Koki Raymond

1336 Kata
Anita menghela napas. Raymond sungguh berubah sekarang. Padahal sebelumnya Mama Dwayne dan Mama Nugie pernah komplain kepadanya tentang Raymond yang susah sekali dibujuk memasuki rumah mereka. Raymond lebih suka duduk-duduk di teras atau bermain di lapangan depan rumah. Disuruh minum saja dia lebih memilih air minum kemasan yang biasanya diletakkan di atas meja teras. Jika disuguhkan minuman hangat atau dingin, Raymond terang-terangan menolak. “Berubah banget kamu sejak pacaran. Emang Bethany sespesial apa sih?” goda Anita. Raymond tersenyum simpul. “Dia sangat spesial,” jawabnya sambil memikirkan tubuh seksi dan wajah cantik Bianca. Raymond lalu menarik tangan maminya dan mencium punggungnya. “Aku pergi dulu ya, Mi. Hari ini aku usahakan pulang nggak kesorean, kayak minggu kemarin,” ujarnya sambiil menepuk-nepuk lembut pipi maminya. *** Jika sebelumnya Raymond disambut senyum Bianca, jumat siang ini dia disambut senyum Haikal. Raymond tidak mempermasalahkannya, karena dia sudah melihat Bianca yang sudah sibuk di dapur. Penampakan Bianca sungguh luar biasa, baju kaus putih rumahan bergambar hello kitty dipadu hotpants jins. Dia sedang mempersiapkan minuman dingin pesanan Abi, juga dua sahabat Haikal. “Hai. Raymond!” sapa Bianca dengan wajah cerahnya. Dia lambaikan tangannya dari arah dapur. Raymond balas dengan senyuman. “Bawa apa? Repot amat?” tanya Haikal yang matanya tertuju ke dua tas kain di tangan Raymond. “Buat tambahan makan-makan,” jawab Raymond. Dia bergegas menuju dapur. Haikal pun mengikutinya. Wajah Haikal menunjukkan semangat saat melihat punggung Raymond. Sepertinya hari ini adalah hari terbaiknya. Apalagi melihat mamanya semangat menyambut Raymond saat berdiri di depan meja dapur. Pasti mamanya sangat terbantu dengan kehadiran Raymond. “Wah. Bahan-bahan spageti?” decak Bianca senang. Dia langsung mengeluarkan semua yang ada di dalam tas kain. “Boleh aku masak, Tante?” tanya Raymond. “Ha?” delik Bianca, lalu dia tertawa renyah sambil melirik Haikal yang tampak terbengong-bengong. Raymond tampak terpana melihat wajah cerah Bianca. Tawa renyahnya sangat merdu di telinganya. “Boleh. Pas banget Tante belum mulai masak menu utama. Baru mau nyiapin bahan-bahan buat es teler pesanan Abi,” ujar Bianca. Haikal mendekati mamanya dan Raymond. Dia duduk di atas kursi bar dekat meja dapur. “Aku bantu makan aja ya, Ma,” ujarnya sambil memutar-mutar tubuhnya. “Bantuin Mama dong siapin bahan-bahan es teler. Nangkanya belum dipotong-potong, jelinya juga belum dikeluarin dari kulkas.” Haikal dengan gerak malas beranjak dari duduknya, melangkah mendekati posisi mamanya. “Tante tadi buat risol ragu isi ayam dan wortel, trus bolu jerman. Mau coba nggak?” tawar Bianca. Belum sempat Raymond jawab, Bianca tarik tangan Raymond dan mengajaknya menuju sebuah meja kecil. Raymond terperangah dengan sikap Bianca yang menurutnya sedikit berlebihan. Dia lirik Haikal yang khusyuk memotong-motong buah nangka. Haikal tampak tidak mempedulikan. Raymond pun akhirnya memahami bahwa mungkin Bianca sudah terbiasa bersikap begini dengan teman-teman Haikal. Bianca buka tudung saji dan mengambil satu potong bolu Jerman dan diarahkannya ke wajah Raymond. Mau tidak mau Raymond buka mulutnya sambil memandang wajah Bianca yang masih saja tersenyum. “Enak kan?” tanya Bianca memastikan. Raymond yang mengunyah mengangguk. “Enak,” tanggapnya seraya menatap hangat wajah Bianca. Bianca terlihat salah tingkah. Cepat-cepat dia balikkan badannya menuju meja dapur. “Kamu perlu apa aja, Ray? Tante siapkan,” seru Bianca yang tampak membungkuk bersiap-siap membuka lemari dapur yang berisi alat-alat masak. Raymond melangkah mendekatinya Bianca yang membungkuk. “Panci rebus, Tante. Sama wajan besar. Yah, yang Itu,” tunjuk Raymond. Matanya melirik-lirik punggung dan b****g Bianca, yang sedang meraih dua alat yang dipintanya. Raymond menelan ludahnya berusaha mengusir gugupnya. Dia tidak ingin kehilangan kosentrasi memasak. *** Dapur rumah Bianca benar-benar sibuk sekarang. Haikal dan Bianca mempersiapkan es teler dan Raymond yang asyik memasak spageti. “Kamu jago masak ya?” puji Bianca yang terkagum-kagum melihat tangan Raymond yang lincah mengaduk-aduk saus pasta. Es teler buatannya sudah selesai dan kini diletakkan Haikal di dalam kulkas agar tetap dingin saat disantap. “Nggak juga. Tapi emang suka masak. Tanya aja Mami,” tanggap Raymond. Bianca berdiri di samping Raymond sambil mengamati saus pasta yang sedang diaduk. “Nggak perlu nanya Mami kamu, Ray. Gerak tangan kamu aja bisa Tante nilai,” “Italian seasoningnya, Tante,” “Oh. Bentar.” Bianca langsung meraih botol kecil yang ada di dekatnya. Dengan cepat dia berikan ke Raymond. “Wangi banget, Mon. Kayaknya gue nggak perlu nunggu yang lain. Gue langsung makan aja dah,” seru Haikal yang kini sudah santai-santai duduk di sofa ruang keluarga. “Bentar lagi selesai, Kal,” balas Raymond. “Tante juga mau? Kalo mau aku siapin. Enak kalo makan pas panas-panas,” tawar Raymond. Bianca mengangguk semangat. Raymond menarik spatula dari wajan dan dia pukulkan sedikit ke telapak tangannya, lalu mencicip saus yang menempel di telapak tangannya. Bianca tersenyum melihat apa yang dilakukan Raymond. Tak diragukan lagi, Raymond sangat pandai memasak. “Hm … ck, enak,” decak Raymond. “Icipin sedikit, Tante,” pintanya tiba-tiba. “Nggak usah. Tante percaya pasti enak,” elak Bianca. Raymond tampak memaksa. Dia pukulkan lagi spatula bekas saus ke telapak tangannya. “Raymond,” desah Bianca yang setengah tidak percaya Raymond memintanya menyicipi saus pasta yang menempel di telapan tangannya. “Takut seleranya beda. Kalo Tante nggak suka, aku buatkan saus khusus buat Tante,” bujuk Raymond dengan suara pelan. Bianca tentu saja terkejut dengan sikap Raymond yang berubah hangat. Raymond mendekatkan telapak tangannya ke wajah Bianca. Kali ini dia pasrah dan tidak memaksa Bianca. Namun hampir saja dia tarik tangannya, Bianca mendekatkan wajahnya ke tangan Raymond dan mencicipi saus yang menempel di telapak tangan itu dengan mulutnya. Raymond tersenyum hangat melihat wajah memerah Bianca saat seolah mencium telapak tangannya. “Ini selera Tante,” ucap Bianca. Dia alihkan perhatiannya ke wajan di atas kompornya. Dia tersadar sepertinya tatapan Raymond benar-benar beda sekarang. Apalagi cara bicaranya lebih pelan seolah tidak ingin didengar Haikal yang malah asyik bermain ponselnya. “Aku siapin buat Tante,” tawar Raymond. “Buat Haikal dulu, Ray. Tante bisa ambil sendiri,” ujar Bianca yang sudah siap-siap meraih dua piring bersih. Dia sodorkan satu piring ke hadapan Raymond. Tapi Raymond mengambil keduanya dari tangan Bianca. “Ray,” desah Bianca. “Biar aku yang ambilkan.” Bianca tampak terpaku dengan sikap Raymond. Matanya sesekali mencuri-curi pandang ke wajah tampan Raymond. Raymond sangat hati-hati mempersiapkan spageti ke atas satu piring bersih. “Biar Tante kasih ke Haikal dulu,” bisik Bianca yang perasaannya mulai hangat berdekatan dengan Raymond. Raymond mengangguk tersenyum. Tak lama kemudian terdengar suara Haikal bersorak saat mamanya membawakannya sepiring spageti. “Wah … wangi benerrrr. Makasih, Ray!” sorak Haikal. Dia langsung menyantap spageti buatan Raymond. Bianca lalu kembali lagi ke dapur. Spageti untuknya sudah disiapkan Raymond di atas meja island. Raymond sendiri tampak duduk menunggunya. Bianca perlahan meletakkan pantatnya di atas kursi yang sepertinya sengaja Raymond siapkan supaya makan di dekatnya. Sudah ada satu gelas air minum pula untuk Bianca. “Setelah selesai sekolah, lanjut kuliah di mana?” tanya Bianca sambil memutar-mutar garpu di atas tumpukan spageti. “Di Jakarta. Mami minta aku kuliah di sini,” jawab Raymond. Bianca tampak menyukai spageti buatan Raymond. Alis matanya naik turun saat mengunyah. “Iya ya. Dua kakak kamu kan kuliah di luar negeri semua.” Raymond mengangguk. “Haikal Tante?” Raymond balik bertanya. Bianca terkekeh. “Yah jelas di sini dong, Ray. Tante sama siapa kalo dia sekolah jauh,” “Sama aku,” Bianca tertawa lepas. Lalu menggeleng-gelengkan kepalanya. “Lha kamu kan temani Mami kamu,” canda Bianca. “Ganti-gantian, aku jaga Mami, jaga Tante juga,” Bianca tertawa lagi. Raymond bisa saja becandanya. Tak lama kemudian, Haikal menghampiri keduanya yang asyik berbincang. Dia sudah menghabiskan spagetinya. Tampak piring kosong yang kotor dibawanya. “Gue nambah lagi boleh nggak,” pinta Haikal. Raymond mengangguk. “Sisain buat teman-teman kamu nanti, Kal,” ucap Bianca seperti mencegah. “Nggak papa, Tan. Kalo nggak cukup masih ada bahan sisa. Nanti aku masakin lagi,” ujar Raymond. Dia malah mengambilkan satu sendok besar spageti dan meletakkannya di atas piring Haikal. “Makasih, Ray,” ucap Haikal senang. Bersambung
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN