23. BUTUH JAWABAN BUKAN MENGHINDAR

1295 Kata
"Butuh penjelasan, bukan hanya rasa khawatir yang berlebihan." Devid Penampilan Devid sudah rapi, ia memakai kemeja putih berpola garis biru muda, celananya masih seperti biasa jins hitam. Ia bersiap menyalami Dinda. Namun, ibunya itu malah menjauhkan tangan kanannya, lalu menunjuk carrier bekas pendakian yang kotor di samping mesin cuci. "Kamu ngerokok?" tanya Dinda karena didapatinya bungkus rokok yang masih menyisakan beberapa batang, di dalamnya. Devid mengacak rambutnya malas. "Waktu kedinginan doang, Ma, gak banyak kok, cuma ...." Ia menjeda, sembari menghitung dengan jarinya. "Lima kayaknya." "Astaga, cuma kamu bilang? Mama gak mau kenapa-napa, Dev, dulu kamu gak pernah ngelakuinnya!" "Ma, lagian aku sakit apa, sih? Buktinya masih sehat kok, gak ada batuk atau kayak sesak napas," protes Devid, ia sangat mengingat awal percobaan merokok bersama teman tongkrongannya. Wajah Dinda menahan emosi. "Mama, tegaskan sekali lagi, jauhi rokok! Apa jangan-jangan setiap naik gunung kamu merokok, ya?" Enggan memperpanjang masalah, Devid begitu saja pergi berlalu. Meninggalkan Dinda yang masih marah kepadanya. Dia tidak salah, Dinda yang salah tidak menjelaskan larangannya. Di depan, Devita langsung menghampiri dengan wajah ceria. Ia siap berangkat ke kampus. Walaupun badannya masih terasa remuk karena pendakian. Ia pun duduk di jok belakang, tidak lupa memeluk pinggang Devid dengan erat. Suara piano di ruang musik menjadi teman selama menyenandungkan lirik baru dari guru seni. Ruangan bernuansa hitam putih itu terasa nyaman, dengan penerangan cukup terang dan dinginnya suhu dari pendingin ruangan. Tingkat kejernihan suara menjadi hal yang paling penting. Jadi, seorang penyanyi sangat dianjurkan menjaga pola makannya. Takut, pita suara berubah atau sakit kerongkongan. Termasuk Devid dan Devita. Mereka berdua fokus dengan notasi yang diberikan gurunya. Minggu depan, mereka diundang oleh seorang pendiri dari sebuah perusahaan. Menjadi penyambut tamu, di hari ulang tahun anaknya yang beranjak dewasa. Bukan hal baru lagi, mengingat Devid dan Devita sudah dikenal banyak orang. Pula, karya mereka sampai dinyanyikan oleh penyanyi handal. Di samping itu, Devid bangga atas pencapaiannya, tetapi ia sangat menolak penuturan orang-orang menganggap dirinya berpacaran dengan Devita. Bukan kurang cantik atau lebih mementingkan bersahabat. Devid sering berganti pacar, sayangnya ia hanya bercanda saja, bukan mementingkan perasaan atau memang dari hati mencintai. Semuanya hanya candaan, mengingat semua perempuan yang mendekatinya hanya kagum akan rupanya, bukan mengobati rasa ragu yang selama ini terpendam dalam. Dering ponsel Devid membuatnya izin keluar ruangan, Devita ingin mengikutinya. Namun, dirinya belum tes vokal. "Apa, Ma?" "Nanti, bawa obat di dokter Nizam, ya, jangan lupa." Devid mengembuskan napasnya panjang. "Buat aku?" "Buat siapa lagi? Udah, ya, mama masih ada kerjaan." Panggilan pun terputus, sedangkan Devid memijat keningnya yang terasa pening. Diliriknya jam tangan, lima menit lagi waktu istirahat. Karena ia sendiri sudah tes vokal, untuk apalagi kembali ke tempat semula? Tidak peduli meninggalkan Devita, ia pun berjalan menjauh menuju taman belakang. Di mana, tempat yang paling sepi dan jarang dikunjungi mahasiswa lain. Tubuhnya bersandar di sebuah pohon buah, daunnya yang rindang berhasil menghalau sinar matahari. Devid menyelipkan ponselnya ke saku celana, menatap ke depan hamparan hutan tanpa ujung. Masih banyak pertanyaan tentang masa lalunya. Dari dulu ia ingin bertanya, tetapi Dinda selalu memberikan jawaban aneh dan kentara enggan mengungkit masa lalunya. Jadi, semuanya berawal dari apa sampai penyebabnya demikian? Bertahun-tahun hanya mengikuti perintah Dinda dan sedikit pun tidak ada penolakan dari Devid. Ia menyerah dengan segalanya, hidupnya seolah tidak memiliki pegangan. Devita yang selalu ada di sisinya, terasa tidak nyata. Perempuan itu hanya bayangan, hilang jika ditangkap oleh tangan. Setiap mencoba mengingat masa lalu, kepala Devid juga terasa sakit. Separah itukah penyakit yang dideritanya sampai sekarang? Devita keluar dari ruangan, segera menyusul sosok Devid yang memunggunginya. "Pulang!" serunya, membuat Devid menahan tonjokkan karena terkejut yang teramat luar biasa. "Kata siapa?" Devita duduk di sampingnya. "Kata pak Yudi, soalnya gua izin badan ini terasa sakit," rengeknya dan bermanja-manja di bahu Devid. "Ya udah, lu pulang duluan aja, gua masih ada urusan." "Ha?" Devita menatap Devid sinis. "Urusan apaan lo, pulang sama gua, Dev ... males naik taksi!" "Nggak, gua ada futsal sekarang!" tolak Devid sambil beranjak pergi. "Devid!! Gua gak mau tau, ya! Anterin gua pulang!" Teriakan Devita tidak membuat Devid berbalik lalu menyetujui. Lelaki itu mulai malas dengan sikap Devita yang seolah menganggapnya babu. Semuanya harus dilakukan, apa pun itu sampai teman tongkrongannya menghilang gara-gara Devita yang sok ngatur-ngatur. Sesampainya di parkiran, Devid segera tancap gas pergi menghilang di tikungan. Di belakang, Devita mengatur napas karena berlarian. "Jangan bilang ketemuan sama si Acha?! Gawat, ah!" maki Devita lalu ia kembali ke kelas, membawa ranselnya yang tertinggal. Semilir angin siang hari itu terasa damai. Menyapu dedaunan hingga terbang, Devid menjalankan motornya menuju tempat praktik dokter Nizam. Dokter yang penuh rahasia, ia irit bicara kepada Devid. Seperti memendam sesuatu, sampai berbicara saja dia jaga takut terbocorkan segala sesuatu yang menjadi kepercayaan pasiennya. Gerbang di depan terbuka lebar, mungkin ada banyak pasien yang datang. Setelah memarkir motor, Devid merapikan dahulu rambut hitam legamnya. Diliriknya paras menawan yang katanya mirip ayah yang telah meninggal. Ia pun segera berjalan menuju pintu utama. Terlihat beberapa pasien mengantre duduk dengan sabar. Jadi, Devid pun harus ikut antre juga. Namun, tidak lama justru namanya langsung dipanggil oleh asisten dokter Nizam yang sudah mengenalinya. "Dek Devid, dipersilakan masuk," panggil seorang perempuan dengan baju putih rapi yang biasa dikenakan. Devid mengangguk, lalu berjalan menuju ruangan. Di sana, didapati dokter Nizam yang mencatat sesuatu di buku hariannya. Devid duduk di salah satu kursi, dokter itu tersenyum seraya menyerahkan sebuah kantung berisi pil yang harus Devid telan dan habis dalam sebulan. Dirasa asisten dokter yang bernama Nia keluar, Devid pun berani mengucapkan keluhannya. "Saya sakit apa, sih, Dok?" Dokter Nizam memandang Devid ragu. "Ini hanya obat penghambat rasa sakit di kepala akibat benturan kecelakaan waktu lalu, bukan obat penyakit yang tidak diinginkan," jelasnya meyakinkan. Namun, Devid bisa melihat raut wajah dokter itu terlihat ragu. Ia hanya mengembuskan napas kasar. "Separah itu, ya? Sampe kehidupan saya harus ditemani obat-obatan mulu," kekehnya lalu bersiap keluar dari ruangan. "Jaga kesehatan, ibumu sangat mengkhawatirkan keadaanmu, Devid." Tidak perlu dijawab, Dinda memang sangat mengkhawatirkan Devid dalam hal apa pun. Ia keluar dari ruangan, berjalan tenang melewati pasien yang mengantre. Sampai di parkiran, diremasnya kresek yang ada di tangan. Secepat mungkin melajukan motornya cepat, menuju sebuah apotik yang tidak jauh dari sana. Sampai di depan resepsionis, Devid mengeluarkan bungkusan obat itu. "Ada yang bisa saya bantu?" tanya resepsionis itu dengan ramah. Devid menyerahkan satu pil. "Ada obat anak yang bentuknya gini, Mba?" "Coba saya lihat." Pil itu sudah berada di tangan si resepsionis. "Hanya menyamakan bentuknya saja, Mas?" "Iya, obat manis khusus anak bentuknya kek gitu, ada gak?" Diberikannya permintaan Devid, katanya manis dan khusus menurunkan suhu panas tubuh anak umur lima tahun ke bawah. Tanpa berpikir ulang Devid memborongnya dua kotak, sebelum pergi, ia menukar tempat pil dari dokter Nizam dan obat manis barusan. Melihat keanehan itu si resepsionis sempat bernyata. Namun, Devid menjawab dengan asal. "Buat nge-prank, Mba." Selesai membungkus obat manis ke dalam kantung pil, Devid pun membuang obat yang biasa ia telan setiap harinya ke tong sampah. Akan ada uji coba, apakah kehidupannya berubah setelah meninggalkan obat yang katanya hanya mengobati rasa nyeri di kepala? Ia sendiri tidak merasa keberatan. Karena, di saat kepalanya sakit, di mana ia mengingat masa lalu bukan memang sakit yang biasa datang. Perjalanan pulang terasa tanpa beban. Sambil bersiul menyanyikan lagu yang tadi dihapalkan. Pagar rumah berwarna hitam sudah ada di depan, Dinda dipastikan tidak ada di rumah. Tentu saja, ia seorang ibu yang sibuk juga di sebuah perusahaan. Semenjak, kakaknya tahu keadaan rumah tangga sang adik yang kacau, Dinda diangkat menjadi manajer di salah satu perusahaan milik Hamdan, paman Devid. Bukan lagi, seorang ibu rumah tangga yang setiap harinya berkutat di dapur membuat kue cantik pesanan pelanggan. Ciee, triple up, eh udah pada tidur kali, ya hihi Emm, Devid semoga dapet jawaban dari pertanyaannya _-
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN