Part 8

2252 Kata
Di pagi hari yang cerah ini, orang-orang melakukan berbagai macam aktivitas. Biasanya, pagi yang cerah dapat menambah semangat bagi orang yang merasakannya. Hari ini, keluarga besar Lambert dan Florence sedang bersuka cita. Hari di mana terikatnya tali pernikahan antara Cia dan Elgan. Terlihat mansion yang menjadi kediaman keluarga Florence itu sudah dihias sedemikian rupa. Sedangkan, eluarga besar Lambert tiba beberapa saat yang lalu. Di kamar lantai atas, kamar yang selalu menjadi tempat Cia terlelap setiap malam. Gadis itu duduk termenung di depan cermin hias. Menatap pantulan dirinya yang sudah berbalut kebaya putih. Beberapa saat yang lalu, ia mendapat kabar bahwa keluarga Elgan sudah tiba. Cia meremas tangannya yang berada di atas paha. Ia gugup. Tidak lama lagi ia akan sah menjadi istri Elgan Gaulia Lambert. Mengingat nama Elgan, Cia merasa gamang dengan pernikahan ini. Ia paham bahwa mereka menikah bukan karena kehendak hati. Apalagi karena cinta, melainkan kerena sebuah perjodohan yang sudah diatur sejak lama bahkan sebelum mereka lahir. Walaupun pernikahan mereka bukan berlandaskan cinta, Cia tetap ingin pernikahan mereka seperti pernikahan pada umumnya. Saling menghargai dan bersikap baik. "Sayang." Suara Elena yang lembut membuyarkan segala hal yang Cia pikirkan. "Kamu sedih, Nak?" Cia menggeleng lemah seraya tersenyum paksa. "Ayo, ikut Mama." Ajak Elena sembari membantu gadis itu berdiri. Dari lantai atas, Cia dapat melihat keluarganya dan keluarga Elgan berkumpul. Menatap Elgan dari kejauhan, calon suaminya itu mengenakan setelan jas berwarna putih gading, sama dengan yang ia kenakan saat ini. Cia lalu menoleh ke arah Elena yang mengusap lembut punggungnya. Tersenyum lembut menatap sang mama. Pada akhirnya, mereka kembali ditarik saat suara bas Elgan terdengar. "Saya terima nikahnya Patricia Florence binti Xavier Florence dengan mas kawin seperangkat alat sholat dibayar tunai." Semua hadirin mengucap syukur atas sahnya Elgan dan Cia menjadi sepasang suami istri. Tanpa dikehendak air mata Cia mengalir di pipi mulusnya. Ia kemudian menghapus air mata sebelum Elena menyadari kalau ia sedang menangis dalam diam. Yang ada di benak Cia saat ini hanyalah tentang masa depan pernikahannya. Apakah ia sanggup bertahan hidup dengan Elgan yang memiliki sifat bertolak belakang dengannya? "Ayo, sayang." Elena menuntun Cia ke bawah hingga duduk di samping Elgan. *** Malam harinya, acara resepsi diadakan di salah satu hotel bintang lima. Tidak ada orang asing yang diundang. Tidak ada awak media. Tidak ada sahabat Cia maupun Elgan yang menghadiri pernikahan tersebut. Hanya ada keluarga dan kerabat yang benar-benar dekat dengan mereka. Elgan berjalan ke arah keluarganya yang berkumpul di dekat meja bundar sambil menggenggam tangan istrinya. Malam ini, mereka benar-benar seperti pangeran dan bidadari. Cia mengenakan gaun kembang berwarna putih yang kandas hingga menyentuh lantai. Rambutnya ditata rapi sedemikian rupa dengan tambahan sedikit hiasan. Sedangkan Elgan sangat tampan dengan setelan jasnya yang berwarna hitam. Elgan menyalami satu persatu keluarganya. Cia tersenyum manis menyapa keluarga barunya. Sepanjang acara, mereka lebih banyak saling mengenalkan keluarga satu sama lain ketimbang membahas rumah tangga mereka yang mungkin tidak akan sesederhana itu. Dua puluh menit yang lalu, acara resepsi sudah selesai. Sekarang saatnya bagi Elgan membawa Cia ke apartemennya. Cia menangis dipelukan mamanya. Ia belum siap berpisah dengan kedua orang tuanya. Elena berusaha menenangkan Cia dengan kata-kata lembut dan penjelasannya. "Sayang, udah dong nangisnya, kalau Mama kamu jadi ikutan nangis gimana? kan Papa juga yang nantinya repot." Xavier membelai punggung Cia yang berada dalam pelukan istrinya. "Papa jahat." "Sayang, kamu sekarang sudah jadi seorang istri. Jadi, istri itu harus ikut dengan suami. Mama juga dulu seperti ini. Dulu, Mama juga sedih saat pertama kali harus berpisah dari grandpa dan grandmamu. Tapi lama kelamaan, Mama jadi terbiasa, bahkan sekarang Mama tidak mau kalau harus jauh dari Papa." Elena berusaha memberikan penjelasan kepada putri tunggalnya. "Jangan sedih lagi ya. Kamu bisa datang menjenguk Mama, atau Mama dan Papa yang akan datang ke mengunjungi kalian," lanjutnya. Sungguh, Elena juga sama dengan Cia. Hati kecilnya merasa sangat sedih saat putrinya sudah menjadi milik orang. Putri kecilnya yang manja harus pergi jauh darinya. Namun, rasa sedih itu tidak ingin ia tunjukkan kepada Cia. Ia tidak ingin putrinya menjadi lebih sedih bila melihatnya menangis. Elgan bersama kedua orang tuanya berdiri tidak jauh dari Cia. Lira juga melakukan hal yang sama seperti Elena. Memberi penjelasan kepada Cia agar mau pergi bersama Elgan membangun kehidupan berdua. Sementara itu, Elgan hanya diam menatap Cia yang sedang menangis dengan datar. Ia benar-benar ingin pergi secepatnya. "Ma, Pa, kami pergi dulu ya." Pamit Elgan pada orang tua dan mertuanya, yang dibalas dengan anggukan. "Cia, berhentilah menangis. Elgan pasti ikut bersedih melihatmu seperti ini," Xavier berujar saat Elgan ingin menarik tangan putrinya itu. Cia bungkam. Hanya suara isak tangisnya yang terdengar. Ia menatap wajah Mama dan Papanya dengan lekat sebelum memasuki mobil dan menunduk dalam. Tidak mampu menatap lebih lama wajah kedua orang tuanya. Beberapa puluh menit kemudian, mobil yang ditumpangi sepasang suami istri itu berhenti di basement apartemen. Cia turun dari mobil mengikuti Elgan yang sudah turun terlebih dulu. Sepanjang perjalanan, tidak ada satupun dari mereka yang mengeluarkan suara hingga akhirnya sampai di tempat tersebut. Cia menatap punggung Elgan yang berjalan di depannya. Gaun panjang yang ia kenakan membuatnya sedikit kesulitan saat berjalan. Ia tidak tahu apakah Elgan memang tidak menyadari kesulitannya atau memang sengaja menyiksanya dengan ini. High heels yang tadi ia kenakan juga sudah ditenteng. Cia menatap sedih langkah kakinya. Merasa mungkin inilah saatnya ia melepaskan kebahagiannya. Cia memasuki apartemen dengan masih mengikuti Elgan hingga mereka sampai di dalam kamar. Ia menghembuskan napas lega saat sudah duduk di tepi ranjang. Duduk bersila sembari memijit pelan kakinya yang terasa pegal. Sementara Elgan sudah memasuki kamar mandi tanpa menghiraukannya. Apartemen tersebut memiliki dua kamar yang lumayan besar dan sekarang mereka berada di kamar utama. Cia berbaring di tepi ranjang membiarkan kakinya tergantung. Tubuhnya sangat lelah. Apalagi kakinya yang terasa sangat sakit dan pegal. Elgan keluar dari kamar mandi dengan handuk yang melilit pinggangnya. Begitu keluar, ia mendapati Cia yang tertidur dengan tidak nyaman di pinggir ranjang. Mengabaikan gadis itu, Elgan memasuki ruang ganti lalu mengenakan pakaiannya. Bukannya memakai piyama tidur, pria itu malah mengenakan kemeja dan celana jeans. Sepertinya, ia tidak akan tidur, melainkan pergi ke suatu tempat. Elgan keluar dari ruang ganti lalu mendekati Cia dan berdiri selangkah dari gadis itu. Meneliti tubuh Cia dari atas hingga bawah dengan tatapan benci. Rahangnya mengetat menandakan ia sedang marah saat ini. Tidak ada sedikitpun niat di hatinya untuk membantu Cia atau sekedar membangunkan gadis itu agar mengganti pakaiannya. Elgan sama sekali tidak peduli. Benar-benar tidak berperasaan. Tanpa berucap kata, ia pun pergi meninggalkan gadis itu sendirian. Beberapa puluh menit kemudian, Cia terbangun saat merasa tubuhnya terasa tidak nyaman. Duduk sesaat untuk mengembalikan kesadarannya. Cia mengedarkan pandangannya ke setiap sudut ruangan mencari keberadaan Elgan. Namun, ia tidak merasakan keberadaan pria itu di kamar mereka. Cia lantas turun dari ranjang dan memutuskan untuk mengganti pakaiannya lebih dahulu lalu mencari Elgan. Mencari pria itu ke semua ruangan yang ada di apartemen itu. Cia kembali ke kamar dan melihat jam beker di atas nakas. Pukul 01:45. Ia menghela napas lelah. Ini malam pertama mereka menjadi pasangan suami istri dan seharusnya ia bahagia. Namun, ia merasa sesak saat tidak mendapati Elgan. Cia berbaring di ranjang lalu menarik selimut untuk menutupi tubuhnya yang terasa dingin. Terisak pelan meratapi nasipnya yang jauh dari kata beruntung. Malam ini, seharusnya ia habiskan waktu bersama Elgan, namun kini sendirian dengan isak tangis yang terdengar begitu pilu. Sungguh, ia sendiri lupa kapan terakhir kali ia menangis seperti ini. *** Elgan duduk di dekat meja bar. Terdapat beberapa botol minuman beralkohol di atasnya. Ia meneguk minuman itu untuk kesekian kalinya. Datang ke club ini bersama sahabat Niko. Elgan meminta pria itu untuk menemaninya dengan perjanjian yang sudah disepakati bersama. Tidak ada minuman dan mereka hanya 1 jam. Namun, ingkar sudah perjanjian itu. Elgan sudah tidak peduli lagi dengan Niko yang melarangnya untuk tidak meminum minuman itu. Niko juga minum, namun tidak sebanyak Elgan. Ia menatap malas Elgan yang duduk di sampingnya. "Kamu kenapa lagi, sih? Cerita kalau kamu ada masalah, bukan malah minum seperti ini sampai mabuk. Apa gunanya aku di sini kalau kau hanya diam." Elgan meletakkan gelas di tangannya lalu menatap Niko setelah mendengar napas berat sahabatnya itu. "Apa kau akan percaya?" "Percaya apa?" Niko mengernyit. "Aku menikah." "Menikah? Kamu nikah? Dengan siapa?" tanya Niko, beruntun. Ia tidak yakin Elgan benar-benar mengatakan itu. "Aku tau kau sedang merindukan wanita pengecut itu, tapi kau tidak perlu berbohong seperti ini," terang Niko. "Aku serius." "Tidak mungkin. Aku tidak yakin dengan-" "Aku menikah dengan Cia!" potong Elgan, cepat dan berhasil membuat Niko mengatupkan bibirnya rapat-rapat. "Sadarlah. Aku sangat yakin kamu bukan tipe. Ada banyak pria yang lebih baik darimu di luar sana. Mana mungkin dia memilihmu," Niko membantah. "Aku serius. Hari ini resepsi pernikahan kami. Hari ini, dia resmi menjadi istriku," jelas Elgan serius, lalu kembali meneguk minumannya. Keduanya kembali terdiam. Elgan memperhatikan Niko yang sedang mematung dengan lekat. Temannya itu tampak begitu terkejut dengan pengakuan yang ia katakan. "Jadi, kenapa kau berada di tempat ini? Bukankah seharusnya saat ini kau sedang Cia?" tanya Niko begitu berhasil menguasai dirinya kembali. "Yah, seharusnya. Tapi, itu akan kalau kami saling mencintai. Apa kau pikir aku akan melepaskan cinta pertamaku hanya karena gadis sialan itu? Mustahil. Aku benar-benar tidak peduli dengannya." Malam ini Elgan terlihat sangat berbeda. Ia lebih banyak bicara daripada biasanya. "Kenapa kau menikahi Cia kalau kau tidak mencintainya? Kau mau mempermainkan perasaannya? Kau mau menjadikan Cia pengganti sementara, begitu? Keterlaluan!" Niko refleks menarik kerah baju Elgan lalu melepaskannya dengan kasar hingga membuat tubuh Elgan terhuyung ke belakang dan menyentuh punggung kursi. "Aku tidak membutuhkan pengganti apapun. Gadisku terlalu berharga kalau harus digantikan oleh gadis sialan sepertinya. Kalau bukan karena perjodohan gila yang dilakukan oleh kedua orang tua kami, semua ini tidak mungkin terjadi. Kau tahu, hidupku hancur karena gadis itu. Dia membuat jalanku yang mulus menjadi kasar dan rusak." Elgan mendelik menatap Niko sembari kembali membenarkan posisi tubuhnya. Niko berusaha keras mengontrol emosinya, sebelum ia benar-benar menghajar pria yang kelewat bodoh tersebut. Elgan memejamkan mata saat menenggelamkan kepalanya di atas meja. Ia kembali memikirkan hal yang terjadi tadi pagi. Mungkin, jika ia benar-benar jatuh Cinta pada Cia, proses tadi pagi akan ia lalui dengan dramatis. Tapi, tidak ada perasaan khusus yang ia rasakan saat kata demi kata meluncur dari bibirnya. Elgan mengambil ponselnya yang terletak di atas meja. Menatap sendu layar ponsel tersebut yang menampakkan wajah seorang wanita cantik itu. Ia mengusap lembut layar ponsel tersebut dan sesekali memberikan ciuman kecil di sana. Niko menatap Elgan yang melakukan hal itu dengan geram. Tidakkah sahabatnya itu berpikir bahwa apa yang ia lakukan saat ini sangatlah salah? "Kau seharusnya menolak perjodohan itu." Niko benar-benar ingin tahu apa yang telah terjadi dengan sahabatnya tersebut. "Aku tidak bisa. Aku tidak bisa mengorbankan kesehatan Mama karena menolak perjodohan tersebut. Aku tidak punya pilihan. Aku berhak untuk memilih, kau tau?" Elgan bergumam dengan suaranya yang tidak jelas. "Lalu bagaimana dengan Cia. Apa kau tidak memikirkan perasaannya? Seharusnya kalian memikirkan cara yang tepat agar pernikahan tersebut tidak terjadi. Apa kau tidak takut dia akan terluka kalau suatu saat nanti gadis pengecut itu kembali! Apa kau bisa bertanggungjawab dan menanggung resiko atas keputusanmu saat ini?!" bentak Niko, marah. "Aku tidak peduli! Aku tidak peduli dengan tanggung jawab atau apapun itu! Dan aku tidak akan menerima resiko apapun. Aku juga tidak akan peduli dengan argumennya tentangku. Terserah, dia memikirkan apa tentangku, selagi itu tidak mengusik ketenangan yang kumiliki!" Elgan tidak kalah emosi. Niko menghela napas lelah. Percuma berbicara dengan orang yang tidak waras. Sekeras apapun ia melarang, Elgan tetap saja Elgan yang keras kepala. Merasa bahwa dirinyalah yang paling benar. Pria itu tidak akan pernah lunak kepada siapapun. Elgan meraih sobotol vodka dan langsung meneguknya. Setelah menghabiskan beberapa tegukan, ia menghempaskan botol tersebut ke lantai hingga terpecah menjadi berkeping-keping. Suara benturan botol tersebut tidak dapat mangalahkan suara dentuman musik di club itu. Tidak ada yang peduli dengan Elgan, termasuk Niko. Pria itu membiarkan Elgan meluapkan semua emosi dan kerinduannya. Niko menatap Elgan yang berjalan sempoyongan ke arah sekumpulan yang orang yang sedang menggoyangkan tubuh mereka tidak beraturan. Elgan ikut bergabung ke tengah-tengah kerumunan itu. Para wanita sexy yang mengenakan pakaian kurang bahan mendekat ke arah Elgan yang sedang menari sempoyongan. Tangan-tangan nakal para wanita itu berusaha menyentuh tubuh kekarnya yang berbalut kemeja. Seorang wanita berpakaian merah menyala berhasil berdiri tepat di hadapan Elgan. Ia menatap Elgan dengan senyuman menggoda. Tangan nakalnya menyentuh d**a bidang Elgan. Sang empu tersenyum miring melihat wanita itu. Ia lantas meraih pinggang wanita itu semakin mendekat. Salah satu tangannya mengusap punggung wanita itu. Punggung yang tanpa ditutupi kain itu terasa lembut di telapak tangannya. Wanita itu menggoyangkan dan menyentuhkan tubuhnya pada tubuh Elgan. Elgan yang sudah terpancing menarik kasar wanita itu ke sudut ruangan dan langsung menyerang wanita itu dengan kasar. Sesekali, ia menarik rambut wanita itu agar lebih mendongak. Pergerakannya terlalu kasar hingga membuat wanita itu meringis namun tidak ingin berhenti. Pangutan tersebut berlangsung selama tiga menit, membuat napas keduanya terengah-engah. Elgan kembali melumat rakus wanita itu sampai tiba-tiba tubuhnya terasa terhuyung ke samping. Elgan tersungkur di lantai. Buru-buru menghapus kasar darah yang berada di sudut bibirnya, lalu berdiri secara perlahan sambil menatap tajam pria yang berdiri di depannya. Bukkk... Elgan membalas tumbukan pada wajah Niko. Niko meludahkan darah yang ada di mulutnya. Pukulan Elgan cukup keras mengenai pipinya. Niko yang sudah terpancing emosi kembali memberikan pukulan di wajah Elgan. Hingga pergulatan yang hebat terjadi di club malam tersebut. Elgan dan Niko sama-sama terkulai lemas saat beberapa pengurus club memindahkan mereka ke sofa sudut. "Kau benar-benar b******k!" sarkas Niko sebelum kesadarannya hilang menyusul Elgan yang sudah tak sadarkan diri.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN