Part 7

2651 Kata
Elgan menaiki mobil yang dikemudi oleh supirnya. Elgan membiarkan Niko yang membawa mobil yang mereka kendarai saat hendak ke restaurant tadi. Lagi pula ia terlalu malas saat ini, jika harus mengantarkan Nadin kembali ke kantor. Tidak berapa lama. Elgan sampai di depan mansion yang beberapa hari lalu tempat ia bertamu bersama orang tuanya. Ternyata di saat siang begini, pelataran mansion keluarga Florence itu jauh lebih indah. Elgan bergegas menuju pintu mansion. Seorang maid yang berada di depan mansion membukakan pintu. "Assalamu'alaikum." Salam Elgan setelah maid itu pergi dari hadapannya. Elgan melemparkan pandangannya ke setiap ruangan menunggu si pemilik mansion menjawab salamnya. "Wa'alaikumsalam." Suara Elena terdengar dari salah satu ruangan. Elena menghampiri Elgan sembari tersenyum manis menyambut kedatangan Elgan. "Nak Elgan, kamu sendirian? Tante kira kamu tadi pulang bersama Cia. Bukannya tadi mama kamu mengatakan kalian pulang bersama?" tanya Elena sembari menarik Elgan untuk duduk di ruang tamu. "Tadi saya tidak berjumpa dengan Cia, Tante. Saya tidak tahu dia dimana, saya pikir dia udah pulang lebih dulu, jadi saya datang kemari sendirian. Ternyata, Cia belum pulang ya, Tan?" Elena mengangguk seraya tersenyum lembut menatap calon menantunya. Malas sekali kalau aku harus dengannya, Elgan merutuk dalam hati. Elgan berusaha merelakskan tubuhnya. Bisa-bisa image-nya hancur kalau calon mertuanya tahu ia sudah berbohong. Elgan sengaja tidak mengaja Cia untuk pulang bersamanya. Ia terlalu jengah jika harus berdekatan dengan gadis itu. Gadis yang sekarang benar-benar akan menjadi istrinya, teman hidupnya walaupun ia sendiri tidak tahu apakah hal itu akan bertahan lama. Gadis yang beberapa hari ini selalu membuat telinganya sakit karena suara cempreng yang dimiliki gadis itu. Elgan tersenyum canggung ke arah Elena yang menyuruhnya menunggu Cia. Setelah itu, Elena bergegas pergi ke dapur untuk membuat minuman. *** "Ya sudah Cia, karna Elgan jua sudah pergi, kami berdua pergi juga ya." Niko melemparkan tatapannya pada Cia sambil menggandeng tangan Nadin. "Pergilah. Aku juga akan berangkat sekarang." Cia mengutas senyum. "Sebentar, rasanya aku sedikit kurang yakin kalau kalian benar-benar akan kembali ke kantor. Sepertinya, aku sedang lagi mencium aroma yang berbeda," ujar Cia sambil mengendus udara di sekitarnya. Ia menatap Nadin dan Niko bergantian sembari menaik turunkan alisnya menggoda mereka. "Kamu tau aja. Anak dukun, ya?" Canda Nadin. "Salah. Aku anak mbah surip," celetuk Cia seenaknya. "Aku kasih tau Tante Elena baru tahu rasa kamu. Mama sendiri tidak di anggap." "Awas aja. Mamaku itu mama terbaik di dunia." "Iya deh, iya. Kalau gitu kami berdua pergi dulu, ya. Jangan lupa nanti malam angkat teleponku. Aku mau curhat. Jangan tidur duluan," tekan Nadin sambil memasuki mobil. "Oke!" balas Cia mantap sembari mengacungkan kedua jempolnya. Setelah melihat kepergian Niko dan Nadin, Cia bergegas memasuki mobilnya lalu tancap gas membelah keramaian jalanan Jakarta. Beberapa menit kemudian, ia sampai di mansion. "Siang, Mbak," sapa Cia pada seorang wanita paruh baya yang sedang membersihkan taman kecil di sekitar pintu utama. Wanita berpakaian khusus maid itu tersenyum ramah kepadanya. Cia berlalu meninggalkan maid yang kembali melanjutkan pekerjaannya itu. "Assalamu'alaikum. MAMA! CIA PULANG!. MAMA!" Teriak Cia saat memasuki ruang utama. "Apa kau pikir ini hutan?" Suara sarkas yang terdengar dingin. Cia membalikkan badannya melihat per milik suara tersebut. Matanya membelalak saat melihat Elgan duduk dengan santai di ruang tamu. "Sayang, kamu sudah pulang. Mama tadi lagi di dapur membuat minuman." Elena mengecup puncak kepala Cia setelah menghidangkan minuman untuk calon menantunya. "Ma, dia kenapa ada di sini?" Cia berbisik di telinga mamanya. "Elgan datang untuk jemput mu. Kalian akan fitting baju hari ini." Cia bungkam. Tidak membantah perkataan mamanya. Ia melirik Elgan yang sedang duduk dengan tenang. "Kamu habis dari dimana? Elgan mencari mu tadi, mau mengajak mu pulang bersama" Elgan menegang mendengar perkataan Elena. Ditatapnya wajah Cia yang terlihat sedang kebingungan. "Lho, bukannya ...." Cia mendelik ke arah Elgan. Bisa-bisanya pria bermuka datar itu membohongi mamanya. Elgan mengusap tengkuk seraya berdoa dalam hati agar Cia tidak mengatakan yang sebenarnya. "Tidak apa kalau kamu belum mau pulang sama Elgan, tapi Mama harap ke depannya kalau Elgan mengajak mu pulang, jangan menghindar seperti ini ya. Sekarang kamu mandi. Jangan biarkan Elgan menunggu terlalu lama," suruh Elena sambil tersenyum lembut. Cia melirik Elgan tajam sebelum berlalu dari hadapan mamanya. Tidak butuh waktu lama baginya untuk membersihkan diri. Sekarang, ia sudah siap untuk keluar kamar. Cia mengenakan dress selutut berwarna baby pink. Rambut hitamnya yang panjang ia biarkan digerai indah. Saat menuruni anak tangga, ia melihat Elgan dan mamanya sedang berbincang. Elgan melihat kehadiran Cia dari ekor matanya. Sesaat, ia terpukau melihat Cia yang sudah berdiri beberapa langkah di depannya. "Sayang, kamu sudah siap?" Cia mengangguk mengiyakan. "Kalau begitu kalian berangkat sekarang ya. Mama khawatir kalian akan pulang kemalaman." Cia melirik Elgan. Elgan yang tersadar dari keterpukauannya langsung berdiri lalu berpamitan pada Elena. "Kami pergi dulu ya, Tante." Elena mengangguk sembari tersenyum lembut. "Cia pergi dulu ya, Ma." Pamit Cia seraya menyalimi mamanya. Elena mengantarkan kepergian Elgan dan Cia hingga depan pintu utama mansion. "Kalian hati-hati, ya," ujar Elena saat Cia dan Elgan hendak memasuki mobil. Cia tersenyum manis menatap mamanya lalu masuk ke mobil di mana Elgan sudah duduk di kursi pengemudi. Mobil berwarna silver yang dikemudi oleh Elgan pergi meninggalkan mansion. Hanya ada kesunyian di dalam mobil itu. Cia menatap luar jendela seraya memikirkan berbagai hal yang ada dibenaknya, sedangkan Elgan fokus mengemudi dan menatap jalan di depan. "Kenapa kau berbohong?" tanya Cia membuka obrolan setelah berperang batin beberapa saat. Elgan melirik Cia sekilas. Ia bungkam. Melihat kebungkaman itu, Cia kembali berujar. "Kapan kau mencari ku? Kalau kau memang tidak ingin pulang bersamaku katakan saja. Kau tidak perlu berbohong kepada mama kalau kau tidak melihat ku. Ternyata, selain irit bicara kau juga pandai berbohong," sarkas Cia. Ia sengaja menyindir Elgan. Ingin tahu sampai mana ketahanan pria itu untuk tidak menggubris ucapannya. Elgan tahu ia salah akan hal itu. Tidak seharuanya ia berbohong kepada mama Cia. Ia sengaja membiarkan Cia terus mengoceh sembari mengeluarkan kata-kata sindiran dan lebih memilih diam tanpa menggubris sindiran Cia daripada menyahuti perkataan gadis itu yang akan memancing emosinya saja. Gila! Untuk apa aku bicara dengan tembok. Sampai mulutku berbuih pun si kulkas berjalan ini tidak akan menyahuti perkataan ku. Aduh, sepertinya Mama salah pilih orang untuk dijodohkan denganku sama gue, batin Cia menggerutu. Beberapa menit kemudian, mobil yang mereka kendarai berhenti di depan sebuah butik berlantai dua. Cia menatap Elgan yang keluar dari mobil tanpa mengucapkan sepatah katapun. Mendengus lalu melepas sealt belt dari tubuhnya, Cia menyusul Elgan yang berdiri di depan mobil dengan kedua tangan yang di masukkan ke saku celana. "Ehem." Cia sengaja berdehem. Elgan menghadap ke arah Cia yang sudah berdiri di sampingnya. Tidak ada seorang pun yang mengeluarkan suara. Cia juga sudah malas bicara dengan Elgan yang terus mengabaikannya. Ia lantas mengalihkan pandangan, tidak ingin tatapannya bertemu dengan Elgan. "Eh!" Cia tersentak saat Elgan menggenggam tangannya. Tatapan mereka bertemu. Cia merasa tenggorokannya mengering. Ia tiba-tiba merasa kaku saat Elgan menautkan tangan mereka. Kenapa Elgan genggam tanganku? Apa dia udah mulai menerima aku? Cia membatin. "Jangan senang dulu. Aku terpaksa melakukan ini." Putus sudah harapan Cia saat mendengar ucapan sarkas Elgan. Cia mendelik ke arah Elgan yang menariknya. Mereka berjalan beriringan dengan tangan yang bergandengan seperti pasangan pada umumnya. Cia menatap kagum saat sudah masuk ke dalam butik. Memperhatikan satu persatu gaun yang terpajang pada patung-patung, Cia membayangkan dirinya memakai salah satu gaun itu di resepsi pernikahannya bersama orang yang ia cintai. Cia tersenyum tanpa sadar, namun senyumannya menjadi garis lurus saat sadar ia tidak akan menikah dengan dengan pria yang ia cintai. "Elgan, kamu sudah datang." Seorang wanita baya datang menghampiri mereka. "Wah, ini calon istrimu. Kamu cantik sekali, sayang." Puji wanita itu saat melihat Cia. Cia tersipu malu. "Tidak secantik itu, Tante ...," gantung Cia. "Tante Shopi, panggil saja aku Tante Shopi," sambung wanita yang diketahui bernama Shopi. "Ah iya, Tante Shopi," ujar Cia tersenyum manis. "Baiklah, calon mertuamu mengatakan kalau kalian ke sini untuk fitting baju, bukan? Ayo, kalian pilih gaun dan jas mana yang akan kalian kenakan di hari pernikahan nanti." Shopia menggiring Cia yang berjalan di sampingnya. Elgan hanya mendengarkan percakapan dua wanita yang berjalan di depannya. "Kalian tunggu di sini dulu ya, Tante akan ambilkan gaun yang sudah disiapkan." Shopia mempersilahkan Elgan dan Cia duduk di sofa sudut yang berada di ruangan itu. Cia mengangguk seraya duduk, begitupun dengan Elgan. Mereka duduk bersampingan walaupun masih berjarak beberapa senti. Beberapa saat kemudian, Elgan mencium wangi tubuh Cia yang menyeruak di sampingnya. Wangi itu, ia merasa suka dengan wangi tubuh Cia. Ia menatap Cia yang sedang terkagum-kagum gaun-gaun indah di depan sana. Merasa dirinya sedang diperhatikan, Via lantas melirik ke arah Elgan. Pandangan mereka bertemu. Elgan menatap mata biru di depannya dengan lekat. Ia merasa seperti pernah melihat bola mata berwarna biru yang dimiliki Cia. Demi apapun, pria itu sukses membuat Cia kikuk. "Ciee ... yang lagi pandang-pandangan." Elgan tersadar dari lamunannya saat mendengar suara Tante Shopi yang menggoda mereka. Wajah Cia memanas saat Shopi menggodanya dengan senyuman jahil. "Tante, langsung saja berikan gaunnya," suruh Elgan. Ia gugup karena sudah ketahuan menatap Cia. Setelah itu, Elgan pura-pura sibuk dengan ponselnya. Sesekali, ia menggerutu dalam hati menyesal telah memperhatikan Cia. "Baiklah, sepertinya kamu sudah tidak sabar ingin melihat calon istrimu mengenakan gaun pengantinnya ya." Shopi terkekeh, semakin menggoda Elgan. "Ayo, Cia, Tante bantu mengenakan gaun ini," ajak Shopia lalu berjalan ke arah ruang ganti dengan Cia yang mengikutinya di belakang. Shopi dari awal sudah mengetahui nama calon istri Elgan. Lira, mama Elgan sendiri lah yang memberi tahunya saat bertamu di kediaman Lambert. Cia berdiri di depan cermin besar. Ia tercengang melihat pantulan dirinya di cermin. "Benarkah ini aku?" tanyanya, refleks. "Iya, itu dirimu, Sayang. Kamu sangat cantik mengenakan gaun itu. Elgan tidak salah telah memilihmu. Bagaimana menurutmu? Kamu mau memakai ini di hari pernikahanmu?" tanya Shopia sembari tersenyum manis. Cia mengangguk antusias. "Iya, Tante. Aku mau memakai gaun ini di acara puncak pernikahan." Cia menatap Shopi lewat kaca di depannya. "Ayo, kita tanyakan pada Elgan apakah dia suka dengan gaun ini atau tidak." Shopi membantu Cia mengangkat gaun yang panjangnya hingga menyentuh lantai agar tidak kesulitan saat berjalan. "Elgan, lihatlah, kamu suka?" tanya Shopi begitu sampai di depan pria itu. Elgan menatap Cia yang berdiri tidak jauh darinya. Ia terpana melihat gadis itu. Seakan ada sesuatu dari diri Cia yang selalu dapat membuatnya terpesona. "Kamu suka?" tanya Shopi, lagi. Elgan berdehem. "Iya, lumayan." Elgan berkomentar. Cia mendengus pelan mendengar jawaban singkat itu Dasar kulkas berjalan. Tidak pandai memuji, batinnya kecewa. Setelah Cia mencoba beberapa gaun yang akan dipakai untuk resepsi pernikahan, selanjutnya giliran Elgan yang akan mencoba beberapa setelan jas. Cia menunggu di sofa, tempat Elgan duduk tadi. Tidak berapa lama, pria itu keluar dari ruangan ganti. Cia terpana melihat ke tampanan Elgan yang mengenakan setelan jas. Pria itu terlihat gagah mengenakan pakaian itu. "Bagaimana Cia, jas yang Elgan kenakan serasi dengan gaunmu, kan?" tanya Shopi. Cia berdiri lalu mengangguk setuju. "Dia bertambah tampan mengenakan setelan jas ini, bukan?" tanya Shopi pada Cia. "Ya, lumayan." Cia menirukan jawaban Elgan tadi Rasakan itu, batinnya mengejek Elgan. Elgan hanya menampakkan wajah datar, tidak bereaksi mendengar jawaban Cia. Tidak berapa lama kemudian, ia telah selesai mencoba beberapa setelan jas yang akan dikenakan saat acara pernikahan nanti. Setelah itu, mereka berpamitan lalu pergi meninggalkan butik. Mobil yang dikendarai oleh kedua orang itu terlihat memasuki pelataran mansion. Setelah ban mobil benar-benar berhenti, Cia bergegas melepas sabuk pengaman di tubuhnya lalu turun. "Kau pergi kemana malam ini?" tanya Elgan sembari mengikuti langkah Cia. "Tidak kemana. Aku hanya di rumah." "Memang kenapa?" lanjut gadis itu, bertanya. Elgan menghentikan langkahnya. "Temani aku ke suatu tempat." Cia berhenti lalu berbalik menatap Elgan yang berhenti di belakangnya. "Tidak mau," tolaknya, langsung. Elgan mendelik tidak suka mendengar jawaban itu. Asalkan gadis itu tahu, bahwa ia tidak butuh penolakan. "Kau harus." "Kemana?" tanya Cia cepat saat mendapat tatapan mengintimidasi Elgan. "Nanti kau juga akan tahu." Setelah berujar demikian, Elgan langsung pergi melewati Cia begitu saja. "Kalian sudah pulang. Bagaimana fitting bajunya? Bagus, kan? Kalian suka dengan gaun dan jas, kan? Tante Shopi khusus membuatnya untuk kalian." Lira menyambut Cia dan Elgan dengan ocehannya. Elgan melihat mamanya dan Tante Elena sedang duduk di ruang tamu, lalu menghampiri kedua wanita itu dan menyalimi mereka. "Kapan Mama tiba di sini?" tanya Elgan setelah duduk di samping Lira, mamanya. Cia juga melakukan hal yang sama dengan Elgan, lalu ikut duduk di samping mamanya. "Barusan," jawab Lira. "Bagaimana tadi?" tanya Elena sembari melihat Elgan dan Cia bergantian. "Lancar, Ma. Gaun-gaunnya cantik sekali. Tante Shopi pintar ya Ma memilih gaunnya. Cia suka." Cia tersenyum manis melihat mamanya. "Jadi, kalian berdua suka dengan gaun dan jasnya?" Lira menatap Cia dan Elgan bergantian, yang diangguki oleh kedua orang itu. "Cia suka, Tante." Lira tersenyum lembut mendengar jawaban itu. Malam harinya, Cia bergegas mempersiapkan dirinya untuk pergi bersama Elgan. Beberapa saat yang lalu, pria itu sudah pulang bersama mamanya. "Bagaimana ya cara mancing si kulkas berjalan itu supaya mau bicara banyak denganku dan tidak irit bicara? Aku senyum, dia tetap datar. Aku olok-olok, dia bungkam. Si kulkas kenapa beda sekali ya dengan Mama dan Papanya dan ramah dan lembut?" Cia terheran-heran sendiri memikirkan Elgan sembari menguncir rambutnya yang panjang. "Ah, terserah dia lah. Tidak penting juga." Cia kesal sendiri saat tidak menemukan cara untuk bisa menarik perhatian Elgan. Tidak berapa lama kemudian, suara Elena terdengar memanggil gadis itu. "Sayang, kamu sudah siap? Elgan sudah menunggu di depan." Suara Elena terdengar dari luar kamar. "Iya, Ma. Sebentar lagi!" jawab Cia dengan berteriak. Mengambil tas lalu disampirkan di bahu, Cia bergegas turun saat suara Elena tidak lagi terdengar. Cia menekan handle pintu lalu melangkah menuruni tangga. Ia melihat Elgan sedang bercengkrama dengan papanya di sofa empuk yang terletak di ruang keluarga. "Night, Pa," sapanya. Xavier berdiri sembari tersenyum lembut dan mengelus puncak kepala putrinya itu. Elgan ikut berdiri memperhatikan dua orang di depannya. "Kalian mau berangkat sekarang?" Elgan mengangguk mengiyakan. "Kami pergi dulu ya, Om." Pamit Elgan ramah sembari menyalimi Xavier. "Cia pergi dulu ya, Pa." Cia melakukan hal yang sama dengan Elgan. Xavier mengangguk. "Pulangnya jangan terlalu malam." Xavier memperingati. "Iya, Pa." Elgan melajukan mobilnya membelah jalanan Kota Jakarta yang diterangi oleh lampu-lampu yang berjejer rapi di pinggir jalan. "Kau sudah makan?" Cia menatap Elgan sekilas setelah mendengar pertanyaan itu. Dasar es batu, tidak ada manis-manisnya, batinnya. "Belum." Elgan diam tak menanggapi, kembali fokus pada jalan di depannya. Wah ... cowok ini benar-benar. Kenapa repot-repot bertanya kalau memang tidak mau mentraktir ku makan, gerutu Cia, setengah kesal. Elgan melirik Cia sekilas. Senyum tipis terukir di bibirnya saat melihat wajah Cia yang terlihat kesal. Sepertinya sekarang, ia punya hobby baru untuk membuat gadis itu kesal. Elgan menghentikan mobilnya di basement apartemen. Cia menatap heran disekelilingnya. "Lho, kenapa kita ke sini?" Cia menatap Elgan bingung. "Turun." Cia mendengus lalu turun menyusul Elgan yang sudah berjalan ke arah lobby. "Tunggu aku!" Teriak Cia sambil berjalan cepat menyamai langkah Elgan. "Kita kenapa ke sini sih?" Cia memiringkan kepalanya menatap Elgan. "Kalau kamu tidak jawab, aku pulang sekarang!" Ancamnya lalu menghentikan langkah. Elgan berdecak. "Jangan banyak tanya," sarkas Elgan, lalu kembali melanjutkan langkahnya. Cia pasrah. Ia kembali mengikuti langkah Elgan memasuki lift. Saat di dalam lift, Elgan masih diam. Ia berdiri di sudut kanan lift sedangkan Elgan tepat berdiri di tengah dengan kedua tangan yang berada di saku. Ting! Mereka sampai di lantai 17. Cia memperhatikan suasana di sekelilingnya. Melihat kesunyian di tempat itu, berbagai asumsi buruk hinggap di kepalanya. Apa dia mau bunuh ku? Yah, dia pasti mau mencelakai aku. Kalau tidak, untuk apa dia membawaku ke tempat ini? Aku harus cepat-cepat melarikan diri, batin Cia, was-was. Ia bersiap-siap hendak berbalik dan melarikan diri. Namun, suara Elgan menghentikan aksinya yang bahkan belum dimulai. "Mendekatlah." Elgan sudah berdiri di depan pintu apartemen dengan nomor 117. Cia tidak berkutik. "Kau tidak akan mencelakai aku kan?" Cia memicingkan matanya. "Cepat kemari!" Elgan berbalik lalu memasukkan password. Ia kemudian membuka pintu itu selebar mungkin lalu menyuruh Cia masuk. "Ini apartemen siapa?" tanya Cia saat sudah mencapai pintu. "Kita."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN