PROLOG
"Jullio... Jullio.... Jullio....."
Sorakan-sorakan keras memenuhi privat room di sebuah club malam ternama di pusat kota.
"Once again, baby!" ujar Bianca sembari menuang vodka ke dalam sloki di tangan Jullio.
Wajah Jullio memerah. Entah sudah berapa botol vodka yang diteguknya malam ini. Bianca dan beberapa temannya sengaja mencekokinya lebih banyak alkohol dari malam-malam sebelumnya. Jullio hanya bisa pasrah dan terus menikmati minuman terlezat di seantero dunia. Bagi Jullio, alkohol adalah syurga kedua setelah wanita.
Bianca tidak bisa menahan dirinya untuk menyentuh Jullio. Gadis berusia tujuh belas tahun itu telah lama menunggu waktu yang tepat untuk bercinta dengan pria idamannya. Demi mencapai tujuannya, Bianca rela ditiduri oleh sahabat karib Jullio-Martin.
Bagi Bianca, apa yang melekat pada diri Jullio adalah kesalahan Tuhan. Ya, kesalahan berupa kesempurnaan yang tak terelakkan. Bianca memuja Jullio lebih dari dia memuja Tuhannya sendiri. Seringkali, ia menyalahkan Tuhan atas kesalahannya itu.
Bola mata biru sebiru lautan, rahang tegas, warna rambut keemasan, tubuh kokoh dan masih banyak lagi yang tak bisa dijelaskan Bianca dengan kata-kata. Jullio terlalu nyata. Dia terlalu sempurna untuk sekedar menjadi seorang manusia biasa. Seharusnya, dia terlahir sebagai malaikat. Atau seorang nabi. Begitu pikir Bianca.
Mengagumi Jullio adalah kebiasaan yang tak pernah luput dari dirinya. Dan tanpa sadar, entah sudah berapa lama jemari lentiknya menggerayangi d**a bidang Jullio. Dengan sengaja Bianca menempelkan buah dadanya dengan punggung Jullio. Ia menghirup aroma memabukkan Jullio dan sesekali mencium tengkuk pria idamannya itu. Otak Bianca mulai kehilangan akal warasnya, ia menghisap leher Jullio hingga meninggalkan jejak kemerahan di sana.
Jullio berdiri ketika melihat sosok yang tak asing baginya, membuat Bianca tersentak kaget dan terjaruh dari tempat duduknya.
Angkasa-adik kandungnya, berjalan dengan seorang gadis yang sama sekali tidal dikenalnya. Gadis itulah yang membuat Jullio berhenti meneguk vodkanya dan juga menghentikan dunia di sekitarnya.
Ketika Jullio menatap gadis itu lebih dalam, gadis itu balik melihatnya. Pandangan mereka bertabrakan. Untuk sesaat, bumi seolah berhenti berputar dari porosnya. Jullio terjatuh, terjeremus dalam jurang mata biru gadis yang sedang memegang lengan adiknya-Angkasa.
"Aku takut!" cicit Hillary Thompon pada Angkasa Brandon Stokes.
"Tenanglah. Tidak akan ada yang berani menyentuhmu. Orang-orang di sini mengenalku." ujar Angkasa menenangkan Hillary.
Mereka terus berjalan melewati ruangan demi ruangan di club malam tersebut. Hillary tetap merasa ketakutan meskipun sedang berama Angkasa-yang tak lain adalah anak pemilik club malam tersebut.
"Hey!" seseorang mencekal pergelangan tangan Hillary.
Hillary tersentak. Ketakutan yang tadi sempat menghilang kini kembali memenuhi jiwanya. Hillary bersembunyi di balik punggung Angkasa. Dengan takut, ia mengintip pria yang sempat dilihatnya walau hanya sekilas.
Seorang pria dengan rambut sebahu dan mata merah karena tengah berada di bawah pengaruh alkohol berdiri tepat di hadapan Angkasa. Hillary takut, lebih tepatnya ia takut jika pria itu melukai Angkasa. Ingin rasanya ia menghajar pria itu. Tapi, dia sendiri sama sekali tidak punya nyali. Bahkan untuk sekedar bertatapam langsung dengan pria itu.
"Dia bersamaku, Kak." ujar Angkasa tenang.
Kak? Siapa dia? Apa hubungan angkasa dengan pria mabuk itu? tanya Hillary pada dirinya sendiri.
"Baguslah! Serahkan dia padaku." balas Jullio tak kalah tenang.
"Dia... tidak seperti yang kau pikirkan. Dia gadis baik-baik?"
"Benarkah?"
"Aku berani bersumpah. Dia bukan jalang seperti kebanyakan wanita yang datang kemari."
"Wow! Menarik. Berikan dia padaku, Dik!"
"Kau sedang mabuk. Aku tidak akan membiarkanmu membawanya. Dia datang bersamaku. Dia juga harus pulang denganku!"
"Angkasa..." suara Jullio melembut.
"Tidak!"
Kemudian, Angkasa pergi meninggalkan kakaknya yang terlihat marah. Ia menggandeng tangan Hillary dan membawanya ke salah satu privat room-tempat di mana Hillary bisa menjemput kakaknya.
Meski kesal, Jullio tetap membiarkan Angkasa membawa gadis itu. Seorang Gadis yang entah mengapa membuatnya ingin memiliki gadis bermata biru seperti miliknya.
"Tunggu!" Jullio berjalan cepat mengejar Angkasa dan Hillary. "Siapa pun kau, aku jatuh cinta padamu. Cinta pada pandangan pertama. Besok atau lusa, kupastikan aku akan menjadi suamimu!" tunjuk Jullio pada Hillary.
"Sayangnya, jatuh cinta pada pandangan pertama hanya untuk orang bodoh!" ketus Hillary seraya berlalu meninggakan pria mabuk yang menjijikkan itu.