04 : BAD

1859 Kata
Igo melangkah memasuki bangunan tua yang sederhana namun terasa asri dan sejuk. Ini gereja, dia segera menyadarinya. Tempat yang tak pernah dikunjunginya lagi sejak dia berusia sepuluh tahun. Kini ajaibnya, gereja jadi tempatnya bernaung dengan status berbeda. Sepertinya takdir sedang ingin bercanda. Dia itu gigolo yang terpaksa menyamar jadi pastur! "Pater, silahkan masuk. Ini pasturan tempat Pater tinggal. Ehmm, mungkin terlalu sederhana namun hanya ini yang bisa kami sediakan, " ucap pria paruh baya yang menjemputnya tadi. Namanya Hambal. Dia sudah lama mengabdi di gereja bersama istrinya, Gretha. Mereka tak memiliki keturunan sama sekali, jadi tak masalah bila mereka menghabiskan hidupnya di gereja tua ini. "Tak apa, Bapak. Bahkan saya pernah tinggal di tempat yang lebih jorok dari kandang babi!" tukas Igo sopan. Thanks buat masa lalunya yang mengenaskan hingga bisa membuat Igo bertahan hidup di kubangan manapun! Lagian, meski tak memakai AC ruangan sini sejuk. "Pater Hilarius," sapa seorang wanita paruh baya dengan tubuh agak montok dan wajah keibuan yang menyenangkan. "Ini Gretha, istri saya, Pater," Pak Hambal memperkenalkan. "Apa kabar, Ibu?" Igo berbasa-basi dengan sopan. "Baik Pater. Selamat datang di desa kecil kami. Semoga Pater betah tinggal disini. " "Terima kasih." Itu juga yang gue harapin, batin Igo. Sepertinya kehidupannya di desa terpencil ini bakal sangat membosankan! Igo tersenyum kecut. "Pater. Ehmmm, Tuan dan Nyonya Soge datang. Tuan Soge datang ingin mengaku dosa. Bisakah Pater melayaninya sekarang?" pinta Bu Gretha santun. "Sure. Akan kuberikan pelayanan terbaik di ranja...what?! Mengaku dosa? Bukan berbuat dosa?!" tanya Igo panik. "Iya, Pater." Ibu Gretha tersenyum geli. "Pater ada-ada saja. Ke gereja ya mengaku dosa, lah. Masa mau berbuat dosa?" Igo mengangguk seperti burung yang ditulup. Dia bingung! Apa yang harus dilakukannya? Ada yang mau mengaku dosa padanya! Lalu dia harus bagaimana? Duduk diam dan mendengar curhatan orang, kali. "Mari saya antar, Pater." Bagai kerbau dicucuk hidungnya, Igo mengikuti langkah Ibu Gretha menuju ke ruang pengakuan dosa. Bukan ruang, sih. Lebih tepatnya kotak besar di pojokan gereja. "Saya masuk kesitu?" tanya Igo heran. "Iya, Pater," jawab Ibu Gretha sambil menyimpan rasa heran dalam hatinya. Ini kenapa pastur barunya seperti mendadak amnesia gini, ya. Igo baru saja hendak membuka salah satu pintu di kotak itu saat Ibu Gretha menariknya ke pintu yang lain. "Pater masuk pintu yang situ. Yang ini pintu biliknya umat." "Oh, ya ya. Kurang konsen, saya. Mungkin masih kecapekan dari perjalanan jauh." Igo berusaha memberi alasan. Bu Gretha menggangguk sambil menatap prihatin. Igo masuk ke bilik sempit itu, didalam sana cuma ada satu kursi kecil dan dinding kasa yang bisa digunakan untuk mengintip ke bilik sebelah. Ada bapak berperawakan gempal yang sedang berlutut sambil komat-kamit menghapal sesuatu di kertas contekannya. "Hmmm. Hmmm," Igo berdeham untuk memberitahu kehadirannya. Bapak itu mengangkat kepalanya dengan gugup. Ia seakan menunggu kata pembuka dari Igo. Hah? Apa yang harus dikatakannya? Igo bingung. Tapi akal cerdasnya mulai beraksi. "Bapak, ini pertama kali mengaku dosa?" tanyanya lembut. "Ehmmmmm, i-iya Pater. Istri sa-saya yang memaksa." Bapak itu mengusap peluhnya yang mengalir deras. "Contekannya kasih saya saja, Pak," pinta Igo. "A-apha?!" Bapak itu tersipu malu. "Tak usah malu. Saya bukan guru Bapak yang bisa menghukum. Dan rahasia Bapak aman bersama saya, bukan? " "Eh, i-iya." Bapak itu menyodorkan contekannya lewat kisi-kisi di dinding. Igo membacanya sekilas. Ribet! "Bapak, hari ini kita lalui dengan sesi khusus saja. Lupakan semua prosedur ini. Mari kita berbincang sebagai sesama laki-laki," ucap Igo enteng. Bapak itu melongo. Matanya jadi jelalatan, dia penasaran ingin mengintip sosok pastur baru yang rada aneh ini. "Sebagai laki-laki, Pater?" cetusnya ragu tapi mulai rileks. "Yeah. Anggap aja sesi curhat," kekeh Igo. Lagi-lagi Bapak itu melongo. Namun raut wajahnya terlihat takjub dan semakin santai. "Jadi Pater sudah tahu?" bisiknya heran, dia menutup sebagian mulutnya. "Saya selingkuh. Ups, bukan selingkuh, sih! Tepatnya, saya jajan. Main dengan pramuria di klub malam Jamboe, di kota." Oh jadi ada juga klub malam di sekitar sini? Hati Igo melonjak riang. Paling yang dimaksud bapak ini adalah klub di kota Thorn yang letaknya paling dekat dari desa sini. Lumayan ada hiburan. Pikir Igo senang. "Pater, ampuni saya. Saya berdosa Pater!" Bapak itu menunduk malu. Igo tertawa geli. "Hahaha, bapak santai saja. Tak perlu tegang. Santai saja, oke. Ceritakan semuanya ke saya, apa adanya." "Iya." Kini si bapak sudah benar-benar rileks dan ucapannya yang keluar dari mulutnya mengalir lancar tanpa disaring. Saat keluar dari ruang pengakuan dosa, wajah si bapak terlihat sumringah. Si Istri melihatnya dengan puas. "Pak, sudah mengaku dosa?" "Sudah, Bu. Hati Bapak jadi lega." "Sudah diberi pengampunan oleh pater, Pak?" "Sudah dong, Bapak dinasehati panjang lebar. Pater Hilarius pintar membuat Bapak tersentuh. Mulai sekarang Bapak akan berusaha menjadi suami yang baik, Bu," ucap si Bapak sungguh-sungguh. Tentu saja istrinya sangat terharu. Hebat betul si Pater Hilarius bisa memberi pencerahan pada suaminya. Padahal.. Andai si istri tahu tentang dua pesan Pater Hilarius gadungan itu buat suaminya, dia bisa mati jantungan! *** Gwen sedang membereskan koper-kopernya saat Katty menghampirinya. "Mom, bagaimana misi Mommy? Sukses?" Si sulung itu ikut membereskan barang Gwen. Pasti ada maunya, nih. Dia kan makhluk paling cuek dan berat tangan sedunia! "Doain aja, Sayang. Nyonya Shasha janji mau mengunjungi peternakan kita untuk meninjau kemungkinan berinvestasi disini," harap Gwen sembari memasukkan pakaian bersihnya ke lemari. "Baguslah," komentar Katty singkat. "Saat di perjalanan, apa Mommy berjumpa cowok keren? Barangkali bisa diprospek jadi Dad kita," goda Katty. Blushhh. Wajah Gwen merona. Sontak ia teringat pada si gigolo k*****t yang sudah meniduri dia. Dan gigolo itu juga sudah mencium paksa dia beberapa kali. Paksa? Tapi Gwen menikmati juga sih. "Ada, kan " "Enggak!" bantah Gwen cepat. Ia lalu mengalihkan perhatian Katty ke hal yang lain, "Sayang, saat di kapal Mommy mengalami hal mengerikan lho. Horror!" Katty membulatkan matanya, dia mulai kepo. "Ada makhluk lelembut di kapal? Mommy liat?" tanya Katty antusias. "Enggak lihat, sih. Cuma seperti merasakan kehadirannya." "Gimana? Gimana? Ada hembusan napas dingin? Terasa digelitikin?" "Saat itu Mom lagi tidur, lalu merasa kayak ada yang cium-cium dan jilat-jilat Mommy." Katty tertawa ngakak mendengar cerita Mommynya. "Mom, itu bukan hantu! Itu sih semacam mimpi basah," ledek Katty. Gwen memberengut kesal. "Bukan mimpi. Ini betulan terjadi. Kalau enggak, mana bisa ada bekas seperti ini?!" sergah Gwen sambil menunjukkan bekas cupang di dadanya. Katty membulatkan matanya kaget, "iihhh, seram ya." Gwen mengangguk. Lalu dia teringat sesuatu. "Sayang, kamu kemari pasti ada maksud tertentu, kan?" Katty mengangguk, "iya, Mom. Katty mau ijin. Ntar malam si Silva ultah. Katty diundang." Silva? Bukannya itu cewek yang suka mengganggu Katty? Gwen jadi khawatir. "Mending kamu gak usah datang, Sayang. Mom khawatir dia ada maksud jelek padamu," tukas Gwen. "Aih, Mom. Silva sekarang baik, kok. Katty pengin datang. Baru kali ini ada yang mengundang Katty pesta. Please, Mom." Katty memohon dengan tangannya menyembah didepan wajahnya. Gwen merasa iba juga melihatnya. Secara, Gwen ini gak punya banyak teman. "Oke. Asal jangan di klub malam. Ingat, umurmu masih limabelas tahun, Sayang." "I-iya, Mom. Di rumahnya, kok," ucap Katty agap gugup. Mudah-mudahan Mom gak ngecek. Masalahnya, pestanya diadakan di klub malam Jamboe! *** Musik menghentak begitu semaraknya, hingga membuat suasana makin panas didalam klub malam Jamboe. Di suatu pojok ruangan, terlihat sepasang insan beda kelamin yang sedang bergelut diatas sofa. Si wanita hampir toples dengan kancing blus yang telah terburai. Tangan si pria sedang asik menjelajah di bawah rok si wanita, sementara lidahnya mempermainkan d**a si wanita. "Aiiish, ... John, do it.." desah si wanita setengah mabuk. Katty melihat itu dengan wajah merah padam. Sialan! Betapa tak tahu malunya, mereka melakukannya di depan umum! Silva memang jalang. Lihat saja, dia sengaja mengerling kearah Katty. Seakan ingin memamerkan kejalangannya pada Katty. Masalahnya, si John, pacar Silva dulu pernah menggoda Katty. Sejak itulah Katty sering dibully oleh Silva. "Hei, Katty. Ambilin minum gue, gih!" perintah Silva semena-mena sambil menunjuk botol minumnya. Ingin Katty mengambil minuman itu lalu meyemburkannya ke wajah Silva. Tapi kenyataannya, dia mengambil minuman Silva dan menyodorkannya ke cewek binal itu. Katty melakukanya sambil memejamkan matanya. Ish, dia jadi jengah. Katty melihat si Silva sedang mengocok sesuatu yang gembung di celana John. Silva tersenyum sinis. Dia hanya minum seteguk saja mirasnya, kemudian menyodorkan minumannya pada Katty. "Minum!" perintahnya tegas. "E-enggak usah, Sil," tolak Katty halus. "Harus! Lo pengin jadi teman gue, kan? Minum dulu." Terpaksa Katty menyesap minuman itu. Rasanya sama sekali tak enak. Sepet. Pahit. Lagipula, minuman itu membuat tenggorokannya terasa panas, kepalanya jadi sangat ringan. Kesadaran Katty mulai menurun. Dia kebelet pipis, lagi. "Sil. Aku mau ke toilet dulu," pamit Katty. Silva hanya menggerakkan tangannya kayak ngusir ayam. Sembari memegang kepalanya, Katty melangkah menuju toilet. Di gang yang sepi, ada tangan yang membekapnya. Katty membelalakkan matanya panik saat melihat John menatapnya penuh nafsu. "Diam dan nikmati saja, b***h!" guman John sambil meremas p****t Katty. Katty berusaha berontak, namun John membungkam mulut Katty dengan ciuman panasnya. "Mmmpphhhhh lhepfaskkkan!" teriak Katty lemah disela ciuman itu. Namun John tak menghiraukannya, ia makin brutal meremas bagian tubuh Katty yang sensitif. Hingga sebuah lengan kokoh menarik tubuh John menjauh dari Katty. John menoleh dengan geram kearah pengganggunya. "Hei, this lady said ‘No’," pria itu berkata dengan tenangnya. John melotot geram, "bukan urusan lo, Om! Pergi!" usirnya ketus. Pria itu, Igo, melirik Katty simpatik. "Nona, haruskah aku pergi?" Katty menahan baju Igo sambil berkata lirih, "jangan. Tolong bawa aku pergi." "Sure. Kau dengar, Bung?! Dia ingin bersamaku!" tegas Igo. Mendadak John melancarkan tinjunya, namun Igo dapat menghindar dengan mudah. Buk! Ia balas menghantam perut John keras. Cowok itu lunglai seketika. Kemudian Igo membawa Katty tanpa kesulitan. Gadis itu berjalan sempoyongan sehingga Igo harus memapahnya. Kepala Katty amat pusing, tak sadar ia menaruhnya di bahu Igo. Pria itu lalu memegang pinggang gadis itu untuk menopang kaki Katty yang lemah. Pemandangan itulah yang disaksikan Gwen. Tadi ia menelpon rumah Silva, dan terkejut saat diberitahu bahwa Silva mengadakan acara ultahnya di klub malam Jamboe. Aduh, kenapa Katty membohonginya?! Perasaan Gwen jadi campur aduk. Dia segera menyusul kemari dan melihat anak sulungnya dalam kondisi lemas lunglai sedang dipapah oleh seorang pria yang tak dikenalnya. Jangan-jangan itu Om-om hidung belang yang ingin memanfaatkan kepolosan Katty. Darah Gwen mendidih. Ia mengambil pot bunga yang terletak di pinggir lorong. Diangkatnya pot itu dan dipukulkannya ke punggung si hidung belang itu! Buakkk! Igo terkejut merasakan ada yang menghantam punggungnya. Ia menoleh dan shock melihat si wanita sombong yang dihindarinya justru sedang membantainya. "Dasar pria c***l! m***m! Kau apakan anakku, hah?!" teriak Gwen murka. Hah? Jadi gadis ini adalah anak wanita sombong itu! Igo menutupi wajahnya, lalu segera mengambil langkah seribu diiringi makian Gwen. "Dasar pria c***l! Aku sumpahin kamu impoten! Mandul! Biar dikebiri. Jadi banci seumur hidup kamu!" kutuk Gwen kejam. Igo mengurut dadanya ngeri mendengar kutukan laknat itu. Cuh! Cuh! Cuh! Dia menyemburkan ludah tiga kali untuk membatalkan kutukan itu. Awas ya, wanita songgong! Gue kutuk lo tergila-gila sama gue, kecanduan junior gue! Balas Igo dalam hati. Katty yang tak tega Mommynya mengutuk penolongnya senista itu, dengan sekuat tenaga ia berteriak, "Mommy! Dia itu yang menolong Katty!" Astagahhh! Gwen mematung kaget. Wajahnya merah padam karena merasa malu. Dia harus segera minta maaf. Haishhh, malunya bukan main! Ketika Gwen mencari sosok penolong yang cuma dilihatnya dari belakang, pria itu sudah menghilang. "Siapa nama orang itu tadi?" guman Gwen menyesal. "Tak tahu," sahut Katty. Dia kehilangan jejak. Bersambung
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN