8. Ngobrol

1023 Kata
Aku memasuki unit apartemenku sembari membawa paket berukuran badanku. Nggak berat amat sih bawanya. Bikin aku penasaran, kira-kira Mamih ngasih apaan ya? "Apaan tuh?" "ASTAGANAGA!" Aku spontan kaget mendengar suara Mas Adam tiba-tiba dari belakangku. Aku pun mengelus dadaku yang nggak tenang, kemudian menoleh ke arah Mas Adam dengan tatapan kesal banget. Mas Adam malah menunjukkan wajah santai sambil mengusap-usap rambutnya yang basah. Kayaknya sih, baru habis mandi. "Iiih, Mas Adam ngagetin aja. Kirain siapa!" Aku menggerutu. Mas Adam malah cuek aja kayak nggak merasa bersalah bikin orang jantungan. "Paket dari mana nih?" tanyanya, seraya melihat-lihat kotak berukuran sedang di depanku. "Dari Mamih. Nggak tahu apaan. Buka aja kali, ya?" "Ya udah, buka." Aku pun mengambil cutter dari laci meja yang berada di depan tivi. Lantas membongkar paket misterius itu. Ketika dibuka isinya mencengangkan. Terdapat beberapa lingerie, dan pakaian seksi yang bisa saja mengundang nafsu pria jika dipakai. "Ih, Mamih ngirim apaan dah. Nggak jelas banget ngirim beginian sampe dipaketin segala," kataku begitu selesai merentang-rentang dua pasang lingerie dan tiga pasang gaun seksi. Ini mah bukan gaya aku pakai pakaian beginian. "Bagus tuh. Coba pake aja. Mau lihat." Mas Adam bicara sambil ketawa tertahan. "Dih. Enak di Mas Adam tuh nanti bisa liat tubuhku." "Rata gitu mana enak," kata Mas Adam sambil memandangiku dari atas ke bawah. Dih. Apaan sih! Bikin kesel aja. Tiba-tiba saja handphoneku berdering nyaring di balik tas selempangku yang masih tergantung di bahu. "Mamih," kataku sambil menunjukkan nama si penelepon di layar handphoneku kepada Mas Adam. Aku pun lantas mengisyaratkan Mas Adam untuk tidak bicara dulu sebelum akhirnya aku mengangkat panggilan Mamih. Aku menekan loudspeaker supaya Mas Adam bisa mendengar obrolanku dengan Mamih. "Ya, Mih?" "Paketnya udah nyampe belum?" "Udah … Mamih aneh-aneh ngirimnya, ih. Amel nggak biasa pake baju seksi begitu." "Pakenya di rumah aja, Mel. Nggak usah ke luar rumah. Nggak papa, biar kalian gercep punya anaknya. Hihiii." "Iiiih, Mamih mah. Nggak gitu juga." "Dipake sekali-sekali, Mel. Menggoda suami itu wajar. Eh, jangan kasih tahu Adam ya, Mamih yang ngirimin paket itu ke kamu." Aku seketika melirik Mas Adam yang kini mendengus geli. Aku pun sama, ingin ketawa tapi tahan saja. Gimana mau nggak bilang, orangnya aja udah denger langsung karena sambungan telepon aku loudspeaker. "Oke, Mih." Kami pun sedikit cerita basa-basi yang nggak makan waktu lama. Setelahnya, Mamih yang lebih dulu mematikan sambungan. Kulihat Mas Adam sudah duduk di sofa dan menyalakan televisi. Tanpa berlama-lama di ruang menonton, aku pun segera membawa kardus berisi barang aneh itu ke dalam kamar. *** Di era serba canggih ini, sebetulnya televisi nggak begitu penting lagi untuk digunakan. Karena orang-orang pada sibuk sama layar gadget. Lihat-lihat sosial media, atau sekedar chating, bahkan kerjaan. Kayak aku nih sama Mas Adam. Tivi nyala, tapi kami berdua sibuk main handphone. Aku sih sibuk lihat-lihat video t****k gitu. Buat orang itu aplikasi alay, padahal buat aku mah justru itu hiburan banget ya. Kalau Mas Adam, aku nggak tahu dia lihat apa di handphonenya. Intinya mah, tivi dinyalain biar rame aja. Bosan mantengin handphone, aku pun meletakkan gadget kesayangaku di meja dan mengganti chanel tivi dengan ikan terbang. "Suka nonton FTV azab juga, Mel?" Kaget! Mas Adam yang tiba-tiba saja bersuara membuatku sedikit kaget. Tadi juga begitu. Nih orang kok suka banget sih ngagetin orang? Bikin kesel aja. Aku pun menghela napas pelan sebelum menjawab, "enggak. Tapi nih tontonan enak buat dijadiin bahan julid." Mas Adam terbahak. Memang benar kan? Sebetulnya yang kutonton bukan FTV azab, lebih tepatnya FTV tentang istri yang tersakiti, yang soundtracknya begini, 'Kumenangiiiiiiis … membayangkan ….' Meskipun tidak seburuk FTV azab, tapi kan jalan ceritanya begitu-begitu terus. Dan kebanyakan orang pasti menyebut tontonan chanel ikan terbang itu sinetron azab. Kayak yang dibilang Mas Adam tadi. "Aku tuh kadang suka heran deh, Mas. Tontonan azab tuh kenapa ya masih aja ditayangin, padahal banyak netijen yang protes?" tanyaku, penasaran. "Karena emang laris. Ngapain distop, Mel? Walaupun udah ditegur sama KPI, uang mah bisa jadi perantara." Betul juga sih. "Tapi kan, harusnya diperbaiki gitu, Mas. Jangan malah dibuat aneh-aneh. Orang mah biasanya kalau dikritik, mau berubah. Ini malah makin aneh." "Itu tadi, Mel. Karena laris, berarti banyak yang tonton. Mereka bakalan buat yang serupa juga." "Tapi kan, unfaedah semua masa, Mas." "Ya nggak usah tontonlah. Ibaratnya nih, kalau lagi di pasar. Kamu nggak suka sama pedagang sebelah yang sayurannya layu semua, pasti nggak mau beli kan? Ya gitu juga sama yang ini. Makanya cari tontonan yang sesuai mau kamu." Bener juga ya kata Mas Adam. Pemikiran orang-orang yang sudah terjun langsung ke dunia entertainment mah beda sendiri. "Kalo Mas Adam … disuruh main FTV azab, mau nggak?" tanyaku iseng, seketika membuat Mas Ada berdecih geli. "Dih. Ogah main FTV azab. Bisa rusak image-ku sebagai aktor papan atas. Jangankan FTV azab, main sinetron biasa aja aku ogah. Nggak level!" "Suomboong amad!" Sekarang Mas Adam lebih sering tampil di layar lebar alias film bioskop. Padahal dulu pas mulai berkarir jadi artis, Mas Adam mulai jadi artis sinetron loh, cuma peran pendukung pula. Sekarang banyak gaya amat dia. "Emang kenapa kalo jadi pemain sinetron?" "Pake nanya lagi!" Mas Ada berdecak kesal. Ia pun meletakkan handphonenya di meja, kayaknya mau mulai fokus nih ceritanya. "Sinetron sekarang tuh episodenya sampe beribu-ribu, bertahun-tahun. Apa nggak bosan?" "Iya juga, ya." Aku manggut-manggut, menyetujui perkataan Mas Adam. Kadang heran aja gitu sama artis yang bisa tahan banget syuting sampe bertahun-tahun. Dengan cerita yang dibolak-balik, ketemu sama pemain yang itu-itu aja. Pft. "Oh iya, hampir lupa. Bentar." Mas Adam sudah beranjak dari tempat duduknya sebelum aku bertanya kenapa. Tentu saja itu membuatku sedikit penasaran. Tak berapa lama, Mas Adam pun kembali dari kamarnya sambil membawa sesuatu yang entah apa. "Nih!" katanya seraya memberikan sebuah kertas, yang mirip tiket. "Apaan nih?" Aku mengambil kertas itu, dan seketika mengeryit begitu membaca bahwa itu adalah tiket filmnya Mas Adam yang mu tayang seminggu lagi. "Buat aku, Mas?" "Hm. Kalau nggak mau, aku bikin giveaway aja ke fansku." "Mau! Aku mau." Aku berteriak, sebelum Mas Adam menarik kembali tiket pemberiannya. Yes! Akhirnya dapat tiket gratis. "Boleh minta tiga lagi nggak, Mas? Buat temen aku." "Ngelunjak ya kamu?!" Ya maap. Nggak jadi deh. Bersambung …
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN