5. Nanny?

1548 Kata
"Betul. Baru-baru ini perusahaan diambil alih sama anak kami, tadinya dia dosen ... tapi, ya, mau bagaimana lagi? Selain Erlang, kami nggak punya anak lain soalnya, Mbak. Mau nggak mau dia jadi mau, kan, nerusin bisnis orang tuanya?" Mama Wendi yang bicara, kala di mana dia sedang ikut perkumpulan sosialita. Tentu, dulunya nggak gini. Namun, semenjak dapat wangsit soal perjodohan buat Erlang, dia jadi mencari-cari komunitas, bahkan bergabung di kalangan para istri pengusaha ini. Telah didapatkannya satu tiket menuju ranah jodoh-menjodohkan itu, rupanya ada seorang ibu yang tertarik menjodohkan anaknya juga, pas sekali. Wendi tinggal meningkatkan performanya dalam mempromosikan Airlangga. "Nah, ini anak saya." Mama Wendi bahkan menunjukkan foto sang putra. "Ganteng dan gagah gini masih belum menikah, Bu? Nggak yakin kalau sampai nggak laku dan mesti dijodohkan. Atau memang ada masalah dengan anaknya, Bu?" "Iya, kan? Saya juga nggak ngerti, Mbak. Tapi Erlang ini cowok tulen, kok. Soal masalah ... kapan hari dia emang bawa bayi ke rumah, nggak tahu bayi siapa, tapi dia ngaku-ngaku bayinya sendiri. Nggak mirip, nggak tau juga siapa ibu bayi itu, mungkin ini yang bikin Erlang susah dapat jodoh, Mbak." "Oalah ...." "Tapi saya yakin Erlang ini nggak macem-macem, Mbak, anaknya. Meski sekarang jatohnya jadi kayak duda anak satu, dari situ justru kelihatan bahwa dia sayang anak, sayang orang tua juga, dia manut waktu saya minta nerusin bisnis keluarga." Lawan bicara Mama Wendi tampak mengangguk-angguk di sana. "Jadi ... gimana, Mbak? Mau lanjut buat ngejodohin anak kita? Saya nggak masalah kalau putri Mbak tadi katanya produk gagal. Segagal apa pun, saya rasa itu hanya bentuk dari kekurangannya aja, sama seperti anak saya yang juga punya kekurangan." Seperti itu. Sampai pada kesepakatan tentang perjodohan bahwa anak-anak akan diketemukan nanti setelah putri ibu sosialita itu selesai masa hukuman. Konon, anaknya nakal. Mama Wendi tetap sudi menerima. Dia tampaknya sudah sangat pasrah akan Airlangga. Sementara, pada masa itu .... "Pa, kita jodohkan aja Haifa, ya?" Di kediaman keluarga konglomerat itu, saat Haifa telah diungsikan ke pedesaan. Tepat pada acara makan malam. Membuat tiga kakak Haifa kontan memandang mama mereka. "Kebetulan temen Mama itu istri pengusaha, terus cuma punya seorang anak aja, otomatis usaha itu alih ke anak tunggalnya. Bisnis permodelan gitu. Entertaint atau apa, ya, tadi? Lumayan, kan, kita? Bisa memperluas sayap bisnis." Papa Haifa berdeham. "Anaknya juga ganteng, kok. Nggak bakal bikin malu kita seandainya nanti menikah sama Haifa." "Ma!" Ini Deril yang bicara. Mendengar pembicaraan sang mama, agaknya dia tidak suka. Bagaimanapun Haifa adalah adiknya. Namun, tak bisa berkata-kata. Mama menunjukkan tatapan tajamnya. "Nanti kita bicarakan lagi," tukas papa, menyusut mulut dengan gerakan sangat elegan. Hingga akhirnya tiba hari ini, hari di mana ternyata ide mama Haifa disetujui. Dan di sana, di sebuah desa, setelah semalam papanya menelepon, bicara soal perjodohan, Haifa tidak bisa tidur hingga pagi menjelang. Ya Tuhan. Terbayang laki-laki tua berperut buncit, lalu anaknya, kemudian Haifa harus jadi bagian dari mereka di usianya yang belia ini. Eh, masih bisa dibilang belia tidak, sih, dua puluh empat tahun? Gini, gini. Bayangkan! Jikapun bukan soal fisik, tetapi bagaimana dengan karakternya? Bagaimana jika otoriter? Patriarki? Argh, nggak! Nggak bisa. Cepat-cepat Haifa pamit dari rumah itu dengan alasan jogging, tak membawa barang selain ponsel, entah mungkin ada mata-mata papa yang memantau dan tidak Haifa tahu. Pokoknya, selagi bisa, Haifa mau kabur bagaimanapun nanti lokasinya diketahui. Lari saja dulu. Terus begitu. Dan langkahnya membawa dia pada kediaman Airlangga. Ralat, saudaranya Mas Erlang. Terlihat ada mobil yang Haifa yakini itu milik Airlangga. Pintu tengahnya sedang terbuka, sementara orang-orang tampak sibuk di teras. Haifa sudah pasrah mau ketahuan atau tidak, pokoknya dia menyelinap masuk ke sana, pada jok paling belakang, lalu bersembunyi sebisa-bisa. "Iya, Pakde. Makasih, ya. Nanti Erlang sampein ke Om Jae dan yang lain." Sambil membawa tas besar untuk selanjutnya dimasukkan ke bagian tengah mobil. Bagasi penuh. Pakde Banyu membawakan banyak sekali buah tangan. Katanya, buat dibagikan ke keluarga Kesebelasan yang lain di kota. Ada Om Jaelani, Om Altarik, dan sebagainya. Oleh-oleh khas kampung. Khas pedesaan di dataran Sunda itu. "Telepon kalo udah nyampe sana, ya, Lang!" "Siap, Pakde." Pada pukul delapan pagi itu. Erlang pun pamit dan berlalu. Dia kemudikan mobilnya menuju ibu kota, pulang, dengan wajah Haifa terngiang-ngiang. Erlang menyalakan musik di mobil, mendengarkan lagu. Telah dia hubungi orang rumah bahwa hari ini dirinya on the way. Lama begitu. Erlang juga sambil bersenandung di beberapa waktu, hingga tak sadar bahwa ada penumpang lain di jok belakang. Haifa agak bersembunyi, sih. Rebahan. Kakinya dia tekuk meringkuk. Dengan detak jantung tidak konstan. Deg-degan. Sampai akhirnya mobil berhenti, entah sudah berapa lama, Erlang parkir di pekarangan rumahnya. Oh, sudah tiba. Haifa merasakan mobil yang henti melaju. Pun, suara musik yang berhenti juga. Ditambah suara-suara lainnya; Erlang sedang membuka sabuk pengaman. Tak berselang lama, lalu .... "Kita di mana, Mas?" Sepersekian detik, mendengarnya, mata Airlangga terbelalak sempurna. "Kamu--" Iya, Haifa Gayatri. Duduk di kursi belakang mobil Erlang dan-- "Daddy!" Oh, well .... Hari itu berlalu. Mereka bertemu; Galen, Mama Wendi yang menggendong putra Erlang itu, lalu Papa Chandra, dengan Haifa yang akhirnya Erlang selorohkan akan menjadi nanny di sini. Saat itu. "Nah, langsung aja kalo gitu, ya? Ma, Pa ... ini Erlang bawa pengasuh buat Galen. Biar kalau sewaktu-waktu Erlang ada proyek lagi, Mama sama Papa nggak begitu repot." Satu. "Oh, ya, namanya Haifa. Dan ... Haifa, ini orang tua saya. Ibu Wendi dan Pak Chandra." Berdeham sejenak. "Terus yang kecil dan menggemaskan itu ... Galen. Cucu mereka. Dan saya harap kalian bisa akur." Dua hal yang lalu terngiang-ngiang dalam benak Haifa; pengasuh dan ... masnya duda? Iya, Arilangga Cakra Gerhana. *** Jadi? "Apa?" Saat Erlang menunjukkan kamar untuk Haifa tempati. Bicara soal Haifa, Erlang belum mendengar mengapa gadis itu ada di mobilnya, dengan pakaian tidak siap bepergian pula, seolah Erlang yang telah melarikan anak gadis orang. "Apanya yang available, Mas?" Haifa to the point. "Daddy?" imbuhnya. Oh, iya. "Yang penting saya emang nggak ada istri atau pacar, kan? Cuma kalau terlibat perjodohan, iya. Dan belum sampai official." Haifa melupakan hal itu. Perjodohan, sejenak saja. Wah .... Dia juga lari ke mobil Erlang karena perjodohan. Lalu ponselnya sudah Haifa matikan. By the way, nggak buruk juga pada akhirnya berakhir di sini, meski agak syok saat tahu ternyata ada anak kecil yang menyebut daddy kepada Airlangga. "Erlang?" Dipanggil mama. "Nanti kita bicara," katanya, teruntuk Haifa. "Silakan gunakan kamar ini untuk sementara." Dan di situ Haifa lantas pijat-pijat kepala. Mondar-mandir di ruangan yang Erlang tutup pintunya, meninggalkannya. Bagaimana ini? Hal baik atau bukan, ya? Di satu sisi dia berhasil kabur, tetapi di sisi lain ... nggak enak jugalah, tiba-tiba jadi pengasuh dari anak sang duda yang otewe dijodohkan. Kalau nanti terjadi konflik berat, bagaimana? Contoh, jodohnya Mas Erlang cemburu pada eksistensinya. Namun, kalau nggak di sini, karena sudah telanjur datang ke kota, tanpa uang tanpa berani menghubungi keluarga, teman juga tidak mungkin--bahaya, bisa ketahuan dan ending-nya tertangkap papa. Ya Tuhan. Kepala Haifa mau pecah rasanya. Sedangkan, di kamar Galen. Bocah itu langsung menyongsong daddy-nya ketika Erlang memenuhi panggilan sang mama, juga mengikuti langkah gerangan ke sana. "Daddy lama sekali!" "Galen kangen, ya?" "Iya!" Memeluk Erlang, gelendotan di gendongan. Sementara, Mama Wendi memicingkan mata padanya. Erlang lalu berdeham. Galen bicara lagi. "Dad, Galen nggak nakal, kok. Iya, kan, Nek? Jadi Daddy nggak pellu kasih Galen pengasuh." Pelafalan huruf R-nya masih belum fasih. Erlang terkekeh. "Padahal, kan, lumayan buat teman main Galen biar nggak melulu sama kakek atau nenek." "No, no!" katanya. "Galen, kan, sebental lagi mau punya mommy. Nenek yang bilang. Betul, kan, Nek? Jadi, buat apa pengasuh?" "Tuh, Galen aja ngerti!" tukas Mama Wendi. Tapi ngomong-ngomong .... Mereka mirip. Gadis yang Erlang bawa itu ... mirip. Sebagaimana isi pikiran Airlangga, menatap Mama Wendi untuk kemudian berkata, "Mama ngerasa apa yang Erlang rasa, ya?" Bertatapanlah mereka. "Kayak Galen, kan?" Bocah empat tahunan itu bersandar nyaman di d**a Erlang. Tidak paham apa yang dibicarakan. Saat Erlang ucapkan, "Mereka sekilas kayak pinang dibelah dua." Adalah detik di mana Mama Wendi membeku di sana. Maksudnya, ibunya Galen ... begitu? Yang tak dapat dia suarakan, setidaknya tunggu sampai Galen terlelap. Perihal anak gadis bernama Haifa, pengasuh Galen mulai hari ini katanya ... mata Mama Wendi sampai memicing. "Oh, ya, jam berapa ketemuannya, Ma?" Alasan mengapa Erlang pulang hari ini. Dipaksa mama. Sebab akan ada pertemuan keluarga antara dia dengan calon jodohnya. Soal itu .... "Nanti malam, habis isya. Tapi, Erlang, kalau maksud kamu gadis tadi ada kaitannya sama Galen ...." Pelan sekali. "Perjodohannya?" Iya, bagaimana? Jika dan hanya jika tujuan utama Erlang membawa Haifa adalah untuk menunjukkan siapa ibu dari bayi merah yang dulu pernah Mama Wendi pertanyakan, maka apa kabar dengan rencana perjodohan yang sudah sangat matang? Bahkan sudah dijadwal malam ini bertemu, termasuk dengan putri mereka itu? Sebentar. Wendi rasa ini bukan tentang kemiripan Haifa dengan Galen yang tadi mampir di benak, melainkan soal betapa miripnya Haifa yang Erlang bawa dengan sosok yang pernah Wendi lihat di foto ... calon jodoh Erlang. Rasanya, dia harus memastikan. "Sebentar!" Demikian, Mama Wendi keluar kamar. Yang Erlang pandangi, lalu dia fokus pada Galen lagi. "Daddy ...." Oh, tidak tidur ternyata. Galen bicara, "Kalau sudah punya mommy, apa Galen juga bisa punya adik?" Sedangkan, di luar kamar. Haifa sedang dipindai. Tahu? Sorot mata mama Mas Erlang begitu teliti, dari atas ke bawah, ke atas lagi dan jatuh lama di wajah. Benar-benar ... dia terjebak di sini.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN