Hari kembali terus berlalu hingga memasuki pertengahan bulan. Syara semakin bersemangat sebab tak lama lagi memang ia akan kembali menerima gaji kedua. Pagi ini, kembali Syara tiba tepat waktu dikantornya. Ia sapa setiap temannya yang sudah lebih dulu tiba disana dengan senyuman manisnya. Seperti biasa dengan segera Syara mengganti pakaiannya dan segera menyiapkan segala alat kerjanya, dengan wajah yang sumringah. Namun ada suatu hal yang membuat Syara gamang. Karena, pagi ini Syara diminta untuk membersihkan kaca dilantai dua. Syara yang cukup phobia dengan ketinggian pun membuatnya merasa tak mampu untuk menjalankannya. Namun kembali lagi, jika ia dalah seorang karyawan baru yang seharusnya mampu menjalankan setiap pekerjannya dengan baik.
Sehingga kini, Syara memilih untuk mengiyakannya. Sebab ia sangat membutuhkan pekerjaan itu, juga ia yang tak mau jika dinilai sebagai seorang karyawan yang pemilih ketika diberikan pekrerjaan. Dengan mengucap basmalah Syara mulai menaiki tangganya. Kedua kaki dan tangannya pun seketika itu pula pun bergetar begitu saja. Namun tetap ia berusaha untuk menenangkan dirinya, juga mengusahakan hingga jangan sampai ia melihat kebawah. Karena sudah pasti hal itu hanya akan membuatnya semakin ketakutan dan resiko dirinya akan kehilangan keseimbangan akan semakin tinggi.
“Bismillah ya Allah Bismillah.. ya Allah hamba mohon mudahkanlah.. semoga saja aku gak kenapa-kenapa Aaamiiin..” doa Syara dengan tubuh yang masih saja gemetar. Dan kini ia pun mulai membersihkan kaca itu dengan teramat perlahan sebab rasa takut itu kini rasanya semakin mendera dirinya. Semakin membuatnya cukup sulit untuk dapat fokus bekerja.
Karenanya, tanpa sengaja Syara jatuhkan kain lapnya, yang refleks hal itu semakin membuat Syara menunduk. Hingga kedua manik matanya membulat seketika sebab kini ia tengah melihat kearah bawah. Seketika pula tubuhnya semakin bergetar hebat. Syara pun merasa jika saat ini ia semakin kehilangan keseimbangannya. Jantungnya berdebar teramat kencang sebab ia yang tengah kesulitan untuk menyeimbangkan tubuhnya. Berulang kali Syara tetap berusaha untuk berdiri tegak namun selalu saja gagal karena kini kedua lututnya semakin bergetar hebat. Yang karenanya Syara yang semakin kehilangan keseimbangannya pun mulai terjatuh begitu saja dari tangga yang ia naiki.
“Astaghfirullahhalladziiim... aaaaaaaaaaaaaaaaaaa... toloooooooooong...” pekik Syara dengan lantangnya. Syara terjatuh cukup jauh hingga ketaman depan kantor, sehingga mengakibatkan benturan dikepalanya yang membuatnya tak sadarkan diri begitu saja. Dan teriakan keras itu pun membuat para staff lain yang mulai mendengar teriakan Syara pun dengan segera berbondong-bondong mencari dimana sumber suara . Begitu pun dengan Tsani dan Claudy yang saat ini juga ikut berlari mencari keberadannya sebab keduanya pun hapal betul jika itu adalah teriakan dari seorang Syara.
“Syaraaaaaaaaaaaaa... “ pekik Tsani dan Claudy seketika. Dikala ia mulai mendapati seorang Syara yang sudah terkapar lemah direrumputan dengan darah yang mengalir dari kulit kakinya yang robek, juga keningnya yang terbentur bebatuan. Keduanya berlarian cukup kencang menghampiri Syara seraya Claudy letakan kepala Syara dikedua pahanya. Mereka menangis sesenggukan berusaha menyadarkan Syara. Namun nihil, tak ada satu pun respon yang berarti dari seorang Syara dan kini ia masih saja tak sadarkan diri. Sehingga hal itu semakin teramat membuat Claudy juga Tsani merasa takut jika akan terjadi suatu hal yang buruk kepada Syara. Karena mereka lihat luka serius diarea kepalanya.
Setelah mengetahui insiden ini, dengan segera pihak kantor menghubungi ambulans agar Syara segera mendapatkan pertolongan pertama. Dan karena memang cukup dekat jarak antara kantornya dengan rumah sakit. Hal itu cukup mempersingkat waktu hingga kini ambulans itu mulai tiba disana. Dengan segera para tim medis pun segera menggotong tubuh Syara keatas tandu dan kini ia mulai mendapatkan pertolongan pertama. Mulai dipasangkannya alat bantu pernapasan dihidung Syara, mengobati luka dibagian kepala Syara yang sejak tadi terus saja mengalirkan darah, juga mereka pasangkan selang infus disana. Caludy dan Tsani yang sejak tadi melihatnya pun tak dapat membendung tangis kepedihannya. Hingga kini mereka mulai meminta ijin kepada atasan mereka agar keduanya dapat diperbolehkan untuk turut menemani Syara pergi ke rumah sakit.
Karena memang mereka dipercaya juga berhubungan baik dengan Syara, kini mereka pun diberikan ijin, dengan Syarat jika mereka harus mampu mengurus dengan baik proses pengobatan Syara, dengan sejumlah uang yang dibawakan untuk keduanya. Selama diperjalanan menuju rumah sakit, suara sirine ambulans itu sungguh semakin membuat Tsani dan Claudy semakin merasakan sebuah kesedihan yang semakin mendera mereka. Namun tetap keduanya berusaha untuk tenang dan hanya airmata yang terus menganak sungai itulah yang menggambarkan, setiap kesedihan juga rasa takut kehilangan yang saat ini tengah mereka rasakan. Hingga salawat serta doalah yang kini menyertai diri mereka.
***
Tak lama kemudian mereka pun tiba disana. Beruntungnya ada seorang dokter yang juga sedang melintas disana. Hingga dengan segera Syara bisa mendapatkan perawatan intensif diruangan UGD. Terlihat jelas sebuah kekaguman dikedua mata dokter nun tampan rupawan itu ketika ia memandangi wajah Syara. Reynaldi Sugiharto namanya. Seorang dokter muda spesialis bedah dengan perawakan yang cukup tinggi, berkulit putih, alis tebal, hidung yang bangir juga rahang yang tegas. Selama mengobati Syara, terus saja ia pandangi wajah cantik Syara yang baginya begitu mengingatkannya kepada seseorang yang teramat ia cintai dimasalalu. Sehingga tatapan itu tak dapat beralih juga sempat membuatnya kehilangan fokusnya.
Namun kembali ia berusaha untuk menangani Syara dengan baik. Sebuah benturan keras dikepala Syara membuat kedua matanya mengalami hifema. Dan kecelakaan itu juga menyebabkan patah tulang dipergelangan kaki Syara. Yang sudah pasti karena insiden ini akan membuat Syara semakin sulit menjalani hidupnya. Kedua mata Reynald pun membulat seketika dikala ia dapati nama lengkap Syara disana. Sebab nama itu memang bukan sebuah nama yang asing baginya. Sedangkan diluar sana, selama menunggu proses pengobatan Syara. tiada hentinya Tsani dan Claudy memanjatkan doa kepada Yang Maha Kuasa, agar sahabatnya senantiasa mendapatkan kesehatan seperti sedia kala.
“Hiks..hiks..hiks.. Aku takut, Tsan. Aku takut kalau sampai ada luka serius yang, Syara, dapat. Syara, baru aja kembali semangat. Gimana kalau nanti sampai dia bersedih lagi,” ucap Claudy seraya menatap nanar kearah Tsani yang juga masih terisak.
“Iya, Cla. Gue juga lagi mikiri hal yang sama saat ini. Tapi kita positive thinking aja dulu ya. Kita harus doa terus semoga Syara baik-baik aja. Dan dia akan segera kembali bekerja bareng-barenng sama kita,” jawab Tsani berusaha yakin.
“Aaaamiiin Yarabbal Alamiiin.. semoga aja ya, Tsan,” ucap Claudy penu harap. Dan Tsani pun mengangguk pasti seraya turut mengaminkannya.
Sedangkan dirumah. Mama cukup terkejut mendengar insiden ini terjadi. Dadanya terasa begitu sesak dan kini ia mulai terisak. Sebab sebenci apapun ia kepada Syara, Syara tetaplah seorang putri tunggal yang teramat ia sayangi. Namun sayang, rasa benci itu kini selalu saja lebih merajai ketimbang perasaan sayangnya. Dengann segera Mama memilih untuk menghubungi Syarif karena ia sendiri pun masih trauma jika harus mengendarai mobilnya sendiri. Mengingat seperti apa mengerikannya kecelakaan yang menghilangkan nyawa suaminya.
Mendengar kabar dari sang Mama, bukannya prihatin, justru kini Syarif semakin marah juga membenci seorang Syara. sebab jika Kakaknya itu tak lagi bekerja, maka akan seperti apa biaya sekolahnya nanti. Dan kini ia memilih untuk meyakinkan sang Mama jika ia tak perlu datang ke rumah sakit. Dan Syarif janjikan jika sepulang sekolah nanti ia akan segera menjenguk Syara. Sebab Syarif tak rela jika nanti hubungan Mama dengan Syara yang akan semakin membaik. Karenanya Mama pun mempercayai Syarif, karena memang ia sendiri sebenarnya masih tak punya nyali untuk bepergian sendiri. Dan kini hanya sebuah doa tulus darinya lah yang dapat ia panjatkan untuk kesembuhan syara.
“Yasudah, Nak. kamu belajar yang baik ya, Rif. Setelah pulang sekolah kamu gak usah kemana-mana. Mama, tunggu kamu dirumah, Nak,” ucap Mama disambungan telepon.
Mendengar sikap perhatian Mama kepada Syara pun membuatnya kembali mersa iri. “Okkay, Ma. Iya, Syarif, janji. Tapi, Syarif, mohon Mama, gak usah nekat pergi kesana sendirian ya, Ma. See you, Ma. Assalamu’alaikum..” salam Syarif seraya ia memutar bola matanya jengah.
“Wa’alaikuussalam, sayang. Iya, Nak, Mama, janji. See you...” jawab Mama lagi seraya ia putuskan sambungan telponnya.
***
Setelah penanganan usai, kini Reynald mulai keluar dari ruangan UGD. Dengan langkah pasti ia hampiri Claudy dan Tsani untuk menjelaskan seperti apa keadaan Syara saat ini.
“Dok, bagaimana keadaan, Syara, saat ini?” tanya Claudy cemas.
“Maaf, apa salah satu diantara kalian ada hubungan keluarga dengan pasien? Kaena akan lebih baik jika keluarga yang mengetahui hal ini,” Reynald bertanya balik.
“Kami temannya, dok. Tapi, dokter, bisa menjelaskannya kepada kami. Karena sudah sejak tadi kami menghubungi keluarga pasien. Belum juga ada kepastian jika mereka akan datang,” jelas Tsani dan Reynald pun mengangguk setuju seraya mulai ia jelaskan.
“Pasien mengalami hifema karena benturan keras diarena matanya. Dan pasien juga mengalami patah tulang dibagian pergelangan kakinya. Sehingga kini, pasien harus lebih mendapatkan perawatan yang intensif lagi dengan sebuah terapi. Agar kondisi pasien akan kembali pulih. Jika memang sudah ada persetujuan, pasien harus segera dipindahkan keruang rawat inap,” jelas Reynald yang sungguh membuat Claudy dan Tsani semakin merasakan sesak didada mereka dan karenanya, Claudy kembali terisak. Tanpa sedikit pun ia bicara.
“Astaghfirullahhalladzim.. baik, dok. Syara, tolong dipindahkan keruangan rawat inap biasa saja ya, dok. Karena biaya dari kantor kami sepertinya gak memadai untuk memenuhi semua kebutuhannya,” jelas Tsani dengan wajah frustrasinya. Dan Reynald pun menyetujuinya dengan anggukan pasti.
“Baik jika begitu. Saya permisi,” ucap Reynald seraya ia berlalu.
“Mari, dok, terima kasih,” jawab Tsani lagi. Seraya ia peluk hangat tubuh Claudy yang terus saja bergetar karena tangisnya yang semakin pecah.
“Aku gak tega lihat dia kalau sampai dia kembali frustrasi, Tsan. Hiks..hiks..hiks... karena aku yakin jika semua ini akan semakin membebankan dirinya,” ucap Claudy dengan airmata yang menganak sungai dikedua pipinya.
“Iya, Cla, iya gue paham. But please lo gak boleh terus-terusan nangis begini. Kita harus kuatin Syara. Kita gak boleh selemah ini didepan dia nanti, Okkay. Kita tunjukin ke dia kalau kita akan lewatin semuanya sama-sama,” ucap Tsani berusaha untuk meyakinkan.
Claudy pun mengangguk setuju seraya ia mulai tersenyum. “Iya, Tsan, kamu benar. Kita harus terus semangatin dia karena aku yakin kalau dia juga pasti bisa ngelewatin semua ini,” jawab Claudy yang kembali membuat Tsani mengangguk yakin.
Kini syara yang asih tak sadarkan diri mulai dipindahkan menuju ruang rawat inap. Tsani dan Claudy diminta untuk menemani Syara hingga nanti ia kembali siuman. Mereka terus saja menunggu hingga kini waktu menunjukan pukul tiga sore. Karena cukup lelah menunggu, kini keduanya pun tertidur disofa tunggu. Syara mulai menggerakan jemarinya dengan perlahan. Bau alkohol pun seketika menusuk indra penciuman Syara. dan kini ia tengah merasakan pusing yang teramat dikepalanya. Syara kerjap-kerjapkan kedua matanya. Kini pandangannya terlihat buram. Berulang kali kembali ia kerjapkan masih saja begitu buram. Syara pun merasakan sakit yang teramat ketika ia gerakan kaki kirinya.
“Aaaaaahk.. Astaghfirullahhhaldzim, ini rasanya sakit sekali. Ya Allah ya Rabb.. ada apa ini,” erang Syara dengan airmata yang mulai mengalir dikedua sudut matanya.
Pekikan Syara membuat Claudy dan Tsani mulai terbangun dari tidur mereka. Dengan segera keduanya pun bangkit dari posisi duduk mereka dan mulai menghampiri Syara dengan senyuman manis mereka. Berusaha untuk tegar, agar Syara tak semakin merasa frustrasi.
“Alhamdulillah, Syar. Akhirnya kamu bangun juga,” ucap Tsani dengan senyuman manisnya.
“Iya, Syar, Alhamdulillah. Kita nungguin lo disini lho dari tadi,” imbuh Tsani yang juga tersenyum lebar. Dan kini setelah melihat pakaian Tsani juga Claudy yang masih mengenakan pakaian kerja mereka, seketika membuat Syara kembali teringat mengenai kejadian pagi tadi.
“Tsan, Cla, kenapa mata aku buram? Aku gak bisa lihat jelas dari tadi. Dan kaki aku, rasanya sakit sekali waktu digerakan. Aku kenapa? Kenapa jadi begini sih, ya Allah! kenapa sekarang aku jadi kembali terbaring seperti ini! Hiks..hiks..hiks..” keluh Syara yang kini kembali terisak. Yang karenanya, membuat Claudy juga Tsani tak sanggup lagi menahan airmata yang sejak tadi menggenang dikedua pelupuk mata mereka.
Dengan segera Claudy pun memberikannya pelukan hangat. “Syar, hey please listen to me. Syar, ini cobaan. Yang tandanya Allah itu sayang kamu. kita lewatin segalanya sama-sama ya, Syar. Aku yakin kalau kamu kuat, aku yakin kalau pasti kamu bisa kok lewatin semua ini,” ucap Claudy berusaha menenangkannya.
“Iya, Syar. Kita akan selalu ada disini buat lo. Please, jangan pernah lo ngerasa sendirian dan semua ini jadi berat buat lo, okkay. Karena gue yakin lo itu perempuan hebat,” imbuh Tsani yang kini ia juga turut memberikannya pelukan hangat.
“Tapi aku ini kenapa? Kenapa aku gak bisa lihat jelas? Kenapa kaki aku sakit sekali? Ini pasti karena aku jatuh tadi kan? Tell me please! Ayo jelaskan semuanya ke aku! Hiks..hiks..hiks..” pinta Syara lagi yang kini tangisnya semakin pecah.
“Okkay, Syar okkay. Iya kita akan jelasin sama lo. But please lo gak boleh nyerah. Mata lo itu jadi buram karena benturan keras itu. Dan lo mengalami patah tulang dibagian pergelangan kaki lo, Syar. Itu yang buat lo jadi susah buat gerak dan pandangan lo buram,” jelas Claudy yang membuat Syara merasa seakan ada batu besar yang menghantam dadanya.
“Aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaargh!! Enggaaaaaaaaaaaaaaaak! Kenapa ini semua kerjadi kepadakuuuuu... kenapaaaaaaaaaaa!!! Lebih baik aku matiiiiiiiii!” Syara terus saja menjerit frustrasi. Membuat Claudy dan Tsani semakin iba kepadanya. Dan kini semakin Claudy eratkan pelukannya itu. Berusaha untuk membuatnya kembali tenang.
“Syara, please tenang dulu. Istighfar, Syar, tenangin diri kamu. Aku yakin gak lama lagi kamu akan segera sembuh. Please jangan pasrah begini, Syar. Ada kita yang akan selalu ada buat kamu, kita yang akan bantu kamu nanti, please jangan nyerah, hiks..hiks..hiks..” isak Claudy yang kembali meyakinkannya. Namun Syara terus saja menggelengkan kepalanya.
“Syar, ingat kalau sudah pasti, Papa, lo disurga sana itu bangga dan bahagia memiliki lo. Melihat perkembangan lo sekarang. Lo yang udah tumbuh jadi seorang gadis mandiri dan punya penghasilan sendiri. Came on, Syar. Please, jangan kayak gini. Kita maju sama-sama, Syar. Dan gue janji kalau gue dan Claudy, we will always beside you,” imbuh Tsani yang cukup meyakinkan Syara ketika membuat ia teringat pesan sang Papa untuk jangan pernah menyerah menghadapi hidup, meski nyawa kita sekalipun taruhannya.
“And ones again, Syar. Kamu harus ingat kalau ada seorang Mama juga Adik yang membutuhkan kamu. Mereka gak akan pernah bisa hidup tanpa kamu. Ya walau pun aku tahu kalau sikap acuh mereka cukup menyakitkan buat kamu. But, your are a reason, Syar. Kamu adalah alasan mereka untuk tetap bertahan hidup. Terutama, Mama, kamu. karena aku yakin, gak akan ada seorang Ibu yang tega menghakimi anaknya tanpa sekali pun ia menunjukan rasa kasih sayangnya,” Imbuh Claudy yang semakin membuat Syara semakin yakin jika memang ia pasti bisa untuk melewati segalanya.
“Thaks, Tsani. Thanks, Claudy. Aku jadi lebih yakin jika aku akan tetap berusaha kuat. Aku juga yakin jika aku sudah pasti bisa melewati segalanya. Terima kasih banyak karena kalian sudah berjanji untuk selalu ada buat aku. Terima kasih, hiks..hiks..hiks..” ucap Syara penuh rasa Syukur. Dan kini mulai ia balas pelukan kedua sahabatnya itu.
Setelah dirasa Syara cukup tenang. Kini Tsani dan Claudy memutuskan untuk segera kembali kekantor. Sebab memang waktu pulang kantor telah tiba. Dan mereka harus kembali mengambil tas mereka. Sebenarnya masih berat untuk meninggalkan Syara pergi. Sebab hingga kini belum juga ada anggota keluarga Syara yang mendatanginya kesana. Namun waktu yang terus bergulir membuat mereka tak lagi dapat menunggu. Hingga kini kembali mereka berikan semangat kepada Syara untuk tetap yakin jika ia pasti bisa melewati segalanya. Hingga kini mereka dapat pulang dengan tenang sebab Syara yang kini sudah kembali tersenyum manis.
Setelah Claudy dan Tsani kembali pulang. Kini sudah ada Syarif didepan ruang rawat inap Syara. namun ia memilih untuk tak memasukinya dan hanya memandangi Syara dari kaca dipintu dengan tatapan yang tajam. Teramat kesal karena bagi Syarif, lagi-lagi Syara hanya bisa menyusahkan mereka. Dan untuk bicara dengan Syara adalah sebuah hal yang menyebalkan saat ini. Sebab memang ia sedang teramat marah juga kecewa dengan Kakak perempuannya yang baginya sudah pasti akan membuatnya gagal turut serta study tour disekolahnya.
“Kenapa sih hidup lo itu cuma bisa nyusahi orang! Kenapa saat itu, Papa, yang meninggal! Kenapa bukan lo aja!” umpat Syarif setengah berbisik. Seraya ia kembali berlalu untuk segera pulang. Agar tak lama lagi ia menatap sebuah wajah yang teramat ia benci didalam hudupnya.
***
Tak lama kemudian Syarif sudah tiba dirumah. Terlihat wajah sang Mama yang sedang menunggu kedatangannya dengan ekspressi cemasnya. Dan hal itu cukup membuat Syarif kembali iri sebab sang Mama yang sudah kembali memerhatikan Syara.
“Assalamu’alaikum..” salam Syarif seraya ia salami takdzim punggung tangan sang Mama.
“Wa’alaikumussalam, Nak. gimana, sayang, kamu sudah jenguk, Kakakmu? Gimana keadaannya sekarang? apa dia sudah membaik? Karena ada yang mengabari, Mama, kalau Syara terjatuh dari lantai atas. Yang pasti membuat dia luka cukup parah,” ucap Mama dengan cemasnya. Yang membuat Syarif semakin merasa kesal oleh karenanya.
Syarif rangkul bahu sang Mama seraya ia tersenyum manis padanya. “Iya, Ma. Syarif sudah kesana. Keadaan, Kak Syara, memang cukup buruk, Ma. Karena, Kakak, mengalami patah tulang dipergelangan kakinya. Tapi pasti bisa sembuh kok dia bilang. Dan dia minta aku untuk pulang saja, karena memang aku kan gak bawa ganti pakaian juga tadi,” jelas Syarif yang mulai berbohong. Sebab ia tak mau jika semakin banyak ditanya-tanya oleh sang Mama.
“Astaghfirullah, patah tulang? Tolong ambilkan ponsel Mama ya, Rif. Mama, harus segera bicara sama dia. Karena dia itu sudah ceroboh. Pasti akan memerlukan banyak uang untuk mengobatinya,” jawab Mama yang kembali membuat Syarif harus mencari cara agar sang Mama tak menghubungi sang Kakak.
“Aduh, Ma. Jangan ditelpon dulu deh ya. Karena kan tadi, Kak Syara, itu baru minum obatnya, jadi mungkin sekarang dia memang sedang tertidur dan sebaiknya gak usah kita ganggu dulu,” ucap Syarif berusaha meyakinkan. Dan pada akhirnya, Mama pun mulai mempercayainya. Kini dengan segera Syarif mencari ponsel sang Mama untuk segera menonaktifkannya. Sebab ia tak ingin jika Syara menghubungi mereka dan membuat Mama akan mendatanginya, juga Mama kan tahu jika sebenarnya ia tak menemui Syara.
Syara kembali merasa kecewa sebab hingga adzan Magrib dikumandangkan, tak ada satu pun keluarganya yang datang menjenguknya. Kembali ia merasakan kesepian itu juga kembali membuatnya takut jika keluarganya sudah tak lagi mau menerimanya. Syara pun mencoba untuk menghubungi sang Mama. Namun sayang ponsel yang dinonaktifkan oleh Syarif kini tak dapat ia hubungi. Dengan ragu Syara pun mulai mencoba untuk menghubungi Syarif. Syara sempat tersenyum karena ponselnya aktif. Namun senyumnya itu memudar seketika sebab berulang kali Syara mencobanya tak kunjung Syarif menerimanya. Hingga kini airmata itu kembali membasahi kedua pipinya. Sebab ia yang mulai merasa semakin takut jika benar mereka akan membuangnya dari keluarga itu.
“Apa mungkin benar jika mereka akan membuangku? Apa mereka gak akan lagi menerimaku dirumah? Aku harus bagaimana sekarang? Gimana kalau perusahaan pun akan pecat aku? Lalu siapa yang akan membiayai pengobatanku? Aku harus berbuat apa ya Rabb! Apa yang harus aku lakukan saat ini? Bagaimana bisa aku bertahan hidup dalam keadaanku yang sperti ini! Sudah tak ada lagi yang memedulikanku Ya Rabb..” monolog Syara yang kembali meratapi nasibnya.
***
To be continue