CSD 10. Ke Sungai°

1806 Kata
Saat berpadu raga dan hati dengan Rajputana, Chandni mendengar suara merdu seorang laki- laki seakan bernyanyi di telinganya. Suara yang membuatnya terbuai tenang. Suara yang dirindukannya, tetapi tak dapat dijabarkan wujud dan rupanya. "Sapna Jahan Dastak Na De ....” (*) Dulu dunia mimpi enggan mengetuk "Chaukhat Thi Woh Aankhen Meri ...." Di ambang pelupuk kedua mataku "Baaton Se Thi Tadaad Mein ... Khamoshiyan Zyaada Meri ...." Dulu kebisuanku terhitung lebih banyak daripada tutur kataku "Jabse Pade Tere Kadam" Namun sejak engkau melangkahkan kaki masuk ke dalam hidupku "Chalne Lagi Duniya Meri ...." Duniaku mulai kembali berputar "Mere Dil Mein Jagah Khuda Ki Khaali Thi ...." Dulu terdapat ruangan kosong untuk seorang dewi di dalam hatiku "Dekha Wahan Pe Aaj Tera Chehra Hai" Kini di sana terlihat wajahmu "Main Bhatakta Hua Sa Ek Baadal Hoon ...." Aku bagaikan sepotong awan pengembara "Jo Tere Aasmaan Pe Aake Thehra Hai ...." Yang kemudian datang dan singgah di langitmu .... Chandni pun terlelap dalam dekapan Rajputana. Rajputana sejak dulu dimabuk cinta pada Chandni dan ia bisa saja berlama-lama menyenggamai selirnya itu. Namun, adanya Thoriq di sisi mereka, membuat Rajputana waswas Thoriq marah karena ia melakukan hal yang biasa dilakukan ayahnya pada Chandni. Ia mungkin akan kehilangan kepercayaan anak itu. Begitu menjelang subuh, Rajputana beranjak dari sisi Chandni, mandi wajib untuk persiapan salat Subuh. Chandni terbangun pagi seperti biasa, mendekap selimut menutupi tubuh telanjangnya. Ia tengkurap di ranjang, tersenyum memperhatikan Rajputana yang sedang khusyuk berdoa. Ketika Rajputana selesai, ia menegurnya. "Apa yang Tuanku doakan sehingga bercahaya begitu indah?" Rajputana tergagap sesaat. Ia berdoa untuk Imdad, tetapi tidak bisa menjelaskannya pada Chandni karena takut membuatnya sedih. "Untuk kebahagiaan kita, sayang," jawabnya sambil menyunggingkan senyum tipis. Meletakkan sajadahnya di nakas, Rajputana mendatangi Chandni, duduk di tepi ranjang dan mengecup keningnya, lalu bibirnya. "Tidurmu nyenyak?" "Sangat," jawab Chandni lalu terkikik geli Rajputana mencumbu selangkanya, menghirup aroma campuran keringat percintaan yang telah meresap di tubuhnya. "Mandilah, sebelum Toru bangun. Aku akan menjaganya." "Baik, Tuanku." Chandni bangun dan beringsut turun dari ranjang, kemudian berlari kecil melintasi kamar, tersenyum malu- malu sambil menahan sehelai kain yang membungkus tubuhnya. Belum selesai Chandni mandi, Thoriq bangun, mengucek- ngucek mata sambil duduk dan bersuara merengek. "Amma ...." "Sshht, shhht ...." Rajputana lekas menggosok pundak anak itu berusaha menenangkannya. Ia membisiki Thoriq. "Amma-mu sedang mandi. Jangan khawatir, ada Baba Raj di sini." "Baba Raj ... mau pipis," ujar Thoriq. Rajputana dengan sabar menggendong anak itu lalu membawanya ke belakang rumah dan menemaninya pipis. Udara segar pagi, sejuk berembun. Rajputana lalu berkata pada Thoriq. "Bagaimana jika Baba membawamu ke sungai. Kita mandi di sana." Thoriq langsung melonjak- lonjak dan berseru riang. "Horee! Ya, Baba Raj, Toru mau ke sungai!" Rajputana menggendong Thoriq dan mengambil kudanya di istal. Ia berpapasan dengan Sarasvati yang berada di dapur sanggar dan berpamitan pada wanita tua itu. "Bibi, saya mau ke sungai bersama Toru." Sarasvati senang sekali mendengar hal itu. Apalagi Thoriq sangat gembira. "Ya, Yang Mulia, tetapi jangan lama- lama, biar sempat menikmati makan pagi yang hangat." "Baik, Bi!" Rajputana lalu memacu kudanya meninggalkan sanggar. Chandni sudah selesai mandi, tidak menemukan Thoriq dan Rajputana. Ia bergegas berpakaian dan berdandan, lalu mencari bibinya. "Ke mana Maharana dan Mahaputra Toru?" tanyanya. Sarasvati sedang sibuk mengaduk kuah santan, menjawab Chandni tanpa menoleh. "Mereka ke sungai dan mungkin mandi di sana." Chandni terdiam, merasa sedikit cemas, tetapi karena ia harus memimpin nyanyian pagi, Chandni ke balairung dan membantu persiapan di sana. Melihat Rajputana dan Thoriq kembali sesaat sebelum acara dimulai, Chandni merasa lega. Ia bersiap menyambut anak itu turun dari kuda. Thoriq berkicau riang. "Chandni, kami berenang di sungai! Sangat seru!" Chandni menggendong anak itu dan mencubit hidungnya. "Oh, ya? Kenapa tidak mengajak Chandni? Chandni juga suka ...." Mendadak terdiam, lalu sorot matanya kosong dan bergumam sendiri. " ... berenang ...." Rajputan turun dari kuda seraya menimbrung. "Kalau begitu besok kita bersama- sama ke sungai. Pasti jadi lebih seru." Chandni mengerjap- ngerjapkan mata tersadar mendengar suara Rajputana. Ia buru- buru menyembunyikan kecemasannya. "Ah, iya, Tuanku, tetapi sepertinya tidak bisa. Chandni harus menyiapkan pemujaan pagi dan sarapan." Rajputana menyahut sambil lalu meledeknya. "Ya, ya, kapan saja kalau kamu tidak sibuk, Chandni." Sarasvati membawa Thoriq untuk berpakaian. Rajputana juga mengganti pakaiannya karena ia harus ke istana. Suara Chandni berdendang menjadi penyemangatnya. Selesai pemujaan, mereka makan bersama layaknya sebuah keluarga. Thoriq makan sangat lahap karena merasakan lagi suapan tangan ibunya. Rajputana yang suka bermanja- manja pada Chandni, tidak mau kalah. Juga minta makan dari tangan gadis itu. Dalam suasana berbahagia itu, Chandni selalu gembira menjalani hari- harinya. Mengurus Thoriq, melayani Rajputana, kesibukan di sanggar, menjadi rutinitas Chandni. Ia tidak ada waktu melamun dan kosong pikiran. Rajputana juga semakin sering bersamanya dan percintaan mereka menjadi semakin intens. Thoriq diberi kamar sendiri agar Rajputana lebih leluasa bermesraan dengan kekasihnya. "Mere- Chandni," desah Rajputana setiap kali dalam sentuhannya, bagai untaian napas selama jantungnya masih berdetak. "Haan, mere- Raj ...," balas Chandni menyambut percikan api cinta sang raja. "Aku mencintaimu dengan seluruh hidup dan matiku." Perilaku Rajputana yang kerap bersama satu selir saja, menimbulkan kecemburan serta cercaan banyak pihak. Semua keberhasilan Rajputana membangun negerinya dipandang sebelah mata. Mengingat kejadian pada klan Chaudori membuat pejabat- pejabat lokal tidak berani mengganggu- gugat kesenangan Rajputana. Akan tetapi ada satu orang yang tidak dapat menahan diri karena sangat benci pada Chandni, yaitu saudara tiri Chandni. Veronica Lanchester. Gadis itu datang ke sanggar di kala sepi dan ia melabrak Chandni. Chandni dan Thoriq sedang duduk- duduk di taman. Kedatangan Veronica yang tiba- tiba di saat ia sedang mengasuh Thoriq membuat Chandni kebingungan. "Wanita ja.lang dan tidak punya hati! Sudah puas kau menyakiti hati semua orang, bahkan Imdad yang mencintaimu mati- matian?" cerca gadis itu. "Si- siapa kau dan apa yang kau bicarakan?" tanya Chandni gelagapan. Thoriq turun dari pangkuannya, berdiri tegap dan merengut pada Veronica. "Aunty Vero, kenapa memarahi Amma Toru?" "Karena ibumu sangat egois dan mengkhianati ayahmu dengan menikahi sahabat karibnya." Ucapan itu menghunjam bagai tombak tepat di jantung Chandni. Ia meringis menekan debaran dadanya. "Nahin hai! Itu tidak benar!" teriak Thoriq. "Amma sayang dengan Baba. Baba Raj menjaga Amma dan Toru sementara sebelum Baba pulang." Veronica marah- marah sambil menangis. "Baba-mu tidak akan pulang. Ia juga tidak akan berkumpul dengan kalian lagi tidak di dunia ini, maupun di surga kelak karena Amma-mu sudah memutus hubungan dengannya. Ia menikahi pria lain karena dia tidak tahan sendirian. Ibumu adalah wanita yang tidak berbakti pada suami dan tidak punya cinta kasih yang tulus. Dia egois dan penuh kepalsuan." Penglihatan Chandni menggelap dan kepalanya terasa berputar. Cahaya sangat terang menghantam kepalanya dengan keras. Ia melihat wujud pria tampan berselubung sosok serigala bependar keperakan mengulurkan tangan ingin mengajaknya pergi ke suatu tempat, akan tetapi sosok berwujud manusia memesona nan agung, berambut panjang berwarna perak mengambil pria itu dan membawanya pergi. Ia tidak berdaya karena kekuatan wujud astral itu sangat dahsyat. Dentuman keras terjadi pada tubuhnya, menghancurkan bayi dalam kandungannya, menghancurkan sumsumnadi kekuatan cakranya. Namun, cakra Rajputana memberikan perlindungan pada cakra intinya sehingga ia bisa selamat, meski raga dan jiwa luluh lantak. Chandni ingin meratap, tetapi ia tidak punya tenaga lagi. Chandni terkulai lemas di tanah, membuat Thoriq berteriak menangis keras. "Amma .... Amma ...." Veronica tersentak, tetapi tidak sedikit pun ia gentar ataupun iba pada Chandni. Ia yakin Chandni pantas mendapatkannya. Perempuan itu sudah terlalu lama enak- enakkan. Orang- orang yang mendengar suara itu bergegas berdatangan, termasuk Sarasvati. Melihat keadaan Chandni, ia terperangah dan buru- buru menyuruh orang mengangkat Chandni ke rumahnya. Ia menggendong Thoriq yang terus menangis dan menyempatkan menegur Veronica. "Anda sudah mendapatkan apa yang Anda inginkan, bukan? Sebaiknya Anda pergi dari sini sekarang juga sebelum Maharana mengetahui perbuatan Anda. Maharana tidak akan merelakan seorang pun menyakiti Chandni." Veronica membisu dan berbarengan Sarasvati meninggalkannya, ia juga berbalik dan pergi dari tempat itu. Pesuruh sudah dalam perjalanan memanggil Tabib Salman. Chandni dibaringkan di kamarnya, masih tidak sadarkan diri meski sudah dipijat dan diolesi minyak terapi. Sarasvati semakin panik ditambah Thoriq yang tidak mau berhenti menangis karena ketakutan melihat Amma-nya akan seperti Baba-nya yang tidak bangun-bangun. Mendekap anak itu, Sarasvati terduduk di sisi ranjang Chandni. Ia meraih tangan Chandni dan menangisinya. "Chandni, anakku. Kumohon, sadarlah .... Jangan tinggalkan kami seperti ini. Ya Dewa ... bantulah Chandni, berilah Chandni kekuatan. Kasihanilah anakku dan bocah tidak berdosa ini ...." Dalam kondisi tidak sadarkan diri, Chandni meninggalkan tubuhnya. Ia menyaksikan semua kejadian dan terenyuh melihat Bibi dan putranya. Sedikit sesal dalam dirinya telah membuang waktu sekian lama untuk sadar dari traumanya, akan tetapi di satu sisi memasrahkan diri karena bagaimana pun kondisinya sangat lemah saat itu. Pikiran kacau dan tubuh cedera parah. Namun sekarang ia sudah pulih seutuhnya. Ia menatap telapak tangannya yang bercahaya terang, serta cahaya menyilaukan keluar dari puncak kepalanya bagaikan mercu suar. Chandni telah mendapatkan ingatannya kembali, seluruhnya, juga kekuatannya. Chandni menurunkan tangannya, kembali menatap Bibi dan putra semata wayangnya. Dia tidak akan membiarkan orang- orang di sekitarnya bersedih lagi. Chandni kembali ke tubuh fananya. Chandni membuka mata dan bangun dengan tenang. Sarasvati berhenti menangis sementara Thoriq terisak sesenggukan. "Amma ...," lirih anak itu. Chandni tersenyum lembut, menarik Thoriq dan mendekapnya erat seolah lama tidak bertemu. Ia mengusap rambut Thoriq seraya mengalirkan cakra menenangkan anak itu. "Jangan menangis lagi, anakku. Amma sudah kembali dan akan terus menyayangimu selamanya." "Amma ...," sahut Thoriq dengan suara lebih gembira sambil balas memeluk ibunya. Sarasvati terperangah takjub. Ia menggenggam tangan Chandni dan menatap lekat. "Chandni ... kamu ... apa kamu sudah ingat ... semuanya?" Chandni tersenyum penuh keyakinan, menatap balik bibinya dengan sorot tajam, mengusap rambut Sarasvati yang memutih sambil berujar, "Ya, Bibi. Chandni sudah ingat semuanya." "Ohh, Dewa ... puji syukur...." Sarasvati berucap sambil berlinang air mata bahagia. "Maaf sudah merepotkan Bibi." "Tidak, Anakku. Apa pun akan kulakukan demi kesembuhanmu." Chandni turun dari ranjang, berdiri tegap sambil menggendong Thoriq. Ia mengecup kening Thoriq, lalu menurunkannya agar berdiri sendiri. Chandni menuju lemari pakaiannya dan meraih sebuah benda di atas lemari kayu itu. Anak panah dan busur yang pertama kali dimilikinya. Hadiah dari pria yang sangat dicintainya, Tuan Imdad. Chandni menarik- narik tali busur, memeriksa daya tahan senjata itu lalu memasang sarung anak panah ke punggungnya, beserta ibu panah. Sarasvati merangkul Thoriq. Rasa cemasnya merayap lagi. "Chandni ... apa yang hendak kau lakukan?" Gadis itu memutar tubuh, berdiri tegap dengan raut wajah berseri- seri penuh percaya diri seperti di saat ia menjadi prajurit khusus Tuan Imdad. Ia berujar pada bibinya. "Ada makhluk astral yang menahan jiwa Tuan Imdad, Bibi. Chandni akan pergi membasmi makhluk itu dan menyelamatkan Tuan Imdad." Sarasvati tergamam. Chandni membungkuk pada putranya. Ia menatap lekat wujud muda titisan sang ayah itu. "Amma akan menjemput Baba, Toru. Tunggulah dengan sabar dan pintar- pintar ya, Nak!" Thoriq mengangguk tegas. "Haan, Amma! Bawa pulang Baba. Khuda hafiz!" Chandni tersenyum menampilkan lekukan dalam di kedua pipinya, mengangguk pada sang anak, lalu berlari kecil meninggalkan kediaman, menuju hutan di belakang sanggar.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN