1. Pada Suatu Waktu ...

1554 Kata
"Masa kamu kayak gini aja nggak bisa?" Sambil ditekannya tuts piano dengan geram. "Ayo! Mainkan kayak kakak-kakak kamu, Haifa. Jangan bikin malu Mama." Haifa tertunduk di kursi piano itu. Masa kecilnya. "Haifa ... lihat Kak Gea!" tekan mama. Dia begitu mahir di bidang bermusik, salah satunya piano. Haifa menatap sang kakak. Iya, Geanica Rahayu Samarawijaya. Jemari lentiknya begitu terlatih. Kak Gea yang paling unggul di sini, di saat seluruh anak papa dan mama belajar memainkan alat musik. "Bisa?" Fokus Haifa kembali terseret pada sosok wanita cantik ukuran paruh baya di sisinya. Mama. Haifa mengangguk. Dia pun kembali mencoba. Melatih diri. Papa dan mama memiliki bakat di bidang ini, bahkan seluruh anak-anak mereka berbakat sekadar main piano. Namun, why ... Haifa dijewer telinganya. "Ma ...." "Susah, deh, kamu. Bener-bener. Gini aja nggak bisa!" Sakit. Haifa mengusap bekas jeweran itu. Dia masih kecil. Dan ukuran anak SD, Haifa telah menjuarai bidang permusikan tingkat sekolah. Ibu guru bangga padanya walau Haifa juara dua. But, saat di rumah ... seketika piagam Haifa belah dua. Mama merobeknya. Kata mama, "Papa nggak akan suka. Latihan lagi!" Tahu? Di mata Haifa, mama seperti terobsesi untuk tampak sempurna di mata papa. Sebisa-bisa sebagai istri dan ibu rumah tangga Samarawijaya, mama ingin dianggap unggul, khususnya pada bidang mendidik anak-anak, mengasah keterampilan, sehingga papa bangga akan hasilnya. Yeah .... Haifa lahir pada generasi keempat keluarga konglomerat Samarawijaya, katanya. Haifa percaya sebab dia tidak pernah kesulitan soal finansial. Sekelilingnya itu 'mahal', bahkan ketika duduk pun gerakannya ada yang melatih agar terlihat 'mahal' juga. Haifa tidak bisa bersikap serampangan di sini, lahir dari keturunan Samarawijaya ternyata ada SOP-nya. "Ya Tuhan, Haifa ... main piano nggak bisa, masa sekarang ngelukis juga jelek hasilnya?" Haifa remaja. Dia menatap hasil lukisannya. Dirobek mama. "Tapi Ifa juara satu di sekolah, Ma ...." "Dan juara tiga di lomba se-ibu kota?" tukas mama, mendelik galak. "Kamu, tuh, ya ... apa, sih, bakatnya? Nurun dari siapa, sih, segala nggak bisa gini? Akademik 'nol'. Nonakademik ... lebih parah. Pusing Mama!" Beliau pijat-pijat kepala. Haifa yang berseragam SMP itu menunduk, menggigit bibir. "Ketiga kakak kamu nggak gini, lho, Ifa. Padahal sama-sama lahir dari rahim Mama." Apa mungkin Haifa bukan anak papa? Mama berdecak. "Papa kamu juga sangat terampil, tapi anaknya, kok, gini?" Tentu, Haifa anak papa dan mama. "Kamu cuma unggul di muka," cibir mama. Iya, wajah Haifa ... benar-benar paket komplit dari genetik mama-papanya. Di zaman sekarang ini, bukankah itu yang paling penting? Ada istilah beautiful privilege. Namun, mama tidak begitu menyukai yang hanya modal tampang. "Malu-maluin," desis gerangan. Melewati Haifa yang berdiri diam. Karena itu, Haifa kadang malas jikalau ada acara keluarga. Sepertinya sudah mendarah daging di rumpun keluarga Samarawijaya untuk membangga-banggakan putra-putri mereka, lalu Haifa jadi kelemahan bagi orang tuanya, terkhusus mama. Kalau papa .... Papa memang no comment, tetapi sebetulnya itu lebih sakit karena Haifa diabaikan. Kehadirannya seolah tak teraba mata. Hingga ketika makan malam lengkap antara mama, papa, Haifa, dan ketiga kakaknya ... dia yang paling jarang di-notice. "Bagus, Haidar. Tingkatkan lagi. Nilai perusahaan jadi semakin melejit sejak kamu bergabung." Ya, dewasa kini. Haidar Samarawijaya. Dia kakak pertama Haifa. Tentu, sudut bibir Haifa naik sebelah. Dengan terus melahap makanan tanpa nafsunya. Hambar terasa. Haifa sudah bukan anak sekolah, dia juga sudah diwisuda kuliah, dan ... pekerjaannya? Of course, Haifa memilih jadi beban keluarga. Bertahun-tahun menunjukkan keunggulannya, Haifa lelah karena tak kunjung berbuah. Tetap selalu salah di mata mama dan papa. Jadi? Begini saja. Salah sekalian. Benar-benar jadi produk gagal sekalian. "Gea emang nggak pernah bikin Papa kecewa. Terima kasih, Sayang." Manis sekali, bukan? Kak Gea. Kakak ketiga Haifa. Perempuan dan sama cantik dengannya, tetapi lebih cantik Haifa. Sudah dikata, dia unggul di muka. Ehm. Kak Gea itu anak favorit papa dan mama. Dia selalu memenuhi ekspektasi orang tua. Dan bulan depan sudah akan menikah. Betul sekali! Dengan laki-laki yang cemerlang kerajaan bisnisnya, semakin membuat papa ter-Gea-Gea. Haifa mengerling saja. Hei! Tenang. Ini kisah komedi-romansa. Haifa tidak merasa sedih, kok. Sudah biasa. Dia sudah bisa menertawakan nasibnya, tetapi ini baru komedi, belum ada romansanya. "Deril, kamu jadi mau ngambil spesialis?" "Jadi, Pa." Derilion Samarawijaya. Yup! Kakak kedua. Kak Deril ini dokter, satu-satunya keturunan Samarawijaya yang terjun di bidang kesehatan. Rata-rata berbisnis, ada yang bisnis kosmetik, entertaint, dan properti--seperti papa Haifa ini. Konon, Kak Deril juga nanti mau menggabungkan antara bisnis dan bidang kesehatan, yakni membangun apotek hingga rumah sakit. Semakin sukalah papa. Perihal cuan, hijau di mata. Terus ... Haifa? Nggak, deh, ya. Makasih. Haifa mau "nolep" saja, alias kehidupan yang tidak melakukan apa pun yang berhubungan dengan kegiatan sosial atau berhubungan dengan orang lain. Orang yang nolep biasanya lebih suka menyendiri dan menghabiskan waktunya untuk melakukan kegiatan tanpa melibatkan siapa pun. Capek, Sis. Sudah, mending juara bertahan jadi beban. Toh, mau berjuang sebrutal apa pun Haifa tetap produk gagal di mata mereka, ya, kan? Itu, sih, motivasinya. Sekarang Haifa telah melenceng jauh dari SOP keluarga Samarawijaya. Biarkan dia jadi gadis barbar, yang semestinya anggun dan slay. "Haifa." Oh, disebut namanya. Tumben. Biasanya Haifa gaib di antara mereka. "Iya, Pa?" Haifa beri senyum termanisnya. Senjata terampuh sekaligus perisai yang dia miliki hanya wajah. Ini hasil kolaborasi dari gen papa dan mama. Mestinya mereka bangga ... karena Haifa adalah satu-satunya anak yang tak akan dipertanyakan anak siapa. Kecuali kalau soal bakat. Ah, sudahlah. "Mulai dicicil untuk mengepak barang-barang kamu, pakaian terutama, lusa nanti ikut Papa ke Cibodas." Sebut saja begitu. Di mana pula itu Cibodas? Haifa mengerjap. Oh, mau liburankah? Seketika seluruh mata, selain papa, menatapnya. Haifa pun melirik mama. Beliau mengedik bahu, tanda tak tahu dan tak peduli juga. "Nggak nunggu Gea nikah dulu aja, Pa?" Kak Gea sepertinya tahu. Tatapan Haifa pun alih ke sana. "Nggak perlu." Papa melahap daging steak dengan garpu dan itu sangat 'mahal' gerakannya. Tanpa menatap siapa pun. Haifa terdiam. Itulah awal mula kenapa sekarang dia ada di sini. Tertawa pelan, yang lambat laun menjadi kencang. Sialan! "Argh!" jerit Haifa. Mengentak kaki. Orang-orang desa auto menatapnya. Persetan! Demi apa ... papa membuangnya di sini? Di Cibodas? Tanpa marga, tanpa fasilitas. Sendirian. Haifa pun menangis tanpa air mata. Awas saja. Awas!!! *** Dikisahkan pada zaman dahulu .... Ah, tidak. Tidak terlalu lampau. Saat di mana seorang dosen mengundurkan diri, melepas pekerjaan mulia itu, sebab harus memenuhi permohonan orang tua sebagai anak semata wayang mereka. Airlangga Cakra Gerhana, dia diminta melanjutkan bisnis papa dan mama. Agensi model yang sudah dibangun lama membutuhkan penerus. Dalam hal ini, Airlangga yang kerap disapa 'Erlang' adalah one and only. So? Beginilah dia. Melonggarkan dasi yang dirasa agak mencekik. Tak mesti pakai dasi, tetapi lebih sedap dipandang saja ketika memasuki wilayah perusahaan bidang permodelan itu. Erlang harus segera pulang. Yang mana setibanya di rumah, saat itu, dia mendapati sorot tajam mata mama. Selalu. Akhir-akhir ini. Tahu kenapa? "Ini anak siapa, Erlang? Mama tanya." Dari kemarin, kemarinnya lagi, dan kemarin seterusnya ... pertanyaan mama sama. Anak siapa? Bayi merah dalam gendongan mama itu, bayi yang kapan hari Erlang bawa di gendongan kakunya, dengan raut cemas dan ... sekarang tidak lagi. Erlang lebih banyak cengar-cengirnya. "Anak Erlang." Begitu. Ditaboklah lengannya. Saat di sudut ruang papa kelihatan pasrah, mama tidak. Iya, Papa Chandra dan Mama Wendi--perkenalkan, mereka orang tua Airlangga. Garis keturunan keluarga Kesebelasan. Soal ini, nanti ... akan ada saat untuk dijabarkan. Poinnya bukan itu sekarang. "Nikah aja belum, pulang-pulang bawa bayi! Kalau emang iya anak kamu, ya udah, mana ibunya? Bawa ke sini! Mama nggak akan marah. Jadi, bawa ...." Selalu begitu. Karena tiba-tiba membawa bayi tanpa induknya, memberi cucu tanpa menantu, omelan mama serupa demikian di setiap waktu dan kesempatan. Namun, Erlang always cengengesan. Dia mengecup bayinya. Bayi laki-laki. Ya, di suatu waktu. "Galen ... Galen Putra Airlangga." Haha-hehe, lalu menatap Mama Wendi di depannya. "Anak Erlang tanpa mother." Kembali digeplaklah lengan Airlangga oleh sang mama. Lagi-lagi menangis tanpa air mata. Kok, bisa? Bagaimana ceritanya Airlangga yang bujangan ting-ting itu telah berstatus duda sekarang, tanpa menikah, tanpa pernah punya istri ... yeah, sebut saja duda anak satu. "Kalo gitu, fix, kamu nggak boleh nolak. Mama jodohin sama siapa pun anak gadis orang yang mau sama kamu, Erlang. Nggak boleh 'nggak'. Ini syarat kalau Galen mau diterima!" katanya. Ya, ya, ya ... Airlangga angguki saja. "Terserah Mama." Toh, dia sudah tidak memedulikan apa pun, selain putranya. Galen. Sementara itu, Papa Chandra? Benar-benar tidak habis pikir di sana. Sampai sekian waktu berlalu dan mama berucap, "Udah nemu, tapi kamu harus nunggu ... anaknya lagi ngejalani hukuman dulu. Awas, jangan macam-macam, Galen taruhannya kalau kamu nyeleweng." "Siapa, Ma?" "Orang tuanya minta dirahasiakan dulu." Papa yang jawab. "Oh, harus dia?" "Nggak ada orang tua yang mau punya mantu kayak kamu soalnya, Lang. Cuma mereka." Baiklah, baiklah. Kok, berasa low quality, ya? "Boleh spill umur?" Hening sejenak. Makan malam kali itu, Airlangga menatap mama dan papanya bergantian. Lihatlah. Mereka serempak menghela napas panjang. "Di bawah tiga puluh, ya? Berapa fix-nya? Dua puluh tujuh?" Oh, bukan. Mama menyebut angka ... "Dua puluh empat." Shitt! Airlangga tersedak. Bagaimana mungkin dengan yang semuda itu? "Mama bercanda?" Saat batuknya reda, Airlangga menatap serius kedua orang tuanya. "Very young girl ... Erlang udah tiga puluh empat kalau lupa." Mama lantas berdecak. "Toh, cuma beda sepuluh tahun ...." "Mama ...!" Mulai tidak bisa berkata-kata. "Ya, gimana? Susah promosiin kamunya! Udah tua, tau-tau duda lagi ... orang tua gila mana yang sudi punya mantu kayak kamu, hah? Mereka aja." So? Erlang mesti bantah dengan apa?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN