Bab 2 Ungkapan Cinta Lingga

1266 Kata
Rere berjalan menghampiri para pelanggan kafe tempatnya bekerja dengan nampan berisi makanan dan minuman. Sebenarnya dia sudah cukup lelah. Dari pulang kuliah tadi siang sampai sekarang waktu menunjukkan pukul delapan malam dia belum beristirahat dengan benar. Perutnya terasa keroncongan karena hanya diisi sepotong roti. “Silakan.” Rere tersenyum manis sambil menyajikan makanan dan minuman pesanan pelanggan. “Makasih, Mbak," balas sang pelanggan membuat gadis itu kembali tersenyum sambil mengangguk kemudian berlalu menyiapkan kembali pesanan untuk pelanggan lain. Rere menghampiri pelanggan yang duduk di kursi paling pojok samping jendela dengan baki berisi segelas juz jeruk. “Sila ... Lingga?” ucapnya terkejut saat melihat sosok yang memesan minuman adalah orang yang selama ini dia bully. “Bisa kita ngobrol bentar?” tanya Lingga. "Sama aku?” Rere menunjuk dirinya sendiri sambil terkekeh menyebalkan. “Aku nggak salah denger kan?” bisiknya karena tidak ingin ada yang mendengar percakapan mereka. “Ini penting, Re.” “Aku nggak ngerasa ada kepentingan apapun sama kamu.” Rere mengedikkan bahunya acuh. Memangnya apa yang penting di antara mereka? “Aku suka sama kamu, Rere.” Ucapan to the point dari Lingga membuat semua pengunjung sontak menoleh ke arah mereka. Detik berikutnya terdengar kasak kusuk serta tawa mengejek dari beberapa pengunjung namun pria itu tidak peduli. Dia hanya perlu menutup telinga seolah tidak mendengar apapun seperti biasanya saat mendengar hinaan dari teman-temannya, termasuk Rere. “Sorry aku sibuk.” Gadis itu hendak berlalu sebelum Lingga berhasil menahan pergelangan tangannya. Dia malu bukan main. Seharusnya pria itu berbicara pelan-pelan, setidaknya jangan sampai ada yang mendengar. Ini dia ngomong kaya pakai toa. Bikin malu Rere aja nih si Lingga! Kan Rere jadi tambah kesel. “Lepasin, aku lagi kerja!” desisnya tajam penuh ancaman. “Ada apa ya?” Pak Burhan sang pemilik kafe menghampiri. Dia sudah menyaksikan semua dan bisa melihat kesungguhan pria muda itu. Rere melepas kasar tangan Lingga yang menggenggam tangannya seolah jijik. “Ini, Bos, ada orang kurang kerjaan,” jawabnya asal. “Maaf, Pak kalau saya menganggu. Saya hanya ingin bicara sebentar dengan Rere,” timpal Lingga merasa tidak enak. “Oh, boleh kok. Kebetulan jam kerja Rere sudah habis.” Pak Burhan menanggapi. “Tapi, Pak ....” Rere protes tentu saja. Kenapa bosnya itu seolah memberi ruang pada si cupu Lingga untuk bicara padanya. Wah, nggak beres nih si bos! “Nggak pa pa kamu temenin aja temen kamu. Yang lain biar diurus Rani,” potong Pak Burhan sebelum Rere menyelesaikan protesnya. “Semoga berhasil anak muda, Rere memang keras kepala tapi sebenernya dia baik kok,” bisik Pak Burhan pada Lingga membuatnya mengangkat sudut bibir. Dia berterima kasih karena bos Rere itu mau mengerti. “Kalo gitu saya permisi, silakan dilanjutkan," pamitnya. “Aku nggak suka ya, kamu ganggu kerjaan aku,” kecam Rere setelah Pak Burhan pergi. “Aku cuma mau bilang ....” “Stop!” Buru-buru Rere memotong. Dia tahu apa yang hendak diucapkan laki-laki di depannya yang sialnya membuat jantung Rere berpacu lebih cepat. “Aku tau kamu nggak pernah suka sama aku. Fine. Aku juga nggak maksa. Aku cuma pingin ungkapin perasaan aku sama kamu sebelum lulus. Senggaknya setelah ini aku ngerasa lega, terus aku juga nggak penasaran lagi. Aku bisa lebih ringan melangkahkan kaki ke depannya.” Rere menganga memperhatikan gerakan bibir Lingga yang dengan lancar mengungkapkan kata demi kata. Dia tidak menyangka pria yang biasanya sering tergagap saat berbicara kini terlihat lihai seperti perayu wanita. Sungguh dia melihat keindahan itu sekarang tapi egonya menolak. “Kenapa liatinnya kayak gitu?” Pertanyaan Lingga sontak membuat gadis itu mengalihkan pandangan ke lain arah. Sial! Rere salah tingkah. “Eng- enggak!” Nah kan? Jadi Rere yang gagap. Lingga menyunggingkan senyum tipis sekali nyaris tak terlihat namun bertepatan dengan netra gadis itu yang kini kembali mengarah padanya membuat Rere melihat senyum tipis itu. Senyum indah yang sayangnya harus Lingga yang memiliki. Sungguh, Rere benci dengan pria ini. Dia sendiri tidak tahu alasan dirinya membenci Lingga. Padahal selama ini si cupu tidak pernah mengganggunya seperti pria resek yang lain. “Ya udah, aku pulang ya. Maaf udah bikin kamu malu.” Pria itu bangkit dan keluar begitu saja dari kafe setelah meletakkan lembaran uang berwarna merah di meja sebagai bayaran untuk minumannya. Rere menatap tak percaya tubuh yang sebenarnya tegap itu menjauh. Enak sekali dia bilang suka, membuat jantungnya berdetak tak karuan karena nervous sekaligus malu pada pengunjung kafe karena insiden barusan dan sekarang dengan enteng dia mengucapkan kata maaf dan pergi begitu saja. Benar-benar nggak ada akhlak! “Lo pikir gue apakah?” geram batin Rere. *** “Kenapa ni muka ditekuk aja?” tanya Brian menghampiri Rere yang duduk di bangkunya. Gadis itu terlihat sekali memaksakan senyum. Rere bingung. Di satu sisi dia merasa kasihan pada Lingga tapi di sisi lain dia tidak ingin terlihat bodoh di depan para sahabatnya. Apa kata mereka kalau tahu dia galau gara-gara pria cupu itu? “Ngantuk,” jawab Rere sekenanya. “Galau dia, semalem ditembak Lingga,” seru seseorang di bangku paling belakang membuat Rere menoleh dan melotot yang sekaligus mengundang ketertarikan tiga sahabatnya. “Hah, beneran?" tanya Meta mengundang anggukan gadis di bangku belakang. "Tahu dari mana, Yu?” Pertanyaan Meta berikutnya mewakili kekepoan yang lain. “Semalem kan aku ada di kafe tempat Rere kerja,” jawab Ayu karena memang gadis itu ada di sana saat kejadian yang menurut Rere sial itu. Rere menepuk jidatnya. Ini nih yang dia nggak demen. Kalau sampai di kampus ada yang tahu. “Coba jelasin detailnya, Yu ...,” titah Meta, “maksudnya Lingga nembak Rere di kafe?” tanyanya meminta penjelasan. “Tanya aja Rerenya,” jawab Ayu mengundang decak di bibir penanya. “Kamu utang penjelasan sama kita, Beb.” Cyndi menaikturunkan alisnya menggoda Rere. Dia tahu gadis itu kesal bukan main. Padahal tidak ada yang aneh. Semua orang juga tahu kalau Lingga menyukai Rere. Hanya yang membuat mereka shock, cowok selevel Lingga yang notabene cupunya melebihi alam semesta, ternyata bisa mengungkapkan perasaannya pada gadis itu. Pencapaian yang luar biasa menurut mereka. Belum tentu kan cowok yang terlihat lebih keren dari Lingga berani melakukannya? “Kantin yuk.” Brian menggandeng tangan Rere membuatnya bangkit dan mengikuti langkah panjangnya. “Pelan-pelan dong, Bri,” rengeknya. Sebenarnya gadis itu tidak ingin ke kantin tapi di dalam kelas juga bukan pilihan yang tepat. Mereka pasti tidak akan berhenti menggodanya. Brian terkekeh, “Buru sebelum kamu tambah malu.” “Eh, tungguin!” teriak Meta dan Cyndi mengekor di belakang. Seperti biasa kantin penuh. “Kita keluar aja yuk,” ajak Brian saat melihat tidak ada satu pun tempat untuk mereka duduk. “Iya deh kita makan di luar aja, lagian abis ini nggak ada kelas kan kita?” Meta yang sudah ada di belakang mereka menimpali. “Nggak deh aku balik kost-an aja.” Selalu seperti ini. Rere tidak seperti tiga sahabatnya yang kelebihan uang. Dia harus bekerja untuk bisa membiayai hidupnya sendiri yang sebatang kara di Jakarta. Baginya sayang mengeluarkan banyak uang untuk sekedar makan atau nongkrong di kafe. Dia lebih memilih menyisihkan sebagian penghasilannya untuk keperluan tak terduga. “Gimana kalo take away aja terus makan bareng-bareng di kost-an Rere.” Benar kata Meta, Cyndi dan Brian juga sependapat. Mereka tahu bagaimana kondisi perekonomian sang sahabat hanya saja gadis itu tidak pernah mau kalau hanya nebeng shohib-shohib konglomeratnya. Walau bukan orang kaya, Rere tidak pernah memanfaatkan teman-temannya. Rere mengangguk. Kalau sudah seperti ini dia bisa apa? “Tapi kita nagih penjelasan kamu dong,” canda Cyndi dihadiahi jitakan di dahinya. “Aww! Sakit, Bri," keluhnya. “Dasar nggak tau tempat!” cibir Brian.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN