruni puncak, di depannya kabut menjadi bencana. Jauh di bawah sana, Devid berhasil menangkap tubuh Acha. Memeluknya erat agar tidak merasakan benturan keras bebatuan tajam. Mereka berdua terguling cepat. Biarkan tubuh dirinya sendiri yang terluka. Namun, terlambat, lutut Acha telah robek mengeluarkan darah tidak hentinya. Semua pendaki yang berada di bawah menjerit ketakutan, menanti si penolong sampai bawah atau bisa saja masuk ke jurang bersamaan. Tidak lama kemudian, sebuah batu besar menghentikan tubuh mereka berdua yang terguling-guling dari atas. Devid mengembuskan napasmya kasar, terbatuk keras mengingat pasir dan bebatuan kecil berhamburan memenuhi badan. Di bawahnya, kelopak mata Acha terpejam, bibirnya bergerak, dengan gigi bergemeretak menahan sakit di sekujur tubuhnya. Devid tidak langsung mengurai pelukan eratnya, ia menatap wajah Acha yang membuatnya berpikir cepat, seolah sangat mengenali wajah itu, tetapi di mana? Dan, kapankah mereka bertemu? Tangan penuh debu bebatuan menyingkirkan rambut Acha yang berantakan, pelipisnya sedikit tergores bebatuan. "Oi! Di mana mereka?!" seru seseorang tepat di samping kanan, Devid berbalik, kabut sangat tebal membuat tubuh mereka tidak diketahui beberapa pendaki. "Acha!" "Devid!" Teriakan teman-temannya terdengar lebih jelas, mereka sedang menurun. Begitu pula kelopak mata Acha, pelan terbuka, merasakan denyut nyeri yang teramat menyakitkan, lalu terbatuk keras. Devid yang masih berada di atasnya, semakin menambah beban. Melihat Acha tersadar, ia mengurai pelukan, segera terduduk dengan kaku lalu mendudukkan Acha penuh kehati-hatian. Wajah mereka berdua dipenuhi debu dan bekas bebatuan yang menempel, kening Acha mengerut dalam lalu tangannya terulur membuka lipatan celana hitam yang robek tepat di lututnya. Devid terbelalak kaget, sangat parah luka Acha, sedangkan teriakan orang-orang yang mencarinya semakin gencar. Devid pun berteriak balik, bahwa mereka baik-baik saja. Seketika, teriakan menjadi hilang, ia pun segera memerintah Acha naik ke atas punggungnya. Namun, Acha malah diam membisu, bingung harus mengikuti atau terseok-seok berjalan sendiri. "Cepet, luka lo parah!" Acha menggigit bibir bawahnya. "Gua berat," tolaknya malu-malu. Devid menatap Acha malas. "Naik, lu denger gak?" Melihat ekspresi Devid yang memaksa, dengan malas Acha menaiki punggung lelaki itu. Rasanya sangat tidak enak, mengingat kejadian di atas puncak juga mereka yang baru saling mengenal. Sampai di jalur pendakian, rombongan MAPALA berteriak dari ketinggian, lalu Devid memberikan satu jempolnya pertanda semua aman. Ia tidak ingin mengganggu para pendaki lain, biarkan dirinya sendiri yang mengurus Acha. Devita menyadari bahwa Devid sudah menyelamatkan Acha. Ia sangat lega, Bram yang tahu langsung memeluk pak Santo dengan cepat. Merasa semua aman karena ada Devid, mereka kembali mengabadikan momen lain untuk dokumentasi, sedangkan Devita ingin cepat turun. Jadi, kak Bubun terpaksa mengikuti ajakannya. Karena sekarang tugasnya memapah Devita sampai ke bawah. Di atas punggung Devid, Acha menggerutu dengan kenyataan hari ini. Beberapa pendaki yang tadi di bawah sangat mengkhawatirkan keduanya, sampai memberikan bantuan agar Devid beristirahat sejenak, sedangkan Acha dibawa oleh pendaki lain. Namun, dengan cepat Devid menolak. Ia bisa melakukan sendiri. Toh, jarak menuju tenda tidak lama lagi. Sesampainya di sana, Acha duduk di depan tenda miliknya, sedangkan Devid langsung pergi membawa P3K bersiap membersihkan lutut Acha yang terluka. Tidak bisa dibayangkan, bagaimana jika tadi Devid telah menghampiri Devita? Siapa yang akan menyadari Acha terguling? Ia bernapas lega, si penyelamat sudah duduk di depannya, membuka pelan dari bawah celana panjangnya sampai berada di atas lutut. "Sorry, ya," ucap Devid, seraya membersihkan pelan luka penuh darah itu dengan tisu basah. Acha meringis, menahan jeritan. "Awas, jangan diteken," lirih Acha. Devid menghentikam tangannya yang menekan permukaan kulit robek itu. "Iya, gua elus, nih!" Bibir Acha menahan senyum. "Makasih, ya, lo udah nyelamatin gue." "Makasih doang?" "Maunya apa coba?" Cieee, ya ampun baper aku tuh bacanya ehem. Buat yang bingung kenapa otornya rajin up, eak hehe soalnya aku udah enggak PKL lagi guyss, jadi gabut cuma rebahan hahah.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN