9. Shiro

1675 Kata
"Tutup mulutnya, Sayang, atau lidahku akan masuk..." ─Ayana─ *** Lalu ketika hari ini Anta bertanya, kenapa Ayana harus memilihnya, bagaimana dia bisa menjelaskan bahwa Anta adalah segalanya baginya? "Hei? Kenapa melamun?" tanya Anta, menoel pipi Ayana dengan telunjuknya. Ayana memeluk Anta, tersenyum. "Aku mencintaimu." Anta tersenyum kecil dengan pernyataan tiba-tiba Ayana. "Aku lebih mencintaimu." Menyadari mungkin Ayana sedih karena proposal pernikahan Isa, dia menambahkan, "Jangan khawatir, Isa nggak akan bisa menikahimu. Dia harus melangkahi dulu mayatku." Ayana terkikik. "Kayak naskah di program radio." "Aku serius, loh ini." Ayana mengecup pipi Anta gemas. "Aku tahu. Tapi aku masih khawatir soal merawat Bayu." "Tenang, aku akan ajarkan semuanya tentang anak-anak. Apalagi ini anak laki-laki. Itu lebih mudah ditangani." "Benarkah?" "Benar. Tapi ada biaya untuk les private ini." Ayana merangkul leher Anta, menyeringai. "Satu kecupan untuk satu tips." "Huh! Betapa murahnya!" "Aku bisa lakukan lebih, tapi nanti kamu menolakku lagi. Apa kamu bilang waktu itu? Ah, ya, 'nggak ada lebih sebelum pernikahan'." Anta merengut. "Menyesal?" Anta melepas rangkulan Ayana. "Oh, di mana ponselku. Aku harus menghubungi kenalanku di KUA. Astaga aku lupa, harus menunggu dua bulan lagi." Ayana melompat ke punggung Anta, tertawa. "Pacarku adalah pria termanis di dunia!" Anta mendengkus, tapi menahan kedua paha Ayana agar gadis itu tidak jatuh dari punggungnya. "Kamu baru tahu?" Ayana menempelkan pipinya ke pipi Anta. "Sudah tahu sejak lama, tapi baru mau bilang." "Dasar!" *** Keesokannya, Anta mengetuk pintu kontrakan Ayana. Setelah dua ketukan, pacarnya muncul hanya dengan handuk di badan. "Masuklah, aku belum beresin pakaian. Bisa bantu aku?" Anta geleng-geleng kepala melihat kelakuan Ayana. "Aya-ku sayang, apa kamu nggak bisa pakai baju dulu sebelum bukain pintu? Entar kalau di rumah Isa kebiasaan kayak gini, gimana?" Ayana bahkan berganti baju di depan Anta tanpa malu, sementara pria itu langsung balik badan, pura-pura fokus merapikan pakaian Ayana ke koper, padahal sesekali melirik ke belakang. Anta berusaha menahan hasratnya untuk tidak langsung menerkam gadis itu saat ini juga. "Tenang, dia bukan tipe yang kayak gitu." "Kenapa kamu yakin banget?" Ayana merenung. Iya, ya, kenapa aku sangat yakin kalau Isa nggak akan kayak gitu? Dia kan juga cowok yang punya nafsu? Setelah memikirkan sejenak, Ayana bilang, "Meskipun aku telanjang di depannya, eksrpesi dia nggak akan berubah. Dia itu gunung es." Ayana sedikit tertawa di akhir kalimat. Anta merasakan sesuatu yang aneh saat Ayana menertawakan pria lain. Sebelumnya dia tidak pernah peduli bahkan jika pacarnya itu dekat dengan Billy atau Rasya, karena dia tahu dan percaya kalau Ayana hanya akan menatapnya. Sekarang, kekasihnya berbicara tentang pria lain dan seolah telah mengenalnya sejak lama. Dia belum menemukan kata sifat yang bisa menjelaskan perasaan gelisahnya ini. "Tetarium dibawa juga?" tanya Anta, mengganti topik yang membuat hatinya berdenyut tidak nyaman. "Bawa dong, aku dengar, Isa takut sama Shiro." Ayana mulai membayangkan ekspresi ketakutan Isa, dan kembali tertawa. “Aku nggak sabar pengen lihat ekspresinya.” Anta diam saja. Dia hanya mengepak koper Ayana ke mobil, mengabaikan perasaan tidak nyamannya. Pria itu membawa juga tetarium mini yang telah ditutupi kain hitam. Ayana keluar kontrakan, memakai gaun putih di atas lutut, dengan sayap kecil di punggung. Itu kostum dari terakhir kali dia jualan di jalan untuk promo produk klien radio. Berjalan anggun dengan pansus, dia tersenyum manis, lalu berbisik ke telinga Anta, "Tutup mulutnya, Sayang, atau lidahku akan masuk." Anta mendengkus, lalu tertawa kecil. Dia membukakan pintu mobil untuk gadis itu. "Kamu cantik." "Aku tahu." *** Mobil Anta berhenti di bangunan mewah satu lantai. Dia bergegas membawa tetarium, dan berjalan di belakang Ayana yang membawa koper. "Sampai sini aja. Kamu masih harus ke kampus, kan?" Anta mengangguk, lalu mengecup kening Ayana. "Aku pergi dulu." Aksi mereka dilihat oleh Bayu yang saat itu jalan-jalan pagi di taman depan teras rumahnya. Keduanya dilihat pula oleh Isa yang duduk di teras sambil menyeduh teh hijau. Pria itu memuncratkan teh yang akan dia minum saat menyadari putranya juga melihat adegan ini. Ayana memasang senyuman lebar, mendekati Bayu. "Hai, BayBay, apa kabar?" Bayu mundur selangkah, lalu menoleh ke belakang, teriak, "Daddy!" Isa bergegas ke taman depan. Mendatangi Bayu. Bayu meraih tangan Isa, bersembunyi di belakang punggung pria itu. "Rambutnya terbakar, Daddy. Cepat ambil air." Ayana cengok di sana, antara ingin menangis atau tertawa. Mengibaskan rambut merahnya, dia berkata dengan lembut, "Sayangku BayBay, ini model rambut yang lagi ngehits di dunia mode. Bukan karena terbakar." Bayu sedikit melongok ke Ayana, tapi masih memegang tangan Isa. Isa merasa geli dengan perkataan Ayana, tapi ekspresinya tetap tidak berubah. "BayBay? Siapa BayBay?" tanya Bayu. "Kamu. Tante sangat sayang sama Bayu, jadi pakai nama panggilan kesayangan 'BayBay'. Boleh, kan?" Ayana berbicara semanis mungkin, padahal sudah hampir hilang kesabaran dengan tingkah takut Bayu terhadapnya. Apakah dia sangat menakutkan? Si kembar adik Anta saja sangat menyukainya sejak pertama bertemu, karena kata mereka, dia cantik. Pasti ada yang salah dengan mata Bayu. Ah, itu mungkin karena Bayu adalah anak Isa, jadi bibit-bibit menyebalkan mengalir di darah Bayu. Dengan pemikiran itu, Ayana melirik sinis Isa. Isa berdeham pelan, melirik koper di tangan kanan Ayana, dan kotak tertutupi kain hitam di tangan kiri gadis itu. Dia mengernyit. Ayana menghela napas melihat Isa dan putranya hanya diam menatapnya. "Baiklah, BayBay, coba tebak, Tante siapa?" Ayana mengibaskan gaun putihnya, tersenyum sangat cantik. "Daddy, apa namanya yang kalau pakai baju putih malam-malam itu? Yang suka di pohon." Bayu melirik Isa, wajahnya serius. Isa juga tampak berpikir serius. "Kuntilanak?" "Ah, itu," kata Bayu, lalu menatap Ayana. Dia kembali menatap Isa, masih dengan wajah serius yang campur rasa ingin tahu. "Daddy, apa Tante pakai kostum kuntilanak? Tapi kenapa rambutnya merah?" Isa menutup mulutnya dengan kepalan tangan, berdeham pelan. Mungkin dia ingin tertawa, tapi karena terbiasa bersikap tegas dan serius, dia hanya bisa berdeham. Ayana dongkol. "Aku bukan pakai kostum kuntilanak! Lihat!" Dia berbalik, menunjukkan sayap kecil di punggungnya. "Ini malaikat! Malaikat! Bukan Kuntilanak!" Bayu sembunyi di belakang Isa, takut dengan suara Ayana yang melengking. Melihat itu, Ayana mengembuskan napas, mulai menghitung dari satu sampai sepuluh dalam hati. Tenang, harus tenang. Kata Anta nggak boleh teriak-teriak di depan anak-anak. Ayana kembali tersenyum, jongkok di depan Bayu. "Jangan takut, BayBay, Tante Malaikat adalah utusan Mommy dari surga." Mendengar kebohongan sebesar itu, Isa mau marah, tapi Bayu bertindak sebaliknya. Anak tersebut tampak senang, matanya berbinar. "Benar? Tante Malaikat dari surga?" tanya Bayu. Ayana tanpa malu mengangguk. "Tante dari surga, bidadari tercantik di surga." Alis Isa terangkat, tapi dia masih diam saja. "Apakah Tante Malaikat ke sini untuk jemput Bayu?" tanya Bayu. "Enggak. Tante Malaikat di sini untuk menjaga BayBay selagi Mommy nggak ada." Bayu merengut. "Kenapa bukan Mommy aja yang jagain Bayu?" "Karena Mommy punya sesuatu yang harus dilakukan di surga." "Oh, itu pasti membuat banyak cokelat untuk Bayu, ya?" Tanpa sadar, Bayu sudah melepas pegangan tangannya dari Isa, dan tidak bersembunyi lagi dari Ayana. Ayana mengangguk saja. "Benar. Oh, satu lagi, Mommy membawakan sesuatu untuk BayBay sebagai hadiah." "Yang di sana?" tunjuk Bayu ke kotak yang tersembunyi di balik kain hitam. Ayana menyeringai. "Benar. Kemarilah, dan kita buka bersama." Isa ingin mencegah Bayu ke sana, karena entah mengapa, firasatnya tidak enak, tapi putranya jauh lebih lincah. Apalagi ini terkait hadiah dari Mommy-nya. Bayu jongkok, sama seperti Ayana. Anak itu menunggu dengan tidak sabar. "Tante Malaikat dengar dari Mommy kalau BayBay pernah memelihara binatang peliharaan." Bayu mengangguk antusias, langsung cerita. "Bayu─," dia lalu menatap Ayana, dan mengubah panggilannya, "BayBay pernah punya kelinci kecil, anak kucing, anak ayam warna-warni, dan marmut. Tapi pas BayBay mau main sama mereka, semuanya mati. Kata Mommy, BayBay terlalu kuat memegangnya." "Kali ini, kita akan menjaganya bersama." Mata Bayu berbinar. "Ini binatang peliharaan juga?" "Yup! Benar sekali." "Ayo, buka, Tante Malaikat!" Isa melirik Ayana yang menyeringai, mulai curiga. Kecurigaannya tepat, tapi dia gagal menghentikan kejahilan gadis itu. "Tadaaa!" Ayana membuka kain hitam dan tampaklah seekor ular jagung warna putih. "Cantik, kan?" Isa mundur sejauh-jauhnya, bahkan naik ke kursi teras, dan berteriak ketakutan, "Buang! Buang itu!" Bayu yang semula merasa tertarik dengan ular, malah terkejut dengan tindakan Isa. Sementara Ayana tertawa terbahak-bahak, sampai menjatuhkan pantatnya ke rerumputan. "Hahahha... Bagus sekali. Teruslah berteriak. Hahahha..." "Ayana! Buang ular itu!" Bayu tertawa juga melihat Daddy-nya ketakutan. Jarang-jarang, kan, melihat sisi lain Isa yang unik. Awalnya Bayu tidak melihat ular di sana, tapi fokus ke tetarium cantik berbahan kayu di bagian dalam kaca bening. Itu sangat indah dengan pepohonan kecil, tanah dan bahkan ada rumputnya juga. Lalu perlahan-lahan muncul gerakan pelan yang indah dari si ular putih. Mata ular yang warna merah muda membuat Bayu terkagum. Dia hendak bertanya ke Ayana tentang ular apa itu ketika Isa berteriak histeris. "Ayana! Saya peringatkan kamu! Buang ular itu." Isa sudah menggigil ketakutan, seluruh badan gemetar, dan keringatnya mengalir deras di dahi. Bayu tidak bisa tertawa lagi, mulai khawatir dengan Daddy-nya. Dia mendekat, dan menggenggam tangan Isa. "Daddy, jangan takut. Dia di dalam sangkar." Ayana menyadari tindakannya sudah agak berlebihan, jadi dia segera menutup tetarium dengan kain hitam. "Aku akan membawanya ke dalam." Isa melemparkan cangkirnya ke jalan yang akan dilalui Ayana. Matanya memelotot marah. "Saya tidak mengizinkan benda itu masuk ke rumah saya." Menghela napas berulang kali, dia lanjut berteriak, "Penjaga! Bawa ular itu pergi!" Penjaga keamanan yang sedang duduk di posnya dekat gerbang, segera mendekat dan hendak menyentuh tetarium milik Ayana, tapi gadis itu langsung memelototinya dengan ganas. "Coba saja, maka akan kubuat kau mandul seumur hidup!" Penjaga keamanan menelan ludah, langsung menghentikan apa yang diperintahkan tuannya. Ayana menatap Isa, tak kalah garang dari pihak lain. "Kalau dia nggak ikut masuk, aku juga nggak mau tinggal di sini!" Sebenarnya Ayana berharap Isa tidak mengizinkan Shiro masuk, dengan begitu, dia tidak perlu tinggal serumah dengan sosok menyebalkan ini. Isa mengetatkan rahang, menatap tajam Ayana. Ayana memegang tetarium, bersiap pergi. "Baik, aku akan pergi." Wajah Ayana penuh kemenangan. Bayu cemas, tidak ingin seseorang yang dikirim Mommy-nya pergi begitu saja. "Daddy, Tante Malaikat dikirim sama Mommy..." Tatapannya memohon. Isa menenangkan debaran jantungnya, melirik Bayu, lalu menghela napas saat bertemu netra cokelat Ayana. "Jangan biarkan saya melihatnya lagi, atau akan saya cincang sampai mati." Ayana tertawa. "Mencincang sampai mati? Mendekatinya saja kamu nggak berani!" Isa menekan emosinya. Suatu kesia-siaan menghadapi dan meladeni gadis gila ini. Selamatkan kewarasanmu, Isa! ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN