Andaru dengan kebanggan pada diri sendiri berjalan memasuki ruangan kerjanya. Bisa dikatakan apa yang baru dia lakukan adalah sebuah hal besar menyangkut hajat hidup perusahaan juga seluruh karyawan. Entah apa yang akan terjadi andai pembobol data perusahaan itu berhasil mengacaukan sistem kerja Arashi Group. Juga data-data yang bersifat privasi berhasil diambil alih oleh orang tak bertanggung jawab. Semua akan kena imbasnya. Meskipun demikian Andaru tak akan menyombongkan dirinya hanya karena sebuah keberhasilan kecil yang tidak semua orang mengetahuinya. Hal krusial macam itu benar-benar menjadi rahasia perusahaan yang tidak sembarang orang boleh mengetahuinya. Apalagi para karyawan. Sebuah aib bagi perusahaan karena bisa-bisanya hampir kecolongan.
Langkah lebar kaki Andaru yang sudah berhasil menapak ruang divisinya harus kembali mundur karena dua orang rekannya telah menghadang jalannya.
"Dari mana saja kamu!" hardik satu di antara keduanya.
Andaru menunduk sembari memperbaiki letak kacamata yang melorot sampai ujung hidungnya. "I-itu. Saya ... saya dari ...." Andaru berpikir. Ia harus mengatakan apa. Jika berbicara yang sejujurnya sangat tidak mungkin mengingat dari mana dia sebelum ini. Jika dua rekannya ini tahu bahwa dia baru saja berada di ruang IT, maka tak akan henti cercaan juga rentetan pertanyaan yang diajukan padanya.
"Heh! Aku bertanya jangan diam saja. Jawab!" Bentak pria bertubuh tambun dengan mata melotot ke arah Andaru.
"Saya dari toilet." Menjawab demikian lalu kembali menundukkan kepala.
Dia terlalu takut menghadapi orang-orang yang suka membullynya. Entah sampai kapan Andaru bisa lepas dari jerat manusia-manusia kejam seperti mereka. Yang jelas demi bisa tetap bertahan hidup, Andaru harus menurut.
Tiba-tiba tubuhnya oleng karena tidak siap menerima tumpukan berkas yang disodorkan kepadanya. Hampir saja kertas-kertas itu berserakan andai Andaru tak sigap mendekap.
"Arsip semua berkas itu sesuai nomornya. Awas! Jangan sampai salah. Jika tidak ___" Rekan kerjanya itu meletakkan jari telunjuk di leher membuat peraga seseorang yang tengah menggorok leher.
Andaru merinding dan begidik sendiri melihatnya. Kembali menunduk dan meninggalkan mereka. Ikut saja dengan perintah yang rekan kerjanya minta. Pria itu berjalan menuju ruang filling yang terletak di samping gudang. Filling adalah kegiatan meng-arsip berkas yang sudah tidak terpakai dalam jangka waktu pendek. Berkas perusahaan yang bersifat confidential harus disimpan yang rapi agar mudah ketika suatu saat mencari. Di perusahaan besar seperti Arashi Group ini harus memiliki ruangan khusus sebagai tempat penyimpanan berkas-berkas tersebut. Kegiatan pengarsipan ini salah satu tugas yang membosankan juga njlimet dan memerlukan banyak waktu. Oleh sebab itulah kebanyakan dari mereka malas melakukannya. Dan Andaru adalah korban dari keegoisan juga kemalasan mereka semua yang notabene seorang karyawan yang memiliki tugas dan tanggung jawab sama dengan Andaru.
Andaru sendiri bisa apa?
Selalu seperti ini dan pria itu tak ada keberanian melawan sama sekali. Semua rekan satu divisi telah menginjak-injak harga dirinya. Ada yang iba mengetahui ini semua. Namun, juga tak mampu berbuat banyak demi menolong Andaru yang selalu disiksa.
Sibuk melamun sampai tak sadar jika dia tengah menabrak seseorang. Sialnya, yang sudah Andaru tabrak adalah seorang wanita. Wanita cantik yang kini melotot padanya, lalu berteriak dengan lantang. "Punya mata nggak, sih! Jalan lihat-lihat."
Andaru gugup sampai mulutnya menganga tak mau mengeluarkan suara. Di antara sekian banyak wanita di kantor ini, bagaimana bisa dia justru menabrak Miranti Shasa. Sosok wanita cantik yang selalu ia puja, meski Andaru sadar siapa gerangan Miranti yang tak selevel dengannya. Mengabaikan kertas-kertas yang berhamburan karena terlepas dari dekapan tubuhnya ketika dia dan Miranti saling bertabrakan tadi.
"Argh!" Miranti yang kesal, menghentakkan kakinya lalu melenggang pergi meninggalkan Andaru dengan berbagai u*****n juga kata-k********r.
Herannya, meski mendengar apa yang Miranti ucapkan, tak sekalipun membuat Andaru sakit hati. Yang ada, pria itu sudah senyum-senyum sendiri. Karena dapat bersitatap juga mencium aroma parfum Miranti adalah kejadian langka yang bisa ia temui.
Wanita bernama Miranti itu kesal karena acapkali bertemu dengan pria culun berkacamata, yang ada hanya kesialan yang menimpa. Seperti hari ini. Kaki jenjang yang sempat kejatuhan tumpukan kertas pun merasa sakit. Juga bahu yang tak sengaja tertabrak lengan milik pria sialan itu juga ngilu. Namun, mana mungkin Miranti akan memaki pria itu jika sikap, tingkah serta perilaku si cupu membuat perutnya mual. Mulut terbuka siap dimasuki lalat. Juga tatapan memuja yang bisa jadi membuat ilernya menetes seketika. Miranti jijik membayangkan itu semua. Bagaimana mungkin papanya bisa mempekerjakan orang semacam itu di kantornya. Bahkan sudah cukup lama juga pria culun itu bekerja pada papanya. Sekalipun hanya sebagai staff biasa saja.
Masih menggerutu dengan kata-kata penuh u*****n, wanita itu masuk ke dalam ruangan sang papa. Dion Arashi.
"Kenapa lagi wajahmu itu kau tekuk begitu?" Dion yang mendapati putrinya tiba-tiba masuk bahkan tanpa mengetuk pintunya lebih dulu, pun bertanya. Pasalnya, Miranti ini suka sekali membagi hal apapun pada dirinya yang notabene adalah papa ketimbang bercerita pada mamanya.
"Kenapa si cupu itu menyusahkan saja kerjaannya," gerutu Miranti seraya mendudukkan diri di atas sofa sambil menyilangkan kedua kakinya.
"Cupu siapa?" Kening Dion mengernyit karena tak paham akan apa yang Miranti bicarakan.
"Siapa lagi jika bukan si cupu yang tadi pagi papa marahi."
Dion Arashi, pemilik perusahaan Arashi Group, berpikir dan mengingat siapa gerangan karyawannya yang tadi pagi sempat mendapat kemarahannya. Dan jawaban yang Dion dapat tentu saja Andaru.
Seorang Andaru Dewangga yang dalam satu hari ini berhasil menjungkir balikkan pikiran Dion Arashi. Jika pagi tadi Dion memarahi habis-habisan karyawannya yang tidak taat peraturan. Sudah terlambat masuk kerja ditambah ketika sampai di kantor dengan baju yang tak pantas dilihat. Namun, ketika siang ini dia mendapat kabar baik dari tim IT jika masalah pembobolan data perusahaan telah berhasil diatasi, Dion sempat ternganga mendengarnya bahwa sang penyelamat itu adalah Andaru Dewangga. Tentu Dion sempat tak mempercayainya karena selama ini dia hampir tidak pernah mengenal siapa itu Andaru. Pria itu hanya karyawan biasa, seorang bawahan yang tak pernah ia kenali namanya.
Begitulah Dion dengan sikap arogan yang melekat di dalam dirinya, diwariskan pada sang putri yaitu Miranti. Dion versi wanita ya si Miranti ini. Keras kepala dan tidak suka jika semua ucapannya dibantah oleh orang lain. Pokoknya dia adalah yang maha benar.
"Papa!" teriakan Miranti membuyarkan lamunan Dion. Pria paruh baya yang sudah memasuki usia kepala lima itu mendongak menatap sang putri. Lalu menjatuhkan punggung pada sandaran kursi.
"Ada apa Miranti?"
"Jadi papa tidak mendengarkan apa yang aku keluhkan tadi?"
Dengan terpaksa Dion menggeleng karena memang dia tidak mendengarkan keluh kesah sang putri. Sibuk berpikir mengenai Andaru.
"Kenapa Papa ini jadi sangat menyebalkan sekali."
Miranti bangkit berdiri menghentakkan kaki seolah sudah menjadi kebiasannya bersikap seperti apa pada papanya. Keluar begitu saja dari ruang kerja sang papa karena menurut Miranti, siang ini papanya sedang tak fokus padanya. Entahlah apa yang tengah papanya pikirkan. Miranti tah tahu. Wanita itu melenggang masuk ke dalam ruang kerjanya sendiri masih menahan kekesalan pada pria cupu bernama Andaru, juga pada papanya.
"Awas saja kau cupu! Beberapa kali kau berulah dan lihat saja apa yang akan aku lakukan padamu!"
Bukan Miranti tak paham jika si cupu yang ia maksudkan itu menaruh hati padanya. Miranti tahu itu karena di setiap pertemuan dengan si cupu Andaru, pria itu selalu saja menatapnya tak berkedip dengan penuh memuja. Jika boleh dikata, bahkan air liurnya saja sampai menetes karena memujanya cupu itu padanya. Namun, siapa juga yang mau dengan lelaki jelek seperti itu. Yang ada, Miranti akan jijik sendiri dan ingin melempar jauh Andaru dari jangkauannya.
Arg! Lagi lagi kekesalan Miranti lampiaskan dengan menarik rambut panjangnya. Andai bisa ia lakukan, maka sekarang juga Miranti pasti sudah memecat Andaru. Agar pria itu tak lagi berkeliaran di kantor, terlebih bertemu dengannya. Miranti sangat-sangat tidak suka. Tanpa dia sadari jika perasaan tidak suka dan benci yang berlebihan itu tidak baik bagi kesehatan. Karena bisa jadi perasaan benci itu akan berubah jadi cinta dan perasaan jijikk itu akan berubah jadi memuja. hal itu sama sekali tak Miranti sadari.
***
Di lain tempat, Andaru yang tersadar akan keterpanaan pada sosok Miranti Sasha segera menunduk dan mendapati berkas-berkas yang tadi ia bawa sudah tercecer di mana-mana. Ia shock seketika. Bagaimana mungkin dia tidak menyadarinya jika semua berkas yang harus ia arsipkan ini sudah berserakan di atas lantai.
Ya, Tuhan! Panik tentu saja. Bahkan rasa gugupnya luar biasa, juga tangan yang gemetaran memungut satu per satu berkas yang berceceran. Dalam hati merutuki dirinya sendiri yang selalu saja terhipnotis akan sosok cantik Miranti. Padahal Andaru tahu betul jika wanita itu tak menyukainya. Yang ada justru perempuan itu sangat membencinya.
Dengan sisa-sisa tenaga yang ia punya, Andaru mendekap berkas yang tak lagi beraturan dan membawanya menuju ruang arsip berada. Cukup lama Andaru menghabiskan waktunya untuk mengarsip dokumen yang lumayan banyak jumlahnya. Semua karena kecerobohannya sendiri hingga membuat dokumen yang tadi telah tersusun rapi menjadi berantakan kembali. Dan Andaru harus kembali merapikan jika tidak ingin kena omelan rekan kerjanya yang lain karena kelalaiannya.
Menjelang sore Andaru baru keluar dari ruang arsip. Beruntung karena di dalam ruangan yang didominasi rak setinggi plafon itu adalah ruangan ber-AC. Hingga Andaru tak lagi kepanasan meski berada di dalam sendirian. Sebagai seorang staff adimistrasi, filling adalah salah satu job desk-nya. Karena bagian administrasi itu dituntut untuk dapat menyimpan data dengan rapi dan terkoordinir.
Berjalan kembali memasuki ruangannya. Andaru pikir dia bisa segera menyelesaikan tugas-tugasnya sendiri yang belum sempat ia kerjakan karena sibuk membantu pekerjaan teman. Namun, nyatanya hadangan salah seorang rekan kerjanya yang minta dibuatkan kopi mengurungkan niat Andaru memasuki kubikelnya. Pria itu kembali keluar lalu masuk menuju pantry. Tak langsung membuat kopi melainkan mengambil gelas dan mengisinya dengan air dingin. Ia sangat lelah sekali. Ingin beristirahat barang sekejab saja pun tak bisa ia lakukan.
"Mas Ndaru!" Suara panggilan yang mengagetkan pria itu sampai-sampai Andaru tersedak dan terbatuk-batuk. Air putih yang sedang ia minum keluar melalui hidung.
Aisya yang merasa bersalah pun segera mendekat. Gadis berjilbab yang merupakan salah satu petugas office girl di kantor ini berdiri di hadapan Andaru. "Mas Ndaru tidak kenapa-kenapa?" tanya gadis itu khawatir.
"Aku tidak apa-apa. Hanya kaget saja," jawab Andaru salah tingkah. Dengan punggung tangannya Andaru mengusap hidung yang basah. Namun, Aisya dengan sigap telah menyodorkan tisu kepadanya.
"Terima kasih." Andaru menjawab sembari membersihkan mulut juga hidunganya.
"Mas Ndaru ngapain bengong di sini sambil minum segala?"
Jujur Aisya ini terkadang merasa heran juga kasihan pada Andaru. Selain penurut, Andaru ini adalah lelaki yang baik juga pekerja keras. Seringkali Aisya mendapati Andaru yang kerja lembur sampai malam hari.
"Aku ... Aku hanya ingin membuat kopi tadi."
Kening Aisya mengernyit. Merasa sudah hapal akan kebiasaan juga tabiat rekan-rekan Andaru. Tak punya moral yang selalu menyuruh-nyuruh Andaru ini dan itu.
"Biar saya buatkan, Mas. Mau berapa cangkir?"
"Kenapa kamu bertanya seperti itu?"
"Ya, karena saya tahu kopi itu bukan Mas Ndaru yang akan meminumnya. Pasti teman-teman Mas Ndaru yang nyuruh, kan?"
"Kok kamu tahu?"
"Tentu saja saya hafal, Mas. Jadi, ini mau berapa cangkir?" Aisya kembali bertanya.
"Lima."
"Banyak amat."
"Daripada nanti ada yang mau dan aku disuruh ke pantry bikin lagi? Kerjaanku nggak akan selesai-selesai nanti."
"Lagian saya heran dengan Mas Ndaru. Kenapa mau-mau saja disuruh ini dan itu. Bukankah mereka bisa membuatnya sendiri atau menyuruh saya saja yang jelas-jelas memang pekerjaan saya. Kenapa harus Mas Ndaru coba."
"Sudah. Jangan ngomel-ngomel nanti ada yang dengar."
Dan Aisya pun diam. Sementara Andaru hanya memperhatikan Aisya dari belakang sembari menunggu gadis itu membantunya menyeduh kopi yang rekan kerjanya minta.
"Sudah selesai, Mas. Mau saya bawakan sekalian ke ruangan?"
"Tidak. Tidak. Biar saya saja. Maaf sudah merepotkanmu, Aisya."
"Tidak ada yang namanya merepotkan Mas. Mas Ndaru sendiri yang suka menolak bantuan saya padahal ini semua sudah menjadi tugas saya."
Andaru memang sering menolak acapkali Aisya ingin membantunya. Bukan tanpa sebab, tapi karena Andaru tidak enak hati saja. Wong dia yang disuruh masak harus ganti nyuruh orang lain. Aneh saja rasanya
Selagi Andaru masih bisa melakukannya, sebisa mungkin dia tak akan merepotkan orang lain.
"Terima kasih banyak, Aisya. Aku bawa dulu kopinya."
"Sama-sama, Mas."
Andaru melemparkan senyuman sebelum pergi keluar dari dalam pantry. Meninggalkan sosok Aisya yang masih mematung dalam diamnya karena terpesona akan senyuman Andaru. Dalam hati Aisya berkata, meski cupu dan suka malu-malu, ternyata manis juga bila senyum begitu.
Sementara Andaru, pria itu biasa-biasa saja meski Aisya telah membantunya. Tidak ada yang spesial karena memang Andaru adalah tipe lelaki yang tidak peka akan perasaan perempuan. Baginya, hanya Miranti seorang yang perlu dia kejar juga perjuangkan.