JULLIO duduk di dalam mobilnya sejak satu jam yang lalu. Hari ini, Hillary sudah berjanji akan menemuinya sepulang sekolah, Jullio sudah menunggu selama seharian ini agar ia bisa bertemu dengan Hillary lagi. Membayangkan gadis ketus itu saja membuatnya benar-benar seperti orang sinting. Mungkin benar kata orang, cinta bisa mengubah segalanya. Termasuk kewarasan seseorang. Jullio melihat mobi Hillary mendekat ke arahnya. Ia segera keluar dari mobil agar Hillary bisa melihat. Dan benar saja, begitu melihat dan dirinya, Hillary memelankan laju kendaraannya dan berhenti di seberang jalan.
Hillary keluar dari mobil. Rambutnya masih basah kuyup, ia juga masih mengenakan jaket milik Angkasa, sepatu dan roknya juga tak kalah basah. Gadis itu berjalan mendekati Jullio. Melihat Jullio sendirian di depan pagar rumahnya membuat Hillary tak kuasa menahan rasa bersalah yang entah sejak kapan menyeruak di dadanya. “Apa yang kaulakukayn di sini?” tanya Hillary.
“Menunggumu.” Jawab Jullio singkat. “Kau sudah berjanji akan menemuiku sepulang sekolah, bukan?”
“Maaf,” Hillary menyibak rambut panjangnya. Pandangannya tertuju pada pakaian Jullio yang masih kering. “Aku tadi ke toko buku. Saat aku pulang hujan deras jadi aku harus berteduh sejenak.”
“Tidak apa.” Sahut Jullio singkat.
“Mau masuk?” tawar Hillary.
“Aku tidak mau bertemu dengan anjing galak.”
“Tidak ada anjing di rumahku. Aku dan keluargaku tidak menyukai hewan peliharaan sama sekali.”
“Benarkah?”
“Aku tidak bohong. Masuklah, mungkin kau haus.”
Jullio mengangguk. Sedikit tidak menyangka akan mendapatkan tawaran seperti ini. Sepertinya Hillary tengah bahagia. Terlihat dari cara gadis itu tersenyum dan menyapanya. Segera setelah memasukkan mobilnya ke garasi, Jullio segera menyusul Hillary dari belakang. “Apa kau seendirian di rumah?” tanya pria itu.
“Tidak juga. Ayahku pilot, dia sering menghabiskan waktu di udara ketimbang di darat. Kakakku, kau mungkin mengenalnya. Dia kuliah dan sepertinya akan jarang menghabiskan waktu di rumah.”
“Dan ibumu?” tanya Jullio.
Tidak ada jawaban dari Hillary, Jullio bisa melihat dengan jelas punggung Hillary menegang. Meskipun tidak bisa melihat wajah Hillary, Jullio yakin ada yang salah dengan hubungan Hillary dan ibunya.
“Ibuku sedang tidak di rumah. Kau mau minum?” tawar Hillary. “Aku akan mandi.”
“Ada asisten rumah tangga di sini?”
“Tidak. Aku menyuruh mereka pulang setelah pekerjaan mereka selesai. Hanya ada satpam yang berjaga di pos depan.”
“Oh,” Jullio mengamati setiap detail rumah Hillary. Banyak lukisan-lukisan indah di dindingnya. Foto-foto Hillary dan Harry juga banyak terpampang. Pun dengan foto ayah mereka yang tengah mengenakan seragam kebanggaannya, maupun dengan pakaian formal berupa jas. Jullio hampir tidak melihat figure ibu Hillary di mana pun. Ia bertanya-tanya dalam hati, sebenarnya apa yang salah dengan keluarga ini. Jullio mengehentikan langkahnya ketika Hillary menaiki tangga.
“Kau bisa menungu di sini.” ucap Hillary sembari menunjuk sofa di ruang keluarga.
“Bolehkan aku ikut denganmu?” pinta Jullio sembari menunjukkan wajah puppy eyesnya.
“Tidak!”
“Kumohon…” Jullio melihat sekeliling. “Aku khawatir aka nada hantu di sini.”
Hillary terkekeh pelan, “Tidak ada hantu di sini. Aku sudah bertahun-tahun tinggal di sini dan tidak pernah sekalipun mendengar suara hantu apalagi melihat rupa mereka.”
“Aku serius. Aku takut-“
Merasa iba dengan dengan Jullio yang tampaknya tidak berpura-pura, Hillary terpaksa mengajak Jullio ikut dengannya. “Baiklah. Kau boleh ikut.”
Dalam hati, Jullio bersorak senang. Sebenarnya ia sama sekali tidak takut dengan hantu. Jullio sering menghabiskan malam dengan bersenang-senang. Dunia malam adalah dunianya, bagaimana mungkin ia bisa takut dengan dunia malam, hantu ataupun kegelapan? Hillary memang mudah sekali dibohongi. Jullio sedikit merasa bersalah dengan gadis itu.
Sesampainya di kamar Hillary, Jullio sedikit terperangah dengan desain interior kamar itu. Jullio pikir Hillary memiliki selera khas gadis feminim, dengan seprai merah muda, meja rias dan meja belajar berwarna merah mudah serta cat dinding merah muda pula. Nyatanya, Jullio salah, kamar Hillary bernuansa biru langit. Bahkan atap kamarnya dibuat demikian. Seprai berwarna abu-abu serta pernak-pernik berwarna hujau dan biru yang mendominasi. “Apa kau hujan-hujanan?” tanya Jullio tiba-tiba.
“Ya. Kehujanan lebih tepatnya.”
“Lain kali, jangan hujan-hujanan. Kau bisa sakit,”
“Oke.” Hillary menghilang di balik pintu kamar mandi. Sementara itu, Jullio merebahkan punggungnya di atas tempat tidur milik Hillary. Tanpa terasa sangat nyaman, apalagi setelah berjam-jam hanya duduk di dalam mobilnnya seraya menahan kantuk.
Tanpa terasa, Jullio tertidur. Entah sudah berapa lama pria itu memejamkan matanya. Jullio terbangun setelah sekian lama memejaamkan mata. Ia bahkan masih mengenakan sepatunya. Jullio membuka matanya perlahan, dilihatnya Hillary tertidur di kursi, sudut bibirny terangkat.
Hillary bahkan sudah berganti pakaian, piyama berwarna hijau menutup bagian tubuhnya hingga ke ujung tangan dan kaki. Jullio beranjak dari tempat tidur dan segera menghampiri Hillary. “Kenapa kau tidur di sini?” bisiknya. Jullio menyibak rambut pirang Hillary, dikecupnya kening gadis manis itu dengan penuh kasih sayang. Ia tidak ingin melepaskan Hillary demi siapa pun. Biarkanlah dunia menganggap dirinya tidak pantas bersanding dengan gadis sebaik Hillary, ia tidak peduli. Jullio tidak akan membiarkan pria paling baik sekali pun demi gadis pujaannya.
Jullio mengangkat tubuh mungil Hillary lalu meletakkannnya di ranjang. Hillary menggeliat pelan, sama sekali tidak keberatan dengan sikap Jullio yang bisa di bilang kurang ajar. “Kenapa kau tidak membangunkanku?” tanya Jullio. “Aku bisa tidur di sofa kalau kau ingin memakai ranjangmu.”
“Kau terlihat lelah, “Hillary menguap lebar. “Aku tidak tega membangunkanmu.”
“Tidak, aku hanya ketiduran. Boleh aku berbaring di sini?” pinta Jullio. Hillary tampak ragu. Ia berharap yang saat ini bersamanya adalah Angksa. Namun entah mengapa bersama Jullio ia bisa merasa nyaman. Sedangkan bersama Angkasa ia bisa merasakan debaran tak karuan di dalam dadanya. Benar-benar dua hal yang sangat berbeda. “Baiklah kalau tidak boleh, aku akan pulang kalau begitu,”
“Ada yang menunggumu di club malam?” untuk sesaat, Jullio bisa melihat kesedihan yang terpancar dari sorot mata Hillary.
“Banyak.” Jawab Jullio singkat.
“Kalau begitu, pergilah!” Hillary menarik selimut lalu mengubur dirinya di dalam selimut tebal.
“Tapi kalau kau mengijinkanku tinggal, aku akan tidur di sini malam ini.”
“Bagaimana dengan orang-orang yang mencarimu? Bianca misalnya,”
“Bianca?” ulang Jullio. Jullio menarik selimut yang menutup wajah Hillary agar ia bisa melihat ekspresi wajah Hillary. “Apa maksudmu?”
“Bukankah dia kekasihmu?”
Jullio tertawa mendengar tuduhan Hillary. Dia dan Bianca? Astaga, “Tidak.”
“Tapi kalian terlihat sangat akrab.” Katanya. Hillary menyipitkan matanya. “Kau mungkin sering melakukan-“ kata-katanya menggantung, menguap entah ke mana.
“Apa?” Jullio tersenyum jahil. Sungguh hiburan baginya melihat ekspresi lucu Hillary.
“Itu..”
“Itu apa?” ulang Jullio.
Hillary menimpuk kepala Jullio dengan boneka pandanya. “Jangan pura-pura bodoh!” teriak Hillary tidak sabar.
“Kata-katamu ambigu. Aku benar-benar tidak mengerti maksudmu!”
“Kau ini t***l atau pura-pura t***l! Kau pasti paham maksudku!” seru Hillary lagi.
“Nona cantik, katakan apa sebenarnya maksudmu. Aku sama sekali tidak mengerti.” Jullio semakin gencar menggoda Hillary. Ia bahkan ikut menyelinap di balik selimut Hillary.
“Apa yang kau lakukan di sini! Minggir bodoh!” katanya ketus.
“Pembicaraan kita belum selesai.”
“Lupakan!” Hillary kembali mengubur dirinya di dalam selimut. “Aku tidak mau melihatmu lagi. Kau b******k! b******n!”
Jika sudah seperti ini, Jullio pasti akan sakit hati kalau Hillary terus-menerus memakinya. Ia memilih behenti menggoda Hillary, bagaimanapun juga, Hillary masih tabu jika menyangkut masalah s*x. Jullio memeluk Hillary dari berlakang seraya berkata, “Bianca? Aku sama sekali tidak memiliki hubungan dengannya.”
“Aku bukan anak kecil yang mudah kau bohongi,”
“Aku berani bersumpah. Demi Tuhan, aku memang tidak memiki hubungan khusus dengannya. Bianca mungkin tertarik denganku. Namun aku tidak, satu-satunya yang bisa membuatku tertarik adalah dirimu. Tiada yang lain.”
Hillary menyunggingkan senyum. Ternyata selain membuatnya nyaman, Jullio juga pandai membuatnya bahagia, seperti sekarang. Hillary membalikkan badan agar bisa melihat Jullio. Ia ingin tahu apakah Jullio serius mengatakannya atau tidak, “Aku tidak butuh omong kosongmu.
“Terserah kau percaya atau tidak,” Jullio menjulurkan lidahnya. “Aku di sini, bersamamu. Aku akan mengejarmu tanpa lelah. Tanpa pamrih, sampai kau jadi milikku.”
“Oh,” ujung bibir Hillary terangkat otomatis. “Oh, ya? Aku tidak yakin dengan gagasan kau mengejarku tanpa pamrih.”
“Kita buktikan saja,” tantang Jullio.
“Baiklah. Kita lihat seberapa besar perjuanganmu.”
Hillary memang ingin melihat bagaimana Jullio berjuang demi dirinya, tetapi ia juga ingin sekali melihat Angkasa berjuang demi mendapatkan hatinya. Ciuman pertamanya dengan Angkasa sangat berbeda dengan ciumannya dengan Jullio. Hillary tidak bisa mendeskripsikan dengan jelas seperti apa perbedaannya. Yang jelas, Hillary ingin sekali melihat Jullio berjuang demi dirinya.
“Jika aku tidak menyerah, kau harus menerimaku.”
“Deal!” Hillary tidak ingin memasrahkan hatinya untuk Jullio karena ia yakin hatinya hanya milik Angkasa.
Angkasa, kakak tingkatnya yang berhasil membuatnya jatuh cinta sejak pandangan pertama. Satu-satunya laki-laki yang berhasil mencuri hatinya. Membuatnya merasakan bagaimana rasanya berdebar saat sedang menghadapi lawan jenis. Dan Jullio, Hillary hanya ingin melihat seberapa jauh pria nakal itu berjuang demi dirinya.
“Aku mencintaimu, sangat.” Jullio mengatakan itu semua tepat di depan bibir Hillary, ia ingin sekali mencium bibir itu. Namun Jullio mati-matian menahannya. Jullio sudah bertekad untuk tidak memaksa Hillary. Ia akan berjuang, meski akhirnya akan dikecewakan.
“Selamat malam, selamat tidur, Nona cantik. Semoga kau manjadi istriku.”
“Selamat tidur, Jullio.” Hillary menempelkan bibirnya ke bibir Jullio.
Malam ini ayah dan kakaknya tidak pulang. Hillary tidak akan khawatir dengan kehadiran Jullio di kamarnya jika esok kakak atau ayahnya melihatnya di kamar dengan seorang pria. Hillary memberanikan diri mengecup bibir Jullio meskipun sepertinya pria itu tidak berniat membalas ciumannya.
“Aku tahu aku amatiran,” Hillary menutup matanya rapat-rapat. “Wajar jika kau menolakku.”
“Tidak.” Jullio menempelkan bibirnya di bibir Hillary. “Aku tidak ingin memaksamu. Sudah kubilang aku akan berjuang, kau hanya perlu melihat perjuanganku. Aku tidak ingin memaksamu. Kau tahu itu,”
Hillary mengangguk mantap. “Boleh aku menciummu?” tanya Jullio sopan.
Senyum Hillary mengembang. “Tentu.”
Yang terjadi selanjutnya sungguh di luar kendali Jullio dan Hillary. Satu ciuman panas itu mengantarkan mereka pada hal-hal baru bagi Hillary. Jullio mengulum bibir Hillary dengan penuh gairah dalam setiap gerakannya.Tangan nakalnya mulai merambat ke d**a Hillary, bahkan piyama gadis itu ini sudah terbuka separuh. Tidak ada protes apa pun dari Hillary. Jullio meremas pelan d**a gadis itu. Gairahnya meningkat drastis hanya karena Hillary mengalungkan kedua tangan di tengkuknya dan mulai membalas ciuman bertubi-tubi yang ia berikan.
Jullio berhenti, ini salah. “Aku tidak ingin merusakmu,” ucapnya lirih. “Ini tidak benar. Maaf!” katanya seraya mengancingkan satu persatu kancing piyama Hillary.
“Terima kasih.”
“Tolong hentikan aku jika aku sampai mengulanginya lagi,”
“Aku bahkan tidak tahu bagaimana cara mengendalikan diriku sendiri. Semua ini baru bagiku. Dan sejujurnya aku penasaran dengan itu,” ucapnya jujur.