9. Sudah Menikah, Tapi Masih Ditanya Kapan Nikah

1012 Kata
Hari ini adalah hari perilisan film terbarunya Mas Adam. Aku hanya pergi bersama Arini. Sedangkan Dinda, katanya ada urusan lain, dan Cindy ... Kayak yang ku bilang di awal, dia nggak suka nonton film lokal. Ternyata aku baru tahu kalau bioskop tempat kami tonton, juga diadakan nonton bareng sama pemain filmnya langsung. Pantesan aja dari tadi Arini antusias banget, bisa nengok langsung aktor kesayangannya. "Ya aampun. Mas Adam ganteng banget, gila!" Arini menjerit tertahan, seraya menutup mulutnya, berusaha meredam suaranya agar tak terlalu kuat. Karena di depan sana, ada Mas Adam dan beberapa kru film sedang berbincang-bincang. Mungkin ini semacam Press Confrence sekaligus nonton bareng kali ya. "… kita syuting film ini kurang lebih dua bulan, ya. Dan memakan waktu editing tidak sampai setahun." Di sana Mas Adam berbicara ketika menjawab beberapa pertanyaan dari MC alias host. Karena dia pemeran utama, makanya Mas Adam lebih banyak bicara. Di sampingnya juga ada Joanna Agnesia, lawan mainnya Mas Adam, juga ikut memberikan jawaban. "Kira-kira apa sih yang membuat film ini menarik untuk ditonton?" tanya host itu seraya mengarahkan kembali mic-nya ke Mas Adam. "Film ini mengambil alur jaman dulu. Jadi kita serasa dibawa ke nuansa kehidupan masa lampau. Apa ya, kita jadi ikut merasakan gimana rasanya hidup di masa lalu. Dan juga ada plot twist di akhir cerita nanti. Itu juga yang buat aku tertarik buat ikut dalam film ini." Jawaban Mas Adam membuat orang-orang di depan sana manggut-manggut, menyetujui perkataan Mas Adam. Untungnya sesi wawancara tak sampai satu jam. Mungkin mereka mengerti kalau-kalau ada penonton yang nyaris saja tertidur di tempat karena filmnya lama banget ditayangkan. Sebut saja orang itu adalah aku. Mas Adam dan rekan-rekannya pun lantas berpindah tempat duduk, ke bagian paling depan kursi bioskop. Namun sebelum itu, Mas Adam menoleh ke belakang, tepatnya ke arahku lantas melambaikan tangannya dan tersenyum. Spontan saja seisi bioskop bersorak kegirangan karena mendapatkan lambaian tangan seperti itu. Anjir, kenapa pula aku malah geer? Nggak, nggak mungkin Mas Adam tadi melambaikan tangan ke arahku. Pasti itu untuk semua penonton alias fansnya. Ya kan? *** "Aaaa. Seru banget kan tadi? Mas Adam gila ganteng banget, aktingnya juga nggak ada yang bisa ngalahin." Arini terus saja berceloteh, memuji-muji suamiku, eh, aktor kesayanganya. Bahkan sampai keluar bioskop, dia masih saja senyum-senyum gemas. Mulai ngehalu kayaknya dia tuh. "Biasa aja," sahutku sewot. Padahal mah akhir ceritanya menggenaskan, masa nih orang malah senyum-senyum bahagia sih. Kelihatan banget cuma menikmati pemandangan wajah gantengnya Mas Adam, bukan isi filmnya. "Ah, nggak asik fangirlingan sama lu." Arini pun seketika mengerucutkan bibirnya, lantaran tak mendapat dukungan fangirlingan dariku. Aku pun tergelak mendengar responnya. "Eh, abis ini kita ke mana?" Aku bertanya seraya menoleh ke sekitar, mencari spot enak buat nongkrong. "Pulang aja, yuk. Abis nih, aku mau nyuci. Tadi pagi udah aku rendam cucianku, nanti bau kalau dibiarin lama-lama." Yaaaaah. Padahal masih mau main ini. "Ya udah deh. Lo duluan aja. Gue masih mau di sini dulu." "Beneran? Nggak papa gue tinggal duluan?" Aku mengangguk, meyakinkan Arini bahwa aku bisa sendirian di sini. "Nggak apa." "Oke. Gue balik yaaaa. See you~" Kami pun saling melambaikan tangan tanda berpisah. Tapi abis ini, mau ke mana ya? Jadi bingung gini. Soalnya belum terlalu sore banget sih. "Amelia?" Aku spontan menoleh ke belakang ketika kurasa seseorang menepuk bahuku pelan. Mataku memicing melihat sosok pria tinggi yang kini tersenyum padaku. "Siapa, ya?" Aku bertanya, walau sepertinya aku tahu siapa dia. Hanya saja berpura-pura tidak tahu. "Dih. Sombongnyaaaaa. Sok nggak kenal." "Siapa siiiiih?" Aku menyahut jutek, menahan tawaku. Ini memang sok nggak kenal sih aku. "Ini aku … Vino." Aku pun pura-pura kaget dengan mata membola. "Oooooh. Vino. Yang youtuber itu kan? Ya ampyun!" Vino terkekeh sembari menjitak kepalaku pelan. "Nggak usah nyebut youtubernya juga keles." Kami pun tergelak bersama. Laki-laki di depanku ini adalah Vino. Dia memang betulan seorang youtuber, dengan konten drama komedi. Vino memerankan ibu-ibu julid di sana. Dengan memakai seting tempat Medan, jadi pakai logat ala orang medan gitu lah. Vino ini temanku waktu SMA dulu, terus diterima di salah satu PTN Palembang. Entah gimana ceritanya sekarang dia bisa nyasar tinggal di Medan. Eh, sekarang malah ketemu di Jakarta. "Eh, kabar kau gimana? Kayaknya makin berisi aja ya, Wak." "Berisi muatamu!" Makiku, namun malah membuat Vino ketawa. Eh, bentar suara ketawanya jadi melengkin kayak cewek. Padahal dulu waktu SMA nggak begini dah. Apa karena terlalu kebawa peran di drama youtubenya kali ya. "Nggak usah ngeledek deh." "Lah, memang benar kan, Wak. Dulu nggak ada tonjolannya. Sekarang mah udah kelihatan jelas." Aku langsung menjitak kepala Vino. "Namaku bukan Wak." "Wawak ini kek nggak tahu aja. Wak itu bahasa gaulnya anak medan. Kek mana nya wawak ini, percuma nonton youtube awak, tapi kek gini aja nggak tau." Vino berucap dengan logat medannya. Bah. "Terserah kau lah." Aku pun ikut berbicara dengan logat medan. Ketularan nih keknya. "Makan-makan dulu kita yok, Wak. Sekalian ngobrol-ngobrol kece dulu kita," kata Vino. "Lo yang traktir." "Aman itu, Mel." "Ciye. Mentang-mentang jadi youtuber, duitnya sekarang banyak." Perkataanku ditanggapi dengan kekehan oleh Vino. "Eh, lo kok bisa ya nyasar ke Medan? Bukannya waktu itu lo kuliah di Palembang, ya?" "Medan sama Palembang satu pulau, Wak. Ya bisa lah." Eh, bener juga ya. "Sebenernya aku nggak tamat kuliah sih, Wak." Vino kembali bicara, yang spontan membuatku kaget. "Lah kenapa?" "Nggak cocok. Salah jurusan. Ya udah, gue merantau lah ke Batam. Mutusin buat kerja aja. Terus ketemu sama temen-temen orang Medan. Ya kita sepakat lah, bikin nyari duit bikin konten aja." Aku ber-oh ria. Sekarang jaman sudah serba canggih sih, apalagi banyak cara untu menghasilkan uang melalui internet, asalkan punya tekad yang kuat. Jadi nggak melulu pekerja itu hanyalah sebatas karyawan kantoran. Salut sih sama Vino dan teman-temannya, memanfaatkan teknologi canggih untuk menyambung hidup. "Terus sekarang kenapa di Jakarta? Emang nggak balik lagi ke Medan?" "Masih ke Medan nanti, Wak. Ini cuma lagi pulang kampung aja sekalian liburan." Aku pun manggut-manggut. Vino menunjuk salah satu kafe yang akan menjadi tempat kami makan-makan. Kami memilih restoran khas jepang. "Tapi teringatnya kan, Wak …. Kapan kau nikah?" Hah? Eng ing eng …. Bersambung….
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN