"Tu Rooh Hai Toh Main Kaaya Banoon ...." (*)
Bila kau adalah ruh, maka aku akan menjadi jasadmu
"Taa-Umr Main Tera Saaya Banoon ...."
Aku akan menjadi bayanganmu seumur hidupku
"Kah De Toh Ban Jaoon Bairaag Main ...."
Jika kau berkehendak maka aku akan menjadi kerinduanmu
"Kah De Toh Main Teri Maaya Banoon ...."
Jika kau berkehendak maka aku akan menjadi ilusimu
"Tu Saaz Hai ... Main Ragini ...."
Kaulah alat musik, akulah melodi
"Tu Raat Hai ... Main Chandni ...."
Kaulah malam, akulah sinar rembulan
Akhirnya ia bisa melanjutkan nyanyian yang kerap didengarnya dalam mimpi malamnya. Chandni bersenandung sambil melangkah di jalan setapak dalam hutan. Merasakan Imdad senantiasa mendampingi di setiap langkahnya. Chandni menyiagakan panah di tangannya, karena banyak makhluk astral yang seliweran mengintai.
Chandni dikejutkan kemunculan seekor rusa betina yang tiba- tiba di tengah jalan. Matanya membulat mengenali rusa itu memiliki bekas luka di bagian p****t. Rusa yang pernah selamat dari buruannya. Rusa itu menggerakkan kepala dengan santai. Chandni menurunkan busurnya, mendekati rusa itu lalu mengusap pundak dan lehernya perlahan- lahan. "Kau mengenaliku, rusa?" tanyanya.
Rusa itu menunduk, menyapukan dahi ke lengannya. Chandni balas mengusap dahi si rusa. Chandni tertawa kecil. "Oh, ya, kau memang mengenaliku. Aku kemari mencari jiwa suamiku. Kau melihat makhluk yang menahannya, bukan? Apa kau mengenalinya?"
Tidak secara spesifik, kecuali bahwa makhluk berkekuatan dahsyat itu adalah jin udara. Hanya itu yang disampaikan si rusa. Chandni menepuk- nepuk pundak rusa yang menghidu tubuhnya. Ia memandang berkeliling. Ada banyak jenis jin darat dan air di dalam hutan, selain arwah penasaran. Ia yakin salah satu dari mereka mengetahui siapa jin udara misterius itu. Chandni pun melanjutkan langkahnya memasuki hutan lebih dalam. Rusa tadi berkeliaran mencari makan tidak jauh darinya.
Hingga senja tiba, matahari tenggelam dan kegelapan pekat akan segera meliputi hutan. Chandni tiba di air terjun di mana dekat situ ada gua miliknya bersama Tuan Imdad. Menggunakan kayu ranting yang dikumpulkannya di sepanjang perjalanan, Chandni masuk ke dalam gua itu dan menyalakan api unggun.
Segala yang diketahuinya mengenai kehidupan di alam terbuka adalah hasil latihan dari Tuan Imdad. Berada di sana, dalam gua itu, Chandni terkenang semua kisah cintanya dengan Imdad. Seorang diri di sana, memandangi lidah api meliuk- liuk, terbayang saat percikan itu memantul di mata kelam Tuan Imdad. Betapa bergetarnya sekujur tubuhnya mendapat tatapan itu. Tatapan sang pemburu yang menaklukkannya. Di sana, semua yang pernah mereka lakukan direka ulang. Semua sentuhan, desahan dan debaran terasa sangat nyata.
Chandni merasakan sangat sakit dalam dadanya. Air matanya menetes tanpa bisa dibendung. Ia menangis tetapi bibirnya tersenyum. Dalam penglihatanya, Tuan Imdad, setengah berbaring di sebelah api unggun, memandanginya, meledeknya, "Apakah aku adalah orang itu, Chandni?"
Pemilik mata yang memikat hati.
Yang menyebabkan hatinya bergetar.
Yang menyebabkan cairan manisnya tumpah.
Yang mengambil alih kedamaian dan tidur malamnya.
"Ya, kau adalah orangnya," lirih Chandni terisak, lalu membenamkan kepalanya di lutut dan menangis semakin keras.
***
RAJPUTANA baru kembali dari perjalanan saat senja itu. Mendengar berita Chandni sadar dan pergi ke hutan, Rajputana sangat khawatir. Secepatnya ia ke Sanggar Mohabbatein.
Di sana ia mendapati Sarasvati dan penghuni sanggar lainnya menggelar doa untuk keselamatan Chandni. Thoriq dikirim ke rumah Saif Ali, ayah Imdad. Rajputana berbicara dengan Sarasvati di ruang tengah paviliunnya.
"Kenapa Bibi tidak mencegah Chandni pergi?" cecar Rajputana.
Sarasvati mengatupkan kedua telapak tangan, menggoyang kepala memelas pada Rajputana. "Maafkan hamba, Maharana. Sepanjang hidup saya, saya tidak pernah bisa menghentikan Chandni melakukan apa yang ingin dilakukannya. Apalagi dia pergi dengan penuh semangat. Jika Anda melihat raut wajahnya sangat bahagia bagaikan menemui kekasihnya, apakah Maharana tega menghentikannya?"
Rajputana menggeleng kuat, rahang terkatup, berujar gusar. "Dalam penglihatanku sangat jelas makhluk yang dikejar Chandni tidak mengambil jiwa Imdad. Makhluk itu memalsukannya untuk menjebak Chandni. Imdad sudah meninggal dengan cara yang wajar. Ia tidak akan gentayangan seperti jiwa tersesat. Imdad- ku memiliki jiwa murni dan selalu dalam lindungan Allah. Ia tidak akan membiarkan makhluk rendahan memiliki jiwa Imdad. Imdad sudah berada di surga dan tidak mungkin ia hidup kembali."
"Bagaimana Maharana bisa yakin?" tukas Sarasvati, meragukan argumen Rajputana. Bagaimana pun ia ingin mempercayai bahwa jiwa Imdad bisa kembali agar hidup bersama Chandni dan anak mereka. Sudah cukup derita dan kesedihan mereka dilihatnya.
Rajputana kalut sehingga ia membentak Sarasvati. "Pokoknya aku tahu!" Rajputana sedikit terkejut ia lepas kendali dan membuat Sarasvati ketakutan. Ia menghela napas dalam lalu berkata lebih pelan pada wanita tua itu sambil memunggunginya. "Jika ada jiwa Imdad gentayangan di alam fana ini, aku yakin ia sudah mendatangiku karena telah mengambil istrinya."
Sarasvati tidak mendebatnya lagi. Ia berucap getir. "Apa pun, saya yakin Chandni melakukan hal yang benar. Jika pun makhluk itu tidak memiliki jiwa Tuan Imdad, setidaknya Chandni pasti bisa memusnahkannya agar tidak mengganggu siapa pun lagi."
Rajputana menautkan tangannya ke belakang, mendengkus keras beberapa kali. Memikirkan perasaan Chandni dan risiko yang diambilnya. Jika ia memerintahkan pengawal istana ke hutan dan menjemput Chandni, makhluk gaib itu bisa jadi menjauh. Yang ada hanya akan membuat Chandni marah dan merasa gagal lagi. Ia tidak sanggup melihat Chandni dalam kekalutan yang tidak berujung. Satu- satunya jalan adalah membiarkan Chandni menyelesaikan misinya. Mungkin mempelajari jenis makhluk apa yang mempergunakan Imdad sebagai umpan. Atau mungkin menemukan petunjuk lainnya, yang jelas Chandni punya sesuatu untuk dikejarnya agar tidak terperangkap dalam duka mendalam.
Vijay datang melapor padanya. "Yang Mulia, kuda dan senjata Yang Mulia sudah siap!"
"Ya, aku akan segera keluar," sahut Rajputana dingin. Vijay berdiri tegap menunggu titah.
Mendengar ucapan Rajputana, Sarasvati keheranan. "Maharana ... Maharana hendak pergi ke mana?"
Rajputana mengeratkan sabuknya yang menyangga pedang, memasang sarung pelindung tangan sambil berujar pada Sarasvati. "Saya akan menyusul Chandni ke hutan." Ia lalu menatap tajam pada Vijay dan berujar tegas. "Selama aku dan Chandni belum kembali, jangan ada satu pun dari kalian memasuki hutan, apa pun yang terjadi kecuali salah satu dari kami keluar atau sudah lebih dari 14 hari."
"Kenapa mesti 14 hari, Yang Mulia?" tanya Vijay.
"Karena itu berarti kami berdua sudah mati. Jika itu terjadi, maka ayahku akan menjadi raja kembali dan menobatkan Thoriq sebagai putra mahkota. Ia akan menjadi raja meneruskan kedudukanku. Ayah Imdad dan ayahku sudah pasti mendukungnya. Kau, Vijay akan menjalankan tugas seperti ayah Thoriq dahulu. Memastikan kerajaan ini dan pemimpinnya terlindungi."
Vijay melakukan hormat penuh pada rajanya. "Siap, Yang Mulia!"
Rajputana pamit pada Sarasvati. "Saya permisi, Bibi. Khuda hafiz!"
Sarasvati bersalut menyentuh kening mengucap salam untuk Rajputana. "Khuda hafiz!"
Rajputana bergegas keluar. Kudanya menanti di depan rumah. Pelana terpasang beserta busur dan anak panah serta sebuah lampu minyak sebagai penerangan. Rajputana menaiki kuda hitam itu dan menyentak kekangnya. "Hiya!" Kuda berlari membawa Rajputana meninggalkan sanggar.
Rajputana menghilang dalam kegelapan. Cahaya lampu tidak seberapa menerangi malam gelap pekat itu, akan tetapi ia melintasi medan sepi dan berbahaya tanpa sedikit pun rasa gentar. Pemandunya hanya satu. Cintanya ada di dalam sana dan bagaimana pun ia akan selalu berada di sisinya, mendampinginya menghadapi segala aral.
"Chandni, tunggu! Aku segera datang!"