Malam itu Raymond pulang lebih awal. Dia pun menyempatkan dirinya untuk makan malam bersama keluarganya. Seperti biasa, dia tetap beri kecupan mesra di pipi Jessica di depan keduaorangtunya.
Jessica tersenyum lega. Raymond sangat lahap makan malam ini. Spageti buatan maminya habis tak bersisa. Sepertinya rencananya akan berhasil malam ini.
Setelah makan malam, Jessica dan Raymond sudah berada di dalam kamar berduaan. Raymond yang kegerahan, duduk-duduk di atas sofa sambil memainkan ponselnya. Sementara Jessica terlihat sibuk membersihkan wajahnya.
Beberapa saat kemudian, Jessica pun merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur. Dia meringkuk di balik selimut dengan mata terpejam tetapi tidak tidur. Dia sedang menunggu obat perangsang bekerja dalam tubuh Raymond.
Benar saja, dia sudah mulai mendengar suara-suara tubuh bergerak-gerak gelisah di atas sofa. Terdengar pula decakan kesal dari mulut Raymond.
Jessica pun akhirnya turun dari tempat tidurnya. Dia melangkah pelan ke tubuh suaminya yang masih terbaring di atas sofa.
“Kamu sebaiknya mandi, Ray,” ujar Jessica yang langsung duduk mengangkang di atas tubuh Raymond yang terbaring pasrah di atas sofa.
“Kamu melakukan sesuatu, Jess?” tanya Raymond curiga. Dia terlihat tidak nyaman di seputar perutnya.
“Aku menginginkannya, Ray. Aku mohon,” mohon Jessica. Raymond terlihat gusar. Dia tatap wajah memohon Jessica.
“Kenapa kamu siksa aku begini, Jess? Ini nggak bagus. Aku nggak biasa dengan ini,” ujar Raymond memelas. Dia meringis tidak nyaman.
Wajah Jessica berubah pucat saat Raymond mengeluh mual dan ingin muntah-muntah. Raymond dengan cepat beranjak dari sofa dan berjalan cepat menuju kamar mandi.
Jessica terdiam menyesali apa yang dia perbuat. Seharusnya dia pelajari dulu obat yang dia bubuhkan di makanan suaminya. Sepertinya Raymond mengalami alergi obat.
***
Beberapa hari kemudian, setelah peristiwa itu, Raymond sama sekali tidak memarahi Jessica atas perbuatannya malam itu. Dia malah bersikap santai dan tetap melakukan kegiatannya seperti biasa. Tapi, sepertinya dia sudah mulai bereaksi dengan tidak memakan apa pun dari rumah. Sikap ini tentu mengundang pertanyaan mami-papinya. Raymond tidak mau menjelaskannya. Akhirnya Jessica yang tidak tahan mengungkapkan keadaaan pernikahannya Raymond yang sebenarnya pada Anita. Tidak ada cinta dari Raymond untuknya hingga dia tidak pernah disentuh Raymond sejak mereka menikah.
Dari semua itu, hal yang membuat Anita sedikit tersentak adalah pengakuan Jessica yang telah memasukkan obat perangsang ke dalam makanan Raymond hingga membuat Raymond muntah-muntah. Jessica terpaksa mengakuinya karena dia yakin pada akhirnya Anita pasti akan mengetahuinya.
“Dia masih mengungkit-ungkit apa yang aku lakukan dulu, Mi. Melaporkan hubungannya dengan Bianca. Itu yang dia sesalkan sampai sekarang,” keluh Jessica.
Anita diam seperti memikirkan sesuatu.
“Apa aku salah menuntut hakku sebagai istri, Mami?" tanya Jessica dengan raut kesal di wajahnya.
Anita usap-usap punggung menantunya itu.
“Tidak salah, Sayang. Kamu berhak,” jawab Anita yang tampak berpikir keras.
Keadaan ini akhirnya dibiarkan Anita. Karena dia sendiri tidak tahu harus berbuat apa. Pernikahan ini memang keinginannya. Dia berpikir Jessica adalah perempuan yang pantas mendampingi putranya dengan segala kelebihannya, cantik, pintar, dari keluarga terhormat. Jessica juga gigih berjuang mendapatkan Raymond. Dia pikir Raymond sudah luluh hatinya setelah tak menolak pernikahannya dengan Jessica. Namun, ternyata apa yang dia lihat dari sikap Raymond selama ini hanyalah drama belaka. Dia akhirnya menyadari bahwa Raymond hanya berusaha ingin menyenangkan hatinya selama ini hingga sampai pada tahap
mengorbankan perasaannya.
Kejadiannya bermula, tepat beberapa tahun yang lalu, Raymond kesal karena dipinta Anita untuk menemaninya pergi ke arisan ibu-ibu kaya di sebuah hotel berbintang. Raymond sangat tidak suka melakukannya. Ini kali kedua Anita memohon kepadanya setelah enam bulan yang lalu. Minggu ini supir pribadi maminya sedang pulang kampung. Sebagai satu-satunya orang yang sedang 'menganggur' di rumah, mau tidak mau dia supiri maminya menuju lokasi arisan.
Sebenarnya Raymond mau saja menemani maminya pergi ke manapun, seperti ke mall, ke spa, atau mengunjungi rumah kerabat dan sahabat-sahabat. Arisan? Duh Raymond bisa bete. Karena tidak suka melihat suasananya yang dipenuhi ibu-ibu sosialita yang kebanyakan memamerkan semua yang mereka miliki, dari pamer perhiasan, tas mewah, hingga prestasi anak-anak mereka. Belum lagi ada saja yang menegurnya dan menjodoh-jodohkannya dengan salah satu anak-anak gadis mereka. Itu yang Raymond alami saat menemani maminya arisan enam bulan lalu di rumah salah satu geng maminya.
"Mi. Aku duduk di lobi aja ya. Enggak usah ikut ke dalam deh," ujar Raymond saat berjalan beriringan dengan maminya di depan gerbang hotel.
"Lha? Kayak apa aja. Lebih baik nunggu di dalam. Kan ada ruang khusus. Biar Mami yang kasih tahu pegawai hotelnya," cegah Anita.
"Biar bisa jalan-jalan ke luar. Ntar kalo selesai, Mami tinggal telfon aku," elak Raymond.
"Duh, Cello." Anita sepertinya tidak kuasa mencegah. Ditemani anak bungsunya hingga sejauh ini saja dia sudah sangat bersyukur, karena sangat susah membujuk Raymond mengantarnya pergi arisan. "Ya udah. Nanti Mami hubungi kamu kalau acara udah mau selesai ya."
Raymond pun hanya menghela napas lega. Dia pun berbalik memasuki lobi hotel.
Setelah memastikan maminya masuk hotel, Raymond pun duduk dan mulai memainkan gawainya, tiba-tiba pandangannya tertuju ke seorang wanita cantik yang juga berjalan menuju sekumpulan kursi-kursi di lobi hotel. Wanita bernama Bianca itu seperti kesusahan membawa beberapa tas kertas belanjaan. Kemudian dia mengambil posisi duduk yang berdekatan dengan Raymond.
"Ada ramen instan di kulkas. Ada banyak, dimasak aja. Baca petunjuknya baik-baik. Apa? Nggak usah pake kompor. Di microwave lebih gampang. Suruh Farel, dia dulu bantu Mama panasin ramen. Udah ya, Sayang. Mama udah di hotel. Bye, Mmmuuuuach. Love you."
Raymond melirik-lirik wanita itu di tengah asyiknya bermain ponsel.
"Cantik. Penyayang lagi. Pasti anaknya sangat beruntung memiliki Mama secantik dan sepenyayang wanita itu," batin Raymond merasa kagum terhadap Bianca.
"Maaf, Dik. Suara saya ganggu," ucap perempuan itu sadar diperhatikan Raymond.
"Enggak apa-apa, Mbak ... eh, Tante," balas Raymond ragu.
"Tante aja manggilnya." Bianca menjawab dengan senyum terulas di wajah cantiknya.
"Tante … ikut arisan?" tanya Raymond hati-hati. Dilihat dari penampilannya, wanita itu cukup berkelas. Hampir sama dengan penampilan teman-teman maminya, tapi Bianca terlihat lebih muda dan segar.
"Ya. Ini bawain tas titipan ibu-ibu arisan. Tante cuma bawa empat. Biasanya baju-baju sih. Toko Tante deket banget dari sini. Hm ... kok tahu ada arisan? Adik ini …?"
"Saya nungguin Mami saya di dalam."
"Oh. Sudah mulai ya? Di undangan setengah jam lagi kok."
Bianca lalu melirik jam tangannya. Dia pun cepat-cepat meraih tas-tasnya dan berdiri dari duduknya.
"Saya bantuin, Tante," tawar Raymond tiba-tiba. Dia juga langsung berdiri mendekati perempuan tersebut.
"Oh. Makasih. Duh, manisnya," decak Bianca memuji kebaikan Raymond.
Entah kenapa jantung Raymond berdegup-degup saat berjalan beriringan dengan Bianca. Dia sampai mengamati sekujur tubuh rupawan yang melangkah tepat di depannya. Matanya tertuju ke b****g kencang yang tertutup rok selutut warna cokelat tua, betis yang sangat mulus dan putih hingga urat-uratnya menyejukkan mata Raymond. Tapi, wajah Raymond berubah seketika karena ada sesuatu yang terlintas di benaknya.
"Tante ini pasti sudah memiliki anak dan suami," gumam Raymond dalam hati.
Dan, perasaan Raymond bercampur aduk saat berada di dalam lift. Aroma parfum wangi dari tubuh seksi itu tercium hidung Raymond hingga dia menarik napas dalam-dalam dan menghembusnya cepat agar bisa menghirupnya lagi dan lagi.
"Sekolah atau kuliah?" tanya Bianca menyadari sikap diam Raymond. Dia pun menoleh ke arah Raymond yang tatapannya tertuju ke nomor-nomor yang ada di sisi pintu lift.
"Oh, eh … sekolah, Tante ... kelas dua belas."
"Anak Tante juga kelas dua belas."
"Ha?" Raymond terkejut mendengar ucapan Bianca hingga tali-tali tas kertas yang dia pegang terlepas dari pegangannya.
"Maaf, Tante ... Maaf." Raymond merasa sangat bersalah. Namun, ia benar-benar terkejut saat mendengar apa yang Bianca matakan. Jika dilihat dari penampilannya, rasanya mustahil wnaita itu bisa memiliki anak yang berusia delapan belas tahun sama sepertinya. Dia tadinya mengira anak wanita itu masih berusia lima atau enam tahun.
Bianca lagi-lagi tersenyum melihat sikap gugup Raymond. Dengan sabar, dia mulai meraih tas-tas kertasnya yang jatuh dan kembali memberikannya kepada Raymond. Dia tatap wajah Raymond dengan hangat.
"Enggak papa. Untung jatuhnya di sini. Kalau ketahuan ibu-ibu itu, pasti mereka nggak mau beli."
Raymond menelan ludahnya. Kenapa dia jadi gerogi begini? Dia tidak pernah segerogi ini di hadapan wanita mana pun di belahan dunia ini.
Tak lama kemudian, pintu lift mulai terbuka. Raymond bersama Bianca pun mulai melangkah ke luar dan berjalan menyusuri lorong menuju ruangan di mana acara arisan berlangsung.
"Sekolah di mana?" tanya Bianca. Dia senyum-senyum melihat sikap Raymond yang sangat gugup.
"JIS, Tante."
"Really? Anak Tante juga sekolah di sana lho ... dia kelas dua belas."
"Oh ya? Namanya siapa, Tan?"
"Haikal Hadi."
Raymond menelan ludahnya lagi. Dia mengenal Haikal karena sekarang satu kelas dengannya.
Senyum Raymond terulas seketika. Dia pernah mendengar gosip bahwa Haikal mempunyai seorang mama yang sangat cantik dan janda. Ini adalah jawaban kenapa jantungnya berdegup kencang manakala berdekatan dengan wanita ini.
"Kamu kenal?" tanya Bianca saat melihat keterkejutan di wajah Raymond.
Raymond semakin gugup. Kini mereka berdua sudah berada di bagian depan ruang acara.
"Oh, eh." Belum sempat Raymond menjawab, mereka berdua sudah diserbu ibu-ibu yang sedang berkumpul di sebuah ruangan.
"Eh, Bianca. Duh ini dia yang ditunggu-tunggu!" seru salah satu ibu-ibu peserta arisan. Dia langsung membimbing Bianca memasuki ruangan tanpa memperdulikan Raymond. Raymond yang membawa tas-tas kertas besar titipan ibu-ibu arisan mau tidak mau ikut masuk ke dalam ruangan tersebut.
Maminya yang berada di dalam ruanganya itu tentu saja kaget. Dia langsung memburu Raymond yang masih berdiri di dekat mulut pintu.
"Cello?" delik Anita kebingungan. Raymond dengan santainya meletakkan tas-tas itu di atas sebuah meja yang tidak jauh dari posisi pintu ruangan.
"Kok?" Anita benar-benar heran dengan Raymond yang tiba-tiba muncul ke ruang acara arisan.
Bianca pun menoleh ke arah Raymond dan Anita yang saling pandang. Dia lalu melangkah cepat menuju keduanya.
"Halo, Mbak Anita," sapa Bianca ramah.
"Bianca. Duh udah lama enggak ketemu. Makin cantik, kinclong, seger," puji Anita seraya memeluk tubuh langsing Bianca erat-erat dan mereka pun saling cium pipi kiri dan kanan. Raymond menahan senyumnya saat mendengar nama wanita itu disebut maminya.
"Jadi, wanita itu namanya Bianca," gumam Raymond masih terus menatap wanita yang sejak tadi sudah berhasil membuat debaran pada jantungnya.
"Ini?" Bianca merenggangkan pelukannya dan mulai menanyakan Raymond.
"Ini Cello. Anak bungsuku, Bianca."
Bersambung