6. Dongeng Sebelum Tidur

1683 Kata
"Pakai baju ini dulu buat sementara." Haifa memang tidak membawa barangnya satu pun selain ponsel yang dia matikan, maka tak ada pula pakaian, di mana kini dia dipinjamkan baju oleh mamanya Mas Erlang, Haifa terima. Pun, dia berterima kasih karenanya. Namun, kenapa, ya? Sorot mata beliau seperti tak jemu-jemu memindai. Tanpa kata. Membuat Haifa penasaran dan risi, tetapi tidak bisa dia ungkapkan karena satu dan lain hal. Haifa cuma balas dengan senyum saja, lalu Tante Wendi senyum juga. Kok, malah jadi ngeri, ya? Ada apa ini? "Jadi, Haifa asalnya dari desa yang sama dengan tempat kunjungan Erlang, ya?" Waktu Haifa sudah ganti baju di kamar mandi, lihatlah, beliau menunggunya di sini. Di kamar yang untuk beberapa hari ke depan sepertinya akan Haifa tempati. "Iya, Tante ...." Haifa senyum lagi. Oh, atau mestinya dia sebut ibu, ya? Kan, ibu dari majikan? Tante Wendi mengangguk-angguk. "Kenapa?" Eh? Apanya, nih, yang kenapa? "Kok, bisa kepikiran buat ikut Erlang ke sini? Tanpa persiapan lagi. Atau Haifa diculik sama Erlang?" "Hah? Nggak, Tan. Mas Erlang nggak nyulik ...." "Terus?" Haifa terdiam. Masa harus bilang jujur, sih, terkait kabur karena perjodohan? Apakah bisa diterima oleh beliau dan tak akan membuatnya diusir? Strategi yang Mas Erlang buat sudah pas padahal, dengan akal-akalan membuatnya jadi pengasuh anak gerangan. Sial, tak terpikir akan diinterogasi begini, Haifa tidak ada persiapan. Dia harus jawab apa, dong? "Mm ... untuk saat ini saya belum bisa jawab, Tante. Tapi Tante jangan khawatir, saya nggak ada niat jahat dan ... anggap aja saya bener-bener harus meninggalkan desa itu dan di sini saya butuh pekerjaan, termasuk tempat tinggal. Eh, tapi kalau soal tempat tinggal, asal saya ada pekerjaan, saya bisa cari di luar. Yang penting saya--" Fix, aneh. Aneh banget. Tante Wendi tertawa, membuat laju dari tutur kata Haifa ngerem seketika. Henti di sana. Kenapa lagi ini ibu-ibu satu? Tadi waktu Haifa di kamar, diketuknya pintu oleh beliau dan lalu Haifa keluar, tidak langsung ada percakapan, Haifa justru dipindai, yang lalu beliau meminta Haifa menunggu sebentar. Tak lama, beliau datang membawa serta pakaian di tangan. Akhir kisah, di sini dan seperti inilah sekarang. Pamit meninggalkan Haifa yang kebingungan antara diterima dengan baik atau tidak di kediaman gerangan. Ya Allah. Tante Wendi malah mesem-mesem, di sebelum pintu kamar ini beliau tutup dan berlalu. Oke. Lalu sekarang bagaimana? Haifa, kan, diperkenalkan sebagai pengasuh anak Mas Erlang, masa dia diam saja di kamar? Kan, aneh. Memang aneh, sih, sejak awal. Mau buka ponsel menghubungi Mas Erlang ... takut jejaknya teraba oleh orang-orang papa. Minimal hari ini harus berlalu dulu, soalnya hari ini adalah hari pertemuan dengan duda anak satu itu. No, no, nehi! Argh. Sudahlah, Haifa memilih keluar. Mengambil langkah ragu, tetapi pasti apa hal yang dia tuju. Namun, masih sial, orang pertama yang Haifa lihat dan melihatnya adalah beliau; laki-laki yang Mas Erlang sebut sebagai papanya. *** Keluarga Kesebelasan. Itu nama grup chat keluarga dengan personil orang-orang tua, generasi mama dan papa Airlangga. Wendi: Jadi, baiknya kami gimana? Mohon saran dan masukan .... Banyu: Bentar, bentar. Aing simpulin dulu kasusnya, ya, Wen. Lieur. Samudra: Tim nyimak dulu aja. Jaelani: Izin translate chat-nya Bang Banyu, ya, Guys. Katanya, mau disimpulin dulu kasusnya, pusing. Lei: Oh, paham. Yang Wendi maksud itu, Erlang dijodohin sama anak temen sosialitanya, kan? Terus ada jeda waktu yang bikin Erlang pergi-pergian, pulangnya bawa anak gadis orang? Marine: Ya ampun. Dulu bawa bayi, sekarang bawa anak gadis. Ada aja tingkahnya Erlang, Mbak Wen. Sabar, ya. Banyu: Bisa cicing teu maraneh? Aing mau nyimpulin dulu, nih, biar perkaranya mudah dicerna. Marine: Hehe. Iya, Bang, siap. Aku diem. Wendi: T.T Dia mengirim emotikon menangis. Sehabis memastikan satu dan lain hal soal gadis cantik yang Erlang bawa, segera dia minta masukan dari keluarga besarnya. Ini sudah seperti tradisi, yang bila ada sesuatu kasus apa pun akan dibahas di grup inti keluarga. Mereka tidak akan menjatuhkan, tidak akan menghakimi, justru benar-benar memberi solusi, meski kadang ada bumbu ledekannya juga. Banyu: Oke, jadi ini berdasarkan apa yang Wendi ceritain, ya. Pertama, Erlang bujang legend-nya itu udah sepakat buat dijodohin. Udah nemu juga, nih, calon jodohnya. Cuma belum dikasih tau nama sama wujud dari sosok calon tersebut ke Erlang, rencananya malam ini mau ketemuan, kan? Banyu: Kedua, Selama masa perjodohan itu ada jeda karena pihak cewek lagi ngejalani hukuman. Betul, Wen? Wendi: Betul, Bang. Banyu: Nah, demikian si Erlang melanglang-buana ke desa, eh, pulang-pulang bawa anak gadis orang. Di mana Wendi udah dikasih foto soal calon Erlang dan ternyata mereka mirip. Persis. Samudra: Kesimpulannya? Banyu: Wendi yakin yang Erlang bawa ini anak dari temen sosialitanya yang dihukum itu, tapi mungkin kabur dan dasarnya jodoh ketemu sama Erlang, dibawa pulang. Tapi posisinya Erlang belum tau siapa gadis ini, ya, kan? Banyu: Kesimpulan, Wendi minta masukan apakah dia harus ngasih tau Erlang soal siapa neng geulis itu sebenernya atau biarin aja, biar Erlang tau dengan sendirinya. Betul, Wendi? Wendi: Iya, betul, Bang. Intinya, aku harus kasih tau Erlang atau nunggu dia tau sendiri soal cewek ini? Toh, nanti malam mau ada acara ketemuan. Tapi entah jadi atau nggak karena ini anaknya, kan, ada di sini. Mungkin kalo iya kabur, orang tua Haifa pasti lagi sibuk nyari. Nah, satu lagi, perlu nggak aku kasih tau orang tua Haifa bahwa anaknya itu ada di sini? Wendi: Aku nggak mau salah ambil keputusan. Soalnya aku pikir, andai aku diem dan biarin supaya Erlang tau sendiri, itu mana tahu bisa jadi jalan supaya mereka dapet kemistri yang lebih alami. Aku tinggal jadi makcomblang aja. Wendi: Tapi di sisi lain, akan lebih mudah dan cepat buat Erlang menikah kalau aku langsung spill soal Haifa. Jaelani: Oalah ... namanya Haifa, toh. Jaelani: Saran, ya, Mbak. Rahasiain aja. Jaelani: Menikah lebih indah pas kita udah dapet kemistri. Jaelani: Asal pinter-pinter aja atur cara supaya mereka bisa saling naksir secara alami, padahal lagi dicomblangin di balik layar. Wkwk Altarik: Saya setuju. Dion: Tinggal minta kerja samanya sama orang tua pihak cewek. Beres. Banyu: Aing setuju. Samudra: Coba aja, Wen. Ide mereka oke juga. So? "Ya ampun, Papa!" Di tempatnya, Erlang, Haifa, dan Papa Chandra menoleh. Mendapati Mama Wendi yang tergopoh menghampiri. Saat baru saja katanya papa mau bicara kepada mereka, telah duduk bertiga. Eh, belum apa-apa, Mama Wendi menginterupsi. "Kenapa, Ma?" "Sini, ikut Mama!" Tergesa-gesa. Menarik paksa lengan papanya Airlangga. Well .... Haifa dan Erlang saling pandang, detik di mana Mama Wendi membawa Papa Chandra ke dalam kamar mereka. Dan dari tatapan Haifa seolah bertanya 'kenapa', Erlang balas dengan tatapan 'nggak tahu' di sana. Padahal tadi tampaknya sudah serius sekali, waktu Haifa keluar kamar, lalu bersitatap dengan beliau, disuruh duduklah di sofa tersebut, sedangkan Om Chandranya sendiri memanggil Mas Erlang--selepas meminta agar Haifa menunggu sebentar. Paham? Di saat Mama Wendi sibuk diskusi dalam grup chat keluarga, yang isinya khusus para orang tua saja--di kamar, sementara Papa Chandra tengah membuat forum di ruang keluarga. Nyaris. Betul-betul nyaris terlontar .... "Baru aja Papa mau bilang kalau mereka--" "Ssst!" Mama Wendi menekan jari telunjuknya di bibir suami. "Jangan dibahas. Udah, kita pura-pura nggak tau aja. Biar mereka punya kemistri alami!" Begitu katanya. Sampai malam tiba dan di tempatnya, Haifa digelayuti penasaran tak berujung, tadi Om Chandra mau bahas apa, ya? Sayangnya, tidak berani untuk mengangkat topik itu lagi. Sedangkan, Mas Erlang kayak nggak peduli. "Lho, nggak ikut pergi?" Iya, malam ini. Haifa telah melihat Tante Wendi dan Om Chandra keluar rumah tadi. Haifa pikir Erlang juga turut membersamai mereka. Namun, ternyata tidak. "Nggak. Saya nemenin kamu aja di sini." Dengan senyum manisnya. Ehm. "Galen ... anak Mas, mana?" Haifa mengalihkan topik berikut pandangannya. Ingat! Laki-laki ini sudah ada calon jodohnya. Jangan sampai terjadi hal-hal serupa jantung berdebar di sini, terutama jantung Haifa. "Oh, dia tidur." Erlang mengambil air, dia teguk langsung dari mulut botol. Melirik Haifa. Ngomong-ngomong .... "Mau ngapain ke dapur?" Ah, iya. "Mau minum juga," katanya. But, tidak menyangka bahwa ada Airlangga di sana. Berdiri menghalangi arah tujuan final Haifa untuk mengambil air minumnya. So, Erlang bergeser. Mempersilakan Haifa untuk itu. "Haifa." "Iya?" "Kamu ... sengaja, kan?" Eh? Sebentar. Maksudnya? Haifa berbalik, terkesiap sebab ternyata di belakangnya Erlang begitu dekat. Hingga hidung nyaris mencium d**a bidang gerangan. "Sengaja apa?" Agak tercekat, juga mendongak. Tentu, mundur selangkah. Kalau sedekat ini, kan, jadi gugup walau tidak ada istilah naksir-naksiran. Sialnya, di belajang ada kulkas. Haifa jadi stuck di situ. Dengan jarak sekian meter saja dari Airlangga. Malah mengambil langkah maju pula, Erlang membuat punggung Haifa mentok di kulkas. "Sengaja mau goda saya?" Kening Haifa kontan mengernyit. Wait! "Sekarang?" Kalau ini dibahas waktu di desa, Haifa akui iya, dia pernah sengaja menggoda. Dalam arti godaan yang tidak seduktif. Karena memang pernah terlintas dalam benak Haifa untuk lari dari perjodohan ke arah kehidupan laki-laki ini. Namun, saat tahu ternyata Erlang juga dijodohkan .... "Nggaklah." Gila. "Nggak, ya, Mas. Maaf sebelumnya. Aku bener-bener nggak ada maksud lain selain mikirin diri aku sendiri supaya bisa pergi dari desa itu dan bener-bener kayak ... spontan aja masuk-masuk ke mobil Mas Erlang. Karena aku mikirnya, ya, dengan itu aku bisa sukses pergi dari sana. Jadi, kalau sebab itu Mas ngira aku ngegoda, bahkan sampai terdampar di sini dan aku bersedia, salah banget. Tujuan aku bukan Mas Erlang. Apalagi aku tau kalau Mas itu dijod--" "Dad?" Ah, Haifa auto mingkem. Dia juga mendorong d**a Airlangga. Posisi tadi tidak bagus kalau ada yang memergoki, terlebih itu bagi anak sekecil ini. Yang Erlang hampiri dan dia gendong sambil dikecupnya pipi Galen. Seolah tidak ada adegan barusan, Mas Erlang pun berlalu membawa serta putranya. Oke. Kayaknya Haifa perlu menjelaskan situasinya agar Mas Erlang tidak salah paham. Bagaimanapun, tidak enak juga. Dan lagi, Haifa rasa dia tidak pantas di sini kalau-kalau nanti jodohnya Mas Erlang datang, kan, bisa jadi repot. Sekarang saja sudah repot. Benar. Dia-- "Kok, masih di situ?" Eh? "Sini!" Mas Erlang berseru. "Mulai ambil alih tugas kamu. Bacakan dongeng sebelum tidur buat Galen, ayo!" Di dalam kamar itu. Yang Haifa lihat, Airlangga juga masuk ke sana. Bahkan ketika Haifa menyusul, duduk di tepi ranjang, bersitatap dengan anak kecil putra Mas Erlang, beliau tidak beranjak. Malah ikut rebah bersama anaknya, lalu bertanya dengan nada memerintah, "Mana dongengnya?" Bentar. Ini yang mau didongengin anak atau daddy-nya, ya?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN